Monday, March 28, 2016

Alasan Belanda Menyerang Aceh

Pada dasarnya, Aceh adalah sebuah kerajaan yang berdaulat dan masih menguasai Selat Malaka. Kawasan ini merupakan jalur laut strategis untuk perdagangan di Nusantara.

--Boy Nashruddin Agus--

BELANDA telah menguasai nusantara. Namun tidak untuk Aceh. Kerajaan yang terletak di ujung pulau Sumatera ini seakan menjadi duri dalam daging untuk Belanda yang ingin menguasai Selat Malaka dan jazirah Tanah Melayu. Selama Kerajaan Aceh masih berdaulat, maka selama itu pula bayang-bayang campur tangan asing mengancam posisi Belanda di nusantara.

Fakta ini diperjelas dalam keterangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, James Loudon. Dikutip dari catatan Harry Kawilarang dalam bukunya Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki, menyebutkan, saat itu, Loudon berpesan kepada van de Putte Nieuwenhuijsen pada 25 Februari 1873.

"Selama ini, kebijakan Belanda terhadap Aceh sangat membingungkan dan ini harus diakhiri. Aceh tetap merupakan titik kelemahan kita sepanjang menyangkut Sumatera. Selama Aceh tidak mengakui kedaulatan Belanda akan memungkinkan campur tangan asing dan selalu mengancam posisi Belanda ibarat pedang Damoeles...Tanpa pamer kekuatan militer, sudah dapat dipastikan bahwa Aceh akan terus membiarkan persoalan ini menjadi terkatung-katung, dengan harapan akan terjadi campur tangan asing," katanya.

"...Belanda tidak membiarkan untuk memiliki Sumatera secara damai dipermainkan. ...Semua ini bergantung pada negeri yang memusuhi kita. Aceh sudah benar-benar keterlaluan..." ujar Loudon.

Hal inilah yang melatarbelakangi penyerangan Belanda ke Aceh. Apalagi saat itu Belanda mengetahui Aceh telah menjalin hubungan dengan Amerika Serikat dan Italia di Singapura. Belanda bahkan mengultimatum Sultan Mahmud Syah untuk memberikan salinan pembicaraan dalam waktu 24 jam pada 22 Maret 1873, untuk mengetahui isi pembicaraan sultan dengan para diplomat tersebut.

Permintaan ini sama sekali tidak digubris oleh Sultan Mahmud Syah. Sultan mempermainkan ancaman-ancaman Belanda dengan bahasa halus melalui surat menyuratnya.

Belanda dibikin kesal dan mencari alasan-alasan untuk menyerang Aceh. Salah satunya yaitu Aceh dituding melanggar perjanjian perniagaan, perdamaian dan persahabatan yang disepakati pada 30 Maret 1857, antara Kesultanan Aceh dengan Hindia Belanda.

+++

WAKIL Presiden Dewan Hindia Belanda, F.N. Nieuwenhuijzen sebagai Komisaris Pemerintah yang ditugaskan menjumpai Sultan Aceh merasa kecewa dengan tanggapan Sultan Mahmud Syah. Dalam surat menyurat mereka sebelum perang berkecamuk, keduanya tetap mempertahankan kedaulatan negara masing-masing.

Dikutip dari catatan H. Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad jilid pertama, Nieuwenhuijzen merasa kehilangan pegangan dikarenakan hasil pembicaraan melalui surat menyurat tersebut sama sekali tidak berhasil menakut-nakuti Aceh. Nieuwenhuijzen kemudian menyimpulkan, Aceh tidak akan menyerah begitu saja sebelum terjadi pertumpahan darah.

Nieuwenhuijzen mengirimkan surat terakhir kepada Kerajaan Aceh yang kembali menegaskan tujuan Belanda untuk menaklukkan kekuasaan Sultan Mahmud Syah. Berikut isi surat tersebut:

"Surat Sripaduka Tuanku Sultan yang tidak memakai hari bulan yang telah saya terima adalah berbunyi sebagai berikut: (isinya disalin kembali menurut bunyi surat sultan dimaksud).

