Thursday, August 18, 2016

Mengenal Para Sultan Kerajaan Aceh Darussalam

JAMAK generasi awal Aceh mengetahui adanya sebuah kerajaan yang pernah berkuasa penuh di Selat Malaka. Kerajaan ini disegani lawan, baik sesama rumpun Melayu hingga bangsa Eropa. Kerajaan itu di kemudian hari disebut-disebut Aceh Darussalam dengan sultan termasyur Iskandar Muda.

Pun begitu, banyak generasi Aceh di era modern yang mulai awam dengan Kerajaan Aceh Darussalam. Padahal kerajaan ini pernah berjaya di abad 16 dan nyaris menguasai seluruh Malaysia dan Sumatera pada waktu itu. Pusat kekuasaan kerajaan ini berada di ujung utara Pulau Sumatera, dan merupakan bahagian paling utara dan paling barat dari kepulauan Nusantara. Di sebelah barat kerajaan ini terbentang Samudera Hindia, sementara di sebelah timur dan utara membujur Selat Malaka.


Para sejarawan mayoritas menduga Kerajaan Aceh Darussalam muncul dan berkembang di awal-awal abad 15. Namun beberapa catatan menunjukkan adanya sebuah pemerintahan di lokasi yang sama medio 1205. Catatan ini berasal dari seorang asing, yang datang ke Aceh dari arah barat.

Syahdan disebutkan seorang asing itu membawa ajaran Islam dan menikah dengan seorang 'banu dar' yang kemudian diterjemahkan sebagai 'puteri dari negeri itu'. Ia kemudian bertempat tinggal di Kandang Aceh yang kemudian muncul sebagai silsilah awal dari deretan nama para Sultan Aceh. Orang asing itu di kemudian hari diketahui bergelar Sultan Johan Syah.

Berdasarkan kronika sejarah yang kemudian dikutip oleh Raden Hoesein Djajadiningrat ini kemudian diketahui juga bahwa cucu Johan Syah adalah Mahmud Syah. Dia memerintah pada 665-708 H/1266-1308 M. Mahmud Syah kemudian memindahkan pusat Kerajaan Aceh Darussalam dari Kandang Aceh dan mendirikan benteng (istana) Darul Dunia.

Mengenai hal ini, tentu saja dibutuhkan kajian otentik dan penelitian ilmiah mengenai asal mula pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. Apalagi konon katanya jika kerajaan ini kemudian menjadi besar setelah hilangnya Kerajaan Lamuri di Teluk Krueng Raya dan meredupnya pengaruh Kerajaan Samudera Pasai di utara Aceh.

Di sisi lain, banyak pula yang menyebutkan Kerajaan Aceh Darussalam lahir setelah adanya penyatuan dua kerajaan kecil: Darul Kamal yang ada di Aceh Besar dan Meukuta Alam yang ada di Banda Aceh sekarang.

Sejatinya, para sejarawan sepakat jika berbicara tentang silsilah raja-raja Aceh maka akan memulainya dari Sultan Ali Mughayat Syah. Pasalnya, catatan asing sering menuliskan nama sultan ini lantaran pada saat itu kedaulatan wilayah Aceh Darussalam mulai terancam oleh kehadiran Portugis di Malaka.

Setidaknya demikian yang tercatat dalam buku "Aceh Bumi Iskandar Muda" yang ditulis Rusdi Sufi dkk. Buku ini kemudian diterbitkan oleh Pemerintah Aceh pada 2008.

Berdasarkan buku tersebut, dicatat ada 31 sultan yang memerintah Kerajaan Aceh Darussalam. Berikut catatan Rusdi Sufi dkk mengenai nama-nama Sultan Kerajaan Aceh Darussalam:

1. Sultan Ali Mughayat Syah

Sultan Ali Mughayat Syah memerintah Aceh pada 1514 Masehi. Di masa pemerintahannya, Sultan Ali Mughayat Syah kerap berseberangan politik dengan Portugis. Hal ini disebabkan jatuhnya Malaka ke tangan bangsa Eropa itu yang turut mengubah peta perdagangan di Selat Malaka. Banyak pedagang-pedagang Islam yang semula tenang berlayar dan berdagang di jalur ini menjadi terusik. Mereka kemudian lebih memilih lego jangkar di kawasan Kerajaan Pedir dan Samudera Pasai.

Portugis yang pada saat itu menguasai Malaka merasa Pedir dan Pasai adalah saingan. Mereka kemudian menyerang Pedir pada tahun 1520 dan mencaplok Pasai pada 1521. Portugis kemudian mendirikan benteng di dua tempat ini yang menyebabkan para pedagang Muslim berpindah ke Bandar Aceh, pusat Kerajaan Aceh Darussalam.

Seperti diketahui, pada masa itu bangsa Portugis sedang menjalankan misi 3 G: Gold (harta), Glory (kejayaan/kekuasaan), dan Gospel (misi perang salib).

Misi terakhir ini pula yang hendak ditanamkan Portugis dan bangsa Eropa lainnya di Semenanjung Melayu, termasuk Aceh yang pada saat itu menerapkan Islam sebagai agama kerajaan.

Sengketa perdagangan di Selat Malaka ditambah kepentingan kristenisasi wilayah menyebabkan Portugis berjumpa dengan Aceh.

Adalah Caspar de Costa yang dipercaya sebagai komandan tertinggi angkatan laut Portugis untuk menyerang Aceh pada 1519. Namun serangan ini berhasil dipatahkan oleh pasukan laut Sultan Ali Mughayat Syah.

