Tuesday, August 13, 2013

Amuk api wujudiyah di pusat kota Aceh

BANYAK yang mempertanyakan semegah apa Darud Dunia selaku pusat Kerajaan Aceh Darussalam di masa kejayaannya.

Sejarah Aceh pun menjadi buram dengan minimnya bukti-bukti dan pondasi istana. Sangat rumit membayangkan bagaimana bentuk pusat kekuasaan Kerajaan Aceh seperti yang diceritakan pengelana dari Perancis Beaulieu di abad ke 16 tentang istana Darud Dunia.

Hal tersebut bisa dimaklumi apalagi sejak Belanda mengeluarkan maklumat perang kepada Kerajaan Aceh pada 26 Maret 1873. Peperangan tersebut berlangsung hingga 70 tahun lamanya yang merenggut korban teramat banyak dari kedua belah pihak.


Peperangan ini juga turut membumihanguskan pusat ibu kota kerajaan seperti yang dilakukan Van Dallen pimpinan perang Belanda. Untuk menghapus kenangan kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam, Van Dallen bahkan menggantikan nama kota Banda Aceh dengan Kuta Raja. Bahkan, dia turut menghancurkan Darud Dunia dan mendirikan tangsi Belanda.

Namun jauh-jauh hari sebelum Belanda merenggut semua bukti-bukti kejayaan Kerajaan Aceh tersebut, sejarah mencatat Kerajaan Aceh juga pernah mengalami perang saudara yang berakibat pada pembakaran ibukota.

Yunus Jamil dalam bukunya; Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh, seperti dikutip Ali Hasjmy menukilkan pada saat Aceh dipimpin Seri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin tahun 23 Oktober 1675, kerajaan Aceh pernah diserang oleh kaum wujudiyah. Kaum wujudiyah ini sangat menentang wanita menjadi pimpinan tertinggi sebuah negara.

Ratu yang menggantikan Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin tersebut, dihadapkan oleh tekanan-tekanan bangsa Eropa seperti Inggris, Belanda dan Portugis yang hendak menguasai perdagangan rempah-rempah di Asia Tenggara. Di sisi lain, kekuasaannya turut di rong-rong oleh orang Aceh yang menganut paham Wujudiyah.

Kaum Wujudiyah yang diduga telah menyeleweng dari ajaran Islam tersebut terus meningkatkan serangannya kepada kepemerintahan Ratu. Puncaknya, mereka turut membakar Kota Banda Aceh seperti yang dilukiskan oleh Ilyas Sutan Pamenan dalam bukunya Rencong Aceh di Tangan Wanita.

"....amat sulitlah bagi Nurul Alam untuk memajukan perekonomian rakyat, sungguhpun dalam garis besarnya mencoba menurutkan (mengikuti) jejak Raja (Ratu) Putri Tajul Alam. Tambahan lagi bermacam-macam cobaan ditimpakan kepada ratu itu. Baru saja ia duduk ke atas tahta kerajaan, tiba-tiba terjadi kebakaran yang sangat dan maha mengejutkan."

"Masjid Raya Baiturrahman dan Istana Seri Sultan beserta segala isinya, yang berarti tanda-tanda kebesaran raja habis musnah dimakan api, yang bersimaharajalela dan berkuasa di Banda Aceh beberapa hari lamanya. Segala tenaga dikerahkan untuk memadamkan api itu sia-sia belaka. Sungguh sial raja yang bercita-cita baik untuk rakyatnya."

"Kebakaran di Aceh yang mahadahsyat itu, juga turut menggemparkan Malaka yang memuat peristiwa itu dalam tambo kerajaan pada tahun 1677..."

Guna menekan pengaruh oposisi "Kaum Wujudiyah" dan kelompok oposisi lain, Seri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin mengadakan perubahan-perubahan dalam pemerintahannya. Antara lain menyempurnakan Qanun Al Asyi atau Adat Meukuta Alam.