Tidak terang bagi saya apakah yang dimaksud oleh Sripaduka Tuanku Sultan dengan pemberitahuan itu.

Karenanya saya minta kembali agar Sripaduka Tuanku Sultan mengemukakan dengan tegas dan tentu apakah Sripaduka Tuanku bersedia mengakui kedaulatan Sripaduka Raja Belanda atas Kerajaan Aceh. Tergantung kepada bentuk jawaban surat ini akan dapat saya menetapkan sikap apakah penyerangan bisa dihentikan atau tidak.

Bersama ini juga saya harus memberitahukan pada Sripaduka Tuanku bahwa angkatan perang yang paling besar yang sedang saya nantikan akan tiba di sini setiap waktu. Jadi kalau Sripaduka tuanku ingin menghindari bahaya perang dalam negerinya, maka sebaliknya Sripaduka tidak melalaikan sesuatupun juga jawaban lebih lama dari seperlunya.

Termaktub di kapal perang Citadel van Antwerpen tertanggal 30 Maret 1873.


Surat ini baru dijawab oleh pihak Aceh pada 1 April 1873 yang tetap mempertahankan pendirian semula dan tidak ingin mengakui kedaulatan negeri asing. Berikut isi suratnya:

"(Lebih dulu mukaddimah lazim)....Surat yang telah dikirimkan oleh Gubernemen Hindia Belanda kepada kita, telah kita terima dengan baik dan paham sungguh isinya. Surat yang telah kita kirimkan pada hari Ahad yang baru telah tidak diberi tanggal hari bulan, hanya karena kesilapan belaka. Mengenai permakluman yang dimaksud dalam surat kita kemarin itu isinya tidak lain daripada mengemukakan bahwa dari pihak kita tidak ada tumbuh sedikitpun keinginan untuk merubah hubungan persahabatan yang sudah diikat, sebab kita hanya seorang miskin dan muda dan kita sebagai juga Gubernemen Hindia Belanda berada di bawah perlindungan Tuhan Yang Mahakuasa.

Akhirulkalam kita sampaikan salam kepada tuan-tuan sekaliannya."

Termaktub pada 1 hari bulan Safar 1290 (1 April 1873)".


Dalam rangka persiapan perang dengan Belanda tersebut, Sultan Alaiddin Mahmud Syah telah mengadakan musyawarah besar di Masjid Raya Baiturrahman dengan ulama besar, ulee balang, panglima, keuchik raja, para keujruen dan pembesar negeri Aceh. Musyawarah ini dilakukan di sela-sela surat menyurat Sultan Mahmud Syah dengan Nieuwenhuijzen.

Dikutip dari catatan Ali Hasjmy dalam bukunya berjudul Peranan Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Sultan Mahmud Syah menjelaskan bahwa Kerajaan Aceh telah bertekad tidak akan tunduk kepada Belanda. Karena itu dapat dipastikan Belanda akan menyerang dalam waktu dekat.

Maka Wazir Rama Setia/Wakil Panglima Besar Angkatan Perang, Letnan Jenderal Said Abdullah Teungku Di Meulek, membacakan sarakata surat pernyataan perang yang bertarikh Kamis, 20 Muharram 1290. Pernyataan perang tersebut berbunyi:

Bismillahirrahmanirrahim

Letnan Jenderal memberi perintah kepada sekalian tuan-tuan dan kepada sekalian rakyat Aceh khusussiyah dan kepada sekalian rakyat bawah angin umumiyah, maka inilah wahai tuan-tuan yang hadir dan yang tidak hadir jauh dan dekat, mulai dalam Aceh Bandar Darussalam Madinatul Asyiyah Al Kubra Aceh dan jajahan takluknya: Letnan Jenderal memberi perintah atas nama keputusan sabda mufakat Kerajaan Aceh.