Pun begitu, Portugis telah berhasil menancapkan kukunya di Kerajaan Daya. Hal ini membuat Sultan Ali Mughayat Syah mengutus angkatan perangnya untuk mengusir bangsa Eropa itu dari Daya. Serangan ini berhasil. Namun sebagian besar pejabat militer Portugis bersama Raja Daya melarikan diri ke Pedir. Perang ini terjadi pada 1520.

Setahun kemudian, Portugis yang menguasai Pedir kembali menyerang Kerajaan Aceh. Namun lagi-lagi upaya Portugis berhasil digagalkan pasukan Kerajaan Aceh Darussalam. Bahkan, panglima perang Portugis, Jorge de Brito tewas dalam pertempuran. Sisa armada Portugis kembali ke Pedir.

Sultan Ali Mughayat Syah kemudian memerintahkan pasukannya memburu sisa-sisa pasukan Portugis hingga ke Pedir. Serangan balasan ini berhasil. Portugis yang sempat menguasai kawasan itu terpaksa angkat kaki ke Pasai. Tak mau menyia-nyiakan momen kemenangan tersebut, pasukan Kerajaan Aceh Darussalam memburu Portugis hingga ke Pasai pada 1524. Pemimpin Portugis di Pasai, Sebastian de Sousa, berhasil diusir dari daerah ini. Sejak saat itu, Pasai menjadi wilayah Kerajaan Aceh Darussalam.

Sepuluh tahun sejak deklarasi perang melawan Portugis dilakukan, Sultan Ali Mughayat Syah mangkat. Berdasar catatan sejarah, dia meninggal tepat pada 7 Agustus 1530 atau 12 Zulhijah 936 H. Raja besar ini kemudian dimakamkan di Kandang XII, sebuah kompleks pemakaman di areal istana Darul Dunia. Makam Sultan Ali Mughayat Syah masih bisa kita jumpai hingga sekarang. Letaknya berada di dalam kompleks militer TNI AD yang tidak jauh dari Meuligoe Gubernur Aceh.

2. Sultan Salahuddin

Sepeninggal Sultan Ali Mughayat Syah, Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultan Salahuddin. Ia merupakan putra mahkota Sultan Ali Mughayat Syah yang memerintah hingga 1537 M.

Di masa awal pemerintahannya, Sultan Salahuddin turut menyerang Portugis yang ada di Malaka. Namun upaya meneruskan cita-cita ayahnya ini gagal dikarenakan lemahnya pengaruh Salahuddin pada saat itu. Dia bahkan disebut-sebut lebih mempercayakan jalannya pemerintahan kepada para kalangan istana, sehingga membuat adiknya memakzulkan Salahuddin pada 1537 M. Kudeta ini tidak menyebabkan Salahuddin terbunuh. Dia hidup hingga 25 November 1548 M atau 23 Syawal 955 H.

3. Sultan Alaidin Riayat Syah Al Kahar

Sultan ini merupakan putra kedua Sultan Ali Mughayat Syah. Alaidin Riayat Syah yang merebut tahta dari Sultan Salahuddin kembali meneruskan upaya penyerangan terhadap Portugis di Malaka. Tepatnya bulan September 1537 M, Kerajaan Aceh kembali menyerang . Malaka. Serangan ini berhasil menenggelamkan dua kapal perang Portugis, tetapi gagal mengusir bangsa Eropa tersebut dari Malaka.

Berselang 31 tahun sejak serangan pertama, Sultan Alaidin Riayat Syah kembali menyerang Portugis di Malaka. Serangan kali ini langsung dipimpin sang Sultan dengan memboyong kapal perangnya. Namun pihak Portugis telah mencium rencana serangan tersebut. Mereka jauh-jauh hari mempersiapkan pertahanan di Selat Malaka. Pemerintahan Portugis di Malaka  juga mendapatkan bantuan dari Kerajaan Goa (kerajaan taklukkan Portugis di India) dan pasukan tambahan dari Kerajaan Portugal. Selain itu, mereka juga berhasil membujuk Johor dan Kedah untuk melawan armada laut Kerajaan Aceh Darussalam.

Akibat bantuan dari Johor dan Kedah ini pula yang membuat Kerajaan Aceh kembali gagal memukul Portugis di Malaka. Dua kerajaan ini menjadi tulang punggung pertahanan Portugis yang membuat Sultan Alaidin Riayat Syah jengkel. Akibatnya, fokus serangan selanjutnya diarahkan ke Johor. Serangan Kerajaan Aceh Darussalam ke wilayah sekutu Portugis ini berhasil dan kemudian kembali ke ibukota.

Selain beberapa kali menyerang Portugis di Malaka, Sultan Ali Riayat Syah juga turut mengirimkan mubaligh ke Kerajaan Batak. Pada masa itu, orang-orang di kerajaan ini masih menganut paham animisme, tothemisme, dan dinamisme. Para mubaligh yang dikirim ke Tanah Batak adalah mereka-mereka yang berasal dari Aceh, Arab, Turki, dan India.

Berdasarkan riwayat, di masa Sultan Alaidin Riayat Syah pula terjadi pembagian masyarakat Aceh dalam suku (sukee) atau kaum. Adapun masyarakat Aceh pada saat itu terdiri dari Sukee Lhee Reutoh, Sukee Imum Peut, Sukee Tok Batee, dan Sukee Jok Sandang.

Sultan Alaidin Riayat Syah memerintah Kerajaan Aceh Darussalam lebih kurang 34 tahun. Dia mangkat pada 28 September 1571 atau bertepatan dengan 8 Jumadil Awal 979 H. Sultan ini kemudian dimakamkan di kompleks Kandang XII, tepat di sisi makam ayahnya Sultan Ali Mughayat Syah.[] Bersambung...

No comments:

Post a Comment