Sunday, December 29, 2024

"Mengapa Harus Sejarah?"

"Mengapa harus sejarah?"

Begitulah anak laki-laki saya bertanya ketika dia melirik apa yang saya kerjakan dalam beberapa hari terakhir ini. Pertanyaan itu muncul begitu saja, tidak berdasarkan pesanan ibunya atau orang lain. Dia hanya penasaran, mengapa ayahnya begitu menyukai sejarah, membaca tulisan sejarah atau gemar menulis tentang sejarah.

Sedari kecil, anak laki-laki saya memang kadung mempertanyakan buku-buku yang ada di rak bertema tentang sejarah. Saya menjelaskan sebisanya ketika usianya begitu belia.

Kini, pertanyaan itu kembali keluar dari putra tertua saya di usianya yang sudah menginjak sepuluh tahun.

"Ayah lagi baca sejarah apa?" Tanya anak saya di lain waktu ketika saya sedang membaca buku.

"Ayah sedang menulis tentang sejarah apa? Abang mau tahu," selidik putra tertua saya yang tak jarang kritis tentang apa yang saya kerjakan, sembari terus memainkan tongkat dari gagang sapu di tangannya.

Saya mencoba menceritakan sebisanya sesuai fakta-fakta yang saya temukan, berdasarkan referensi sejarah yang saya punya. Keingintahuan sang anak tentang sejarah terkadang membuat saya mengajaknya ke tempat-tempat bernuansa sejarah, seperti museum dan juga pernah menyambangi sekretariat Mapesa.

Di sana, saya memperlihatkan beragam budaya peninggalan leluhur yang sesekali dilihatnya di dalam buku-buku bacaan milik saya.

"Oh, ternyata di batu nisan itu ada tulisannya ya, Yah?" timpalnya begitu mengetahui nisan-nisan kuno Aceh tak hanya sekadar batu belaka, tetapi juga diukir sejarah ringkas tentang si pemilik nisan di sana.

Pernah suatu waktu, anak laki-laki saya berdebat tentang batu nisan yang ada di belakang rumah milik saudara temannya. Menurut temannya tersebut, nisan itu milik orang non-Muslim. Sementara anak laki-laki saya berpendapat bahwa nisan itu adalah milik orang Aceh karena adanya ukiran aksara Arab.

Pun demikian, temannya yang lebih tua dari usia anak saya masih kukuh berpendapat bahwa nisan tersebut merupakan milik Belanda. Pendapat itu diperkuat oleh temannya berdasarkan keterangan sang ayah.

Anak saya yang sudah melihat nisan-nisan tersebut di sekretariat Mapesa dan media sosial milik teman-teman ayahnya, mempertahankan pendapat bahwa nisan itu adalah milik orang Aceh. Dia juga ikut menyetir keterangan yang saya berikan--sebisa anak seumurannya.

Dia lantas menceritakan perdebatan itu kepada saya. "Benarkan Yah, nisan itu milik orang Aceh?"

Saya mengiyakan, sembari mengatakan ketidaktahuan seseorang membuatnya menjadi "buta dan tuli". Orang hanya akan melihat sesuatu objek sebagai benda asing, ketika dia tidak mampu menempa rasa kritis atau rasa ingin tahu tentang objek tersebut. Selain itu, orang akan "buta" ketika dia menerima informasi keliru dari orang yang dipercayainya sehingga ia menjadi "tuli" dengan informasi terbaru.

"Salah satu golongan orang seperti itu mungkin termasuk teman kamu karena dia mempercayai kata-kata ayahnya," kata saya kepada si anak.

Lalu saya dan anak sulung saya terlibat diskusi tentang sejarah. Saya mencoba menjawab beberapa pertanyaan kritis dari anak saya, meski saya mengakui tidak semua pertanyaan-pertanyaan itu mampu saya jawab.

"Nah, mengapa ayah menyukai sejarah? Pertanyaan abang yang itu belum dijawab," kata anak saya, beberapa malam yang lalu.

Di titik ini, saya kemudian berkisah mengapa saya menyukai sejarah. Rasa kecintaan saya terhadap sejarah pertama kali muncul ketika duduk di bangku SMP, karena dipengaruhi oleh kemampuan guru yang mengampu mata pelajaran tersebut dalam berkisah.