Pertama, hendaklah sekalian tuan-tuan yang panglima-panglima mengatur askar pengawal pantai-pantai masing-masing tempat yang telah Letnan Jenderal aturkan, yaitu Kuala Pancu dan Lhok Berembang Ulee Lheue Pantai Cermin dan seluruh mukim Meuraksa, dan Kampung Meunasah Kandang, Kampung Pande, dan Kampung Rumoh Gedong Zawiyah Bandar, dan Peunayong, dan Lam Pulo, dan Kuala Aceh, dan Kuta Musfir, dan Kuta Tanoh, dan Kuta Reutang, dan Kuta Kadaniyah, dan Ladong, dan Kuala Giging, dan Lamnga Pasi, dan Ujung Gedong, dan Krueng Cut, dan Lam Bada, dan Kuta Mamplam, dan Pantai Perak, dan Babah Krueng Daroy, dan Tiga Mukim Kayay Adang, dan Blang Padang Cot, dan Ampos Teubay Syarif Lamtuy Jamalul Lai, dan Lamreh dan Peukan Bada Enam Mukim, dan Gunung Kesumba.

Maka sekalian tempat-tempat yang hamba sebutkan sangat penting pertahanan kita Aceh, maka sekali-kali jangan diberi kosong tempat tersebut, dan yang mengawal pantai mulai Kuala Pancu sampai Kuala Giging dan Ladong dan Lam Reh, hendaklah bersembunyi duduk; jangan menampakkan diri pada Holanda di laut karena Holanda ada "jalboot" dan "kapalperang". Dan jangan tuan-tuan melepaskan bedil dan kumurah sebelum Holanda sampai di pantai, sebab kalau kita melepaskan bedil lebih dahulu, maka Holanda sudah tahu tempat kita bersembunyi, maka kita jadi melarat dan ditembak kita di laut oleh Holanda dengan meriam dan kapal perang, melainkan kita menunggu sampai Holanda mendarat pada pasi, baru bangun terus kita hantam sebab kita tiada kapal perang dan tiada meriam besar. Maka hendaklah jaga-jaga jangan lengah dan lalai.

Syahdan sibermula, maka ketahui olehmu wahai sekalian tuan-tuan hulubalang dan sekalian rakyat bahwa semua diwajibkan berperang melawan Belanda yaitu dua perkara, tidak tiga. Pertama dapat menang, sekali menang tetap menang; kedua syahid dan tidak tidak sekali-kali menyerah kepada Belanda, yaitu musuh kita dan musuh anakcucu kita turun menurun; yang musuh tetap musuh yaitulah Belanda. Jangan sekali-kali tuan-tuan menjual negeri Aceh pada Belanda, makan ringgit dan riyat pada Belanda.

Maka itulah wahai sekalian hulubalang Aceh Pidie semuanya dan sekalian hulubalang Aceh Utara semuanya dan sekalian hulubalang Aceh Timur semuanya dan sekalian hulubalang Aceh Barat semuanya, dan sekalian hulubalang Aceh Selatan semuanya; datok dan Keujrun dan sekalian rakyat pada masing-masing tempat daerah tersebut; hendaklah pada sekalian tuan-tuan mengikut menurut melawan Belanda berganti-ganti sehingga berheti Belanda musuh kita, tidak lagi duduk di atas bumi negeri Aceh khususnya dan bumi bawah angin umumnya.


Dari persiapan yang dilakukan tersebut, terlihat bahwa Kerajaan Aceh telah bersiap menyambut serangan Belanda meskipun dengan sumber daya alutsista perang yang lebih sedikit dibanding masa-masa sebelumnya. Maka tak heran pula saat Sultan Alaiddin Mahmud Syah tidak sedikitpun goyah menjawab surat Nieuwenhuijzen di kemudian hari.