Di antara perubahan-perubahan penting yang dilakukan Seri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin dengan petunjuk Kadi Malikul Adil Syekh Abdurrauf Syiah Kuala dan dengan persetujuan Balai Majelis Mahkamah Rakyat, yaitu hal ikhwal sekitar pengangkatan Sultan dan menyempurnakan Federasi Tiga Sagi yang telah dibentuk oleh Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin, yaitu Sagi XXII Mukim, Sagi XXV Mukim, dan Sagi XXVI Mukim.

Kedudukan ketiga panglima sagi sangat kuat, antara lain merekalah yang memberi kata akhir dalam pengangkatan atau memberhentikan seorang sultan. Hal tersebut kemudian diatur dalam Qanun Meukuta Alam yang direvisi :

1. Yang berhak memilih dan memakzulkan Sultan, yaitu :

a. Seri Imum Muda, Cot'oh, Panglima Sagi XXVI Mukim.

b. Seri Setia Ulama, Panglima Sagi XXV Mukim.

c. Seri Muda Perkasa Panglima Polem, Panglima Sagi XXII Mukim.

d. Kadi Malikul Adil (Ketua Mahkamah Agung).

2. Seorang sultan yang diangkat berkewajiban membayar :

a. 32 kati emas murni sebagai jeunamei (mahar).

b. 16 ribu ringgit uang tunai sebagai dapha.

Jinamei dan dapha tersebut kemudian dibagikan kepada Panglima Sagi XXV Mukim, Panglima Sagi XXVI Mukim dan Panglima Sagi XXVII Mukim dengan masing-masing sagi mendapat 10 kati emas dan lima ribu ringgit.

3. Seorang sultan baru boleh dan sah dinobatkan setelah nyata sultan sebelumnya wafat atau dimakzulkan.

4. Daerah-daerah yang langsung di bawah Sultan, yaitu :

a. Daerah istana Darud Dunia dan ibu kota Kerajaan Banda Aceh Darussalam.

b. Mukim Masjid Raya.

c. Mukim Lueng Bata.

d. Mukim Pagar Aye.

e. Mukim Lamsayun.

f. Kampung Pandee.

g. Kampung Jawa.

h. Kampung Pelanggahan.

i. Mukim Meuraksa.

5. Kepala-kepala pemerintahan di luar Aceh Rayek (Uleebalang, Keujrun) dan sebagainya.

6. Kepala-kepala pemerintahan dalam Aceh Rayek, dipadakan dengan turun temurun tanpa ada pengangkatan baru (uleebalang darah murni), kecuali kalau beralih keturunan.

7. Hak otonomi diberikan seluas-luasnya kepada semua pemerintah daerah, termasuk keuangan dan kepolisian, kecuali beberapa sumber kekayaan yang langsung dikuasai sultan. (Daerah otonomi ini seperti Kerajaan Pedir, Kerajaan Meurhom Daya, Kerajaan Linge dan Alas, Kerajaan Pasee, Kerajaan Jeumpa, Kerajaan Barus, Kerajaan Perlak, Neugeri Beunua Teumieng dan Kerajaan Deli serta Minangkabau dan lainnya).

8. Urusan luar negeri dan pertahanan semuanya menjadi wewenang Pemerintah Pusat (Sultan).

Meskipun telah merevisi Qanun Al Asyi dan Qanun Meukuta Alam, sabotase Kaum Wujudiyah terus mendesak kekuasaan ratu dan membawa dampak buruk bagi pemerintahan Kerajaan Aceh.

Hingga mangkatnya Seri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin Syah pada 1 Zulkaidah 1088 Hijriyah atau 1678 Masehi, Kaum Wujudiyah terus menentang kekuasaan tertinggi dipegang oleh wanita yang kemudian berdampak pada dua sultanah penerus lainnya.[]

Sumber : Ali Hasjmy dalam buku Wanita Aceh; Negarawan dan Panglima Perang. Tulisan ini sudah ditayangkan di ATJEHPOSTcom

No comments:

Post a Comment