Rasa tertarik saya kepada sejarah kian meningkat ketika mengenyam pendidikan SMA, juga karena dilatarbelakangi oleh kemampuan dan pemahaman guru yang mengajar sejarah. Saya juga tertarik melihat film-film kolosal bertema sejarah yang sesekali diputar di televisi, apalagi ketika bulan Ramadan.

Ketertarikan saya terhadap sejarah kemudian membuat Pendidikan Sejarah menjadi salah satu pilhan saya ketika masuk universitas, dan menghabiskan waktu selama hampir enam tahun hingga mendapat gelar sarjana. Selama mengenyam pendidikan di sana, jiwa muda untuk berpetualang menggali sejarah daerah sama sekali tidak terasah karena kondisi keamanan di Aceh.

Selama menempuh kuliah, hanya beberapa kali kami diajak ke objek cagar budaya yang pada masa itu wawasan kesejarahannya begitu terbatas dengan beragam alasan, seperti sumber daya dan juga politik negara. Selain itu, saya dan kawan-kawan tidak ditempa untuk menjadi sejarawan, arkeolog, filolog, dan sebagainya yang berkaitan dengan ilmu sejarah. Namun, sesuai dengan latar belakang pendidikan yang kami tempuh, kami hanya dibentuk menjadi para pendidik yang kelak mengajar dan menyampaikan sejarah kepada generasi muda--hasil penelitian para sejarawan.

Di perjalanan waktu, saya lebih banyak mendapat informasi tentang sejarah yang terkubur justru ketika mulai aktif di dunia jurnalistik setelah tsunami menghumbalang Aceh. Saya mulai intens bertemu dengan beberapa narasumber yang paham sejarah, yang beberapa diantaranya merupakan dosen-dosen saya di bangku kuliah. Ketika status saya bukan lagi mahasiswa, para dosen ini lebih terbuka dalam berkisah tentang sejarah Aceh. Apalagi kondisi daerah berangsur stabil setelah 15 Agustus 2005.

Sejak itu, saya begitu mudah mendapat akses informasi tentang sejarah dari dunia maya. Saya sesekali menuangkannya dalam tulisan panjang di surat kabar cetak Harian Aceh, meski akurasi kebenarannya belum mencapai 100 persen. Pada masa itu, saya berpikir; tulis saja dulu apa yang didapat di lapangan untuk diteliti lebih lanjut kebenarannya, baik oleh saya maupun orang lain. Pada titik ini, saya menempatkan diri ibarat seorang guru sekolah dasar yang tujuan utama adalah mengajarkan anak-anak untuk memiliki kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau semacamnya.

Perlahan, tapi pasti, saya mulai melihat fenomena munculnya penulis-penulis sejarah di media massa meski latar belakang keilmuan mereka bukan dari almamater sejarah, arkeolog atau pun yang berkaitan dengannya. Dalam hati, saya berdecak kagum. Saya mulai membaca apa yang mereka tulis, dan beberapa tulisan itu sebenarnya sudah pernah saya dengar dari dosen saat saya kuliah dulu.

Lebih lanjut, saya kemudian melihat ada beberapa pihak yang justru memilih menulis sejarah karena keinginan untuk mendapat sepotong "kue" dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Tulisan-tulisan sejarah mereka kemudian dicetak menjadi buku--yang anggarannya ditanggung pemerintah. Meski kemudian saya sebagai warga Aceh sama sekali tidak pernah mendapat buku gratis hasil proyek pemerintah itu.

Tak jarang, orang-orang seperti itu terkesan menganggap penulis-penulis seperti saya sebagai saingan yang secara halus "dibungkam" karena khawatir "kue" anggaran akan berkurang.

Pun begitu, saya tidak mau ikut pusing memikirkan hal tersebut, karena sejatinya, misi saya di awal-awal menulis artikel sejarah di media massa sudah tercapai.

"Itu kenapa Ayah menyukai sejarah," tandas saya kepada anak laki-laki tertua, yang matanya terlihat mulai merah karena mengantuk.

Note: Tulisan ini berdasarkan kisah nyata dengan penambahan beberapa fiksi sebagai pelengkap cerita.

No comments:

Post a Comment