+++

PERNYATAAN Perang Belanda terhadap Aceh pada 1873 disikapi secara serius oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Setelah menerima laporan secara terperinci dari Balai Siasat Kerajaan (Kepala Intelijen Negara), Sultan Alaidin Mahmud Syah langsung menggelar rapat akbar bersama seluruh pejabat istana dan pemuka negeri Aceh. Sultan juga turut mengambil sumpah setia seluruh penduduk negeri menghadapi agresi Belanda tersebut.

Merujuk catatan Ali Hasjmy dalam bukunya Peranan Islam Dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, menuliskan secara panjang lebar persiapan-persiapan yang dilakukan Kerajaan Aceh menghadapi serangan Belanda. Menurut Hasjmy, menghadapi ancaman dari luar negeri tersebut Sultan Aceh turut membentuk sebuah pemerintahan yang baru, yaitu Kabinet Perang. Inti pemerintahan baru ini terdiri dari tiga orang, sementara posisi sultan tetap sebagai kepala negara.

Ketiga orang tersebut yaitu Tuanku Hasyim Banta Muda Kadir Syah, sebagai Wazirul Harb (Menteri Peperangan) merangkap sebagai Panglima Besar Angkatan Perang, dengan pangkat Jenderal Tentara Aceh; Tuanku Mahmud Banta Kecil Kadir Syah sebagai Warizul Mizan Wazirud Dakhiliyah-Wazirul Karijiyah (Menteri Kehakiman Menteri Dalam Negeri Menteri Luar Negeri) merangkap Wakil Kepala Negara Pemerintahan; dan Said Abdullah Teungku Di Meulek sebagai Wazir Rama Setia (Sekretaris Negara) merangkap Wakil Panglima Besar Angkatan Perang, dengan pangkat Letnan Jenderal Tentara Aceh.

Sultan kemudian melantik Kabinet Perang tersebut pada 1 Muharram 1290 Hijriyah atau sekitar 1873 M. Ketiga menteri inti diambil sumpahnya dalam Masjid Istana Baiturrahim, dimana upacara pengambilan sumpah dipimpin oleh Kadli Mukhaddam Syeh Marhaban bin Haji Saleh Lambhuk.

+++

KONFLIK antar negara ini mulanya dipicu oleh sikap Belanda saat menduduki Siak akibat perjanjian yang ditandatangani pada 1858. Isi perjanjian ini yaitu Sultan Ismail menyerahkan Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda. Padahal daerah-daerah ini sudah berada di bawah kekuasaan Aceh sejak kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.

Pengkhianatan yang dilakukan oleh Belanda ini turut mengakhiri perjanjian London tahun 1824. Isi perjanjian London adalah Belanda dan Britania Raya membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.

Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.

Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps membuat perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan. Hal ini turut memicu Pemerintah Hindia Belanda untuk menaklukkan Aceh.

Ditandatanganinya Perjanjian London 1871 antara Inggris dan Belanda yang isinya: Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Selanjutnya, Belanda juga diamanahkan untuk menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Di sisi lain, Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.

Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, Kesultanan Usmaniyah di Singapura dan mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871. Jalinan diplomatis dengan beberapa negara ini menjadi alasan lainnya kenapa Belanda menyerang Aceh.

Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan dua kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu. Tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.

Dipicu oleh beberapa sebab tersebut, akhirnya Belanda menyatakan perang terhadap Aceh setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik pada 26 Maret 1873. Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler dikirimkan pada tahun 1874.

Ribuan pasukan Netherland ini berhasil dikalahkan oleh tentara Aceh di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah yang telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil dibunuh oleh pasukan sniper Aceh pada 10 April 1873.

Belanda kemudian meluncurkan ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten yang berhasil merebut istana sultan. Peperangan kali ini membuat Sultan Machmud Syah wafat akibat penyakit kolera pada 26 Januari 1874. Dia digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai sultan di masjid Indrapuri.

Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang telah berakhir. Bagaimanapun perang dilanjutkan secara gerilya dan perang fisabilillah dikobarkan. Sistem perang gerilya ini dilangsungkan hingga 1904.

Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III dari Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman azh-Zhahir untuk meminta bantuan kepada Khalifah Usmaniyah. Namun Turki Utsmani kala itu sudah mengalami masa kemunduran sedangkan Amerika Serikat menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.

Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania Raya yang sedang ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup besar sebagai gantinya.

Sementara itu Menteri Perang Belanda, August Willem Philip Weitzel, kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat di antaranya Teuku Umar.

Teuku Umar diberikan gelar panglima perang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut. Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan Aceh terus melancarkan perang gerilya hingga titik darah penghabisan.

Belanda berhasil menewaskan Teuku Umar dalam serangan mendadak yang dipimpin oleh Van Der Dussen pada 1899. Hindia Belanda berhasil menyergap pasukan Teuku Umar di Meulaboh berkat informasi yang diberikan oleh salah satu Leubee pengkhianat. Perjuangan pasukan Kerajaan Aceh tidak berakhir. Pucuk pimpinan dipegang oleh Cut Nyak Dhien, isteri Teuku Umar yang dibantu oleh Pang Laot sebagai kaki tangannya. Dhien tampil menjadi komandan perang gerilya yang berhasil membunuh ratusan serdadu Belanda di Tanah Rencong.

Sebelumnya sekitar tahun 1892 dan 1893, pihak Belanda telah menyerah untuk merebut Aceh menjadi daerah koloninya. Namun berkat kepiawaian Dr Christian Snouck Hougronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden, berhasil mempelajari karakteristik perjuangan pasukan Aceh. Bahkan Snouck mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh.

Pria yang dijuluki Teungku Puteh ini kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil.

Dr Snouck menyamar selama dua tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Atjehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.

Beberapa isi nasihat Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh yaitu mengenyampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya. Selanjutnya senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama, tidak berunding dengan para pimpinan gerilya.

Snouck juga menganjurkan untuk mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Di sisi lain, Hindia Belanda diharapkan mampu menunjukkan niat baik kepada rakyat Aceh dengan mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.

Joannes Benedictus van Heutsz yang selanjutnya dinyatakan sebagai Gubernur Militer Aceh pada 1898 kemudian mengangkat Dr Snouck sebagai penasihatnya. Bersama letnannya, Hendrikus Colijn--kelak menjadi Perdana Menteri Belanda--dia berhasil merebut sebagian besar kawasan Aceh.

Sultan Muhammad Daud akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda pada 1903, setelah dua istri, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada 1904.

Setelah menyerahnya Sultan Aceh, Belanda memporakporandakan istana Kesultanan Aceh. Penjajah Belanda mengganti istana Darud Dunia dengan bangunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernur. Pada tahun tersebut hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda. Sementara para pejuang terus bergerilya di belantara.

Taktik perang gerilya Aceh kemudian ditiru oleh Van Heutz. Belanda membentuk pasukan marechaussee atau dalam lafal nusantara disebut marsose--yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macannya yang mampu menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh--untuk mencari dan mengejar gerilyawan.

Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara menculik anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri sultan dan Tengku Putroe tahun 1902. Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim.

Akibatnya, Sultan Aceh menyerah di Sigli dan berdamai pada 5 Januari 1902. Van der Maaten diam-diam menyergap Tangse namun tidak berhasil menangkap Panglima Polem. Sebagai gantinya, Belanda menangkap putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya.

Panglima Polem kemudian meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe pada 1903. Akibat Panglima Polem menyerah banyak penghulu-penghulu rakyat yang mengikuti jejaknya.

Taktik selanjutnya pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuto Reh dimana 2.922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan pada 14 Juni 1904.

Taktik terakhir menangkap Cut Nya’ Dien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya’ Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat setelah Belanda bekerjasama dengan Pang Laot, kaki tangan Cut Nyak Dhien yang sebelumnya selalu berperang di sisinya.[] dari berbagai sumber

1 comment: