ACEH
memiliki posisi strategis di jalur perdagangan dunia sejak masa Kerajaan Aceh
Darussalam. Ribuan pedagang dari berbagai negara berdatangan ke Aceh yang
dikenal kaya akan hasil alamnya. Mulai dari bangsa-bangsa Asia, Eropa bahkan
Amerika mengetahui Kerajaan Aceh pada era kejayaannya.
Pedagang-pedagang ini
terus “mengerubungi” hasil alam Aceh melalui perdagangan yang saling
menguntungkan, hingga niat ingin menguasai hasil bumi daerah ini secara keseluruhan.
Berbagai
siasat dijalankan untuk mendapat perhatian Sultan Aceh yang berkuasa. Ada pula
yang berniat menjalin hubungan diplomatik dan menyebarkan agama. Berdasarkan
catatan Denys Lombard dalam buku Kerajaan Aceh; Zaman Sultan Iskandar Muda
(1607-1636) dijelaskan mengenai beberapa bangsa asing yang berdagang di Aceh.
Di antara sekian banyak pedagang tersebut, Denys
Lombard mengawali tulisan hubungan dagang Kerajaan Aceh Darussalam dengan
bangsa China. Pembuktian adanya hubungan dagang dengan Cina ini dinukilkan
Denys Lombard merujuk pada laporan-laporan yang dibuat sesudah ekspedisi
sida-sida Zheng He ke lautan selatan.
Istana Aceh
masih menyimpan kenangan akan kunjungan yang termahsyur itu; sebuah genta besar
yang beraksara Arab dan tulisan China tahun 1409 digantung sebagai tanda
kemenangan di kediaman para sultan.
Dalam sebuah
panduan lautan China yang diperkirakan berasal sebelum abad ke 17, ada pemerian
yang bagus mengenai jalan dari Banten ke Aceh (melalui barat Sumatera); juga
mengenai jalur-jalur lintasan dari Aceh ke Malaka dan ke India. Hal ini
membuktikan adanya hubungan dagang China di persimpangan Sumatera.
Dong xi yang kao yang ditulis pada tahun 1618 mengetahui
kejadian-kejadian di Aceh dari beberapa dasawarsa sebelumnya dan mencatat betapa
pelabuhan tersebut menarik para pedagang: “Oleh karena negeri itu jauh
letaknya, mereka yang mendatanginya berganda keuntungannya.” Hal senada dicatat
pula oleh Sejarah Dinasti Ming.
Bangsa Eropa
yang mendatangi Aceh saat itu juga menyebut kehadiran bangsa China. “There are in Achem many Chineses that use
trade…and can well inform your Lordship of that worthy kingdom of China… (I
meet) a very sensible merchant of China that spake Spanish… Our Baase [nama
yang diberikan awak kapal kepada kapten Belanda Van Houtman] disliking that I
so much frequented the Chinaes company commended me aboard,” tulis Jhon
Davis dalam Purchas, His Pilgrims.
Kesaksian
Davis ini dapat diartikan, “Di Aceh pedagang China banyak sekali…; maka saya
dapat mengabari Yang Mulia (Earl of Essex) tentang kerajaan China yang luhur
itu…; mereka mempunyai kampung khusus seperti bangsa Portugis, Gujarat, Arab…”
juru mudi Inggris itu bahkan menjalin persahabatan dengan seorang pedagang
China, “yang pandai bicara bahasa Spanyol. Tapi Cornelis de Houtman jengkel
melihat keduanya akrab dan Davis dilarang meninggalkan kapal.
Beberapa
barang China yang diperdagangkan di Aceh pada masa itu diantaranya bakong
China, kertas, dan porselen. Selain itu China juga membawa beras, teh dan kipas
ke Aceh untuk diperdagangkan.
Hubungan
dagang Aceh dengan China juga dinukilkan Guillaume Dampier. Menurut Dampier
China memiliki perkampungan tersendiri di salah satu ujung kota dan dekat laut
yang disebut dengan Kampung China.
Di sana, kata Dampier, mereka selalu tinggal
dan menurunkan barang-barangnya untuk dijual. Bahkan ada beberapa pengrajin
yang datang dari negerinya ke Aceh seperti tukang kayu, tukang mebel, dan
tukang cat. Para pengrajin ini langsung membuat koper, peti uang, lemari dan
segala macam karya kecil dari China yang kemudian dipamerkan di depan pintu
rumah untuk dijual.
Selain
China, Kerajaan Aceh juga didatangi pedagang dari tanah Jawa seperti
diceritakan Van Neck, kapten yang memimpin perjalanan Belanda kedua ke
Nusantara tahun 1598 hingga 1600. Van Neck menyebutkan dia memang tidak
berlabuh di pantai Aceh namun dia berjumpa dengan seseorang dari Hamburg yang
belum lama berselang mengunjungi tempat itu dan memujinya. Laksamana teman Van
Neck ini menceritakan dan menggarisbawahi rasa segan orang Jawa terhadap Aceh.
“Di kota
Aceh itu dilakukan perdagangan besar, harus dianggap benar karena hal itu telah
dinyatakan oleh semua orang Jawa yang menyenangi dan mengunjungi pelabuhan itu
seperti halnya kota dagang kita yang paling termasyhur. Selanjutnya satu-satunya
nama yang dapat mereka berikan kepada Pulau Sumatra ialah negeri Aceh.”
Mengenai
hubungan dagang antara orang Aceh dengan pedagang dari Pulau Jawa tersebut
perlu diteliti lebih lanjut. Apalagi, referensinya sangat sedikit. Selain
pernyataan Van Neck, hanya teks Hikayat Aceh yang menyebutkan nama Gampong Jawa
ada di Aceh sebanyak dua kali.
Pedagang
dari negara Asia lainnya yang kerap mengunjungi Aceh yaitu bangsa Siam. Mereka sering mendatangi Pasai sekitar tahun
1520. Kendati terjalin hubungan dagang dan tidak saling mengganggu antara kedua
kerajaan akibat letaknya yang jauh, namun tidak jarang pula persaingan bisnis
dan perebutan dominasi pelabuhan berlaku diantara keduanya.
Seperti yang
diceritakan Denys Lombard mengutip keterangan Best yang berjumpa dengan seorang
utusan dari Siam. Dia memakai nama rajanya mengundang Best dan bangsa Inggris
ke Ayuthia. “How joyfull their King would be, if our shipping came to his
courts,” kata Best.
Aceh dan
Siam juga disebut-sebut memiliki hubungan diplomatik seperti ditulis Lombard.
Prasat Thong, raja Siam yang hendak membalaskan dendamnya kepada pemberontak
Patani mencari ketegasan mengenai kenetralan Aceh. Namun hubungan diplomatik
tersebut berlangsung singkat. Pada tahun 1688 ada orang-orang Islam Aceh yang datang
ke Siam untuk menyebarkan agama Islam. Prihal ini ditulis oleh Wood dalam
Sejarah Siam tahun 1926.
Catatan lain
mengenai hubungan dagang Kerajaan Aceh dengan pedagang asing juga disebutkan
oleh Lancaster yang singgah ke Aceh pada 5 Juni 1602. Dia menghitung sekitar 16
hingga 18 kapal yang berada di pelabuhan Aceh. “Some guzerats, some of Bengala,
some of Calicut (called Malabares), some Pegues. Selain itu juga ada
kapal-kapal dari Koromandel yang berlabuh di Aceh saat itu dan menandakan
adanya hubungan dagang antara India dengan Aceh.
Berbagai
barang dibawa oleh pedagang Pegu (India). Salah satu diantaranya tembikar.
Begitu pula orang-orang Benggali yang membawa kapas, kain, candu, dan guci
besar berisi mentega atau minyak. Mentega dan minyak ini terbuat dari susu
kerbau dan menjadi tengik di negeri Aceh namun sangat digemari oleh rakyat
ujung Sumatera tersebut.
Pedagang-pedagang
dari negeri India tersebut juga mengekspor besi dan baja, kain putih atau
berwarna dan beberapa intan, Sebagai gantinya ia mengimpor kemenyan, kamper dan
Barus, lada dari Priaman atau dari Tiku, barang porselin atau barang lain dari
China serta sutera yang belum diwarnai. Mereka turut membawa ikan asin dan
terasi, bandela kapas atau kain tenun. Sama halnya dengan China, pedagang-pedagang
Gujarat atau India ini merupakan pemilik toko terbesar di Kota Banda Aceh saat
itu.
Bangsa asing
lainnya yang mendatangi Aceh yaitu Turki yang mengikat hubungan dagang,
diplomatik dan budaya. Turki bahkan menjadi sekutu besar Kerajaan Aceh untuk
melawan Portugis dan Belanda.
Selain Turki
juga ada bangsa Perenggi atau Eropa. Salah satunya yaitu pedagang-pedagang dari
negeri Portugis ini berdatangan sejak Sultan ‘Ala ad-Din Riayat Syah berkuasa
di Aceh. Namun, niat mereka berdagang di Aceh dicurigai oleh sultan sebagai
langkah menancapkan monopoli dagang di Selat Malaka.
Sebagai
bangsa Eropa yang pertama singgah di Aceh, kedatangan pedagang Portugis menjadi
pelajaran bagi Sultan ‘Ala ad-Din untuk mencari tahu lebih banyak tentang
sejarah bangsa Eropa yang kemudian hari semakin banyak berdatangan ke Selat
Malaka.
Tidak hanya
Portugis, pedagang-pedagang Prancis, Inggris, Belanda, Spanyol bahkan Amerika
sejak saat itu kian sering singgah ke pelabuhan Aceh. Baik di pesisir utara,
barat dan juga timur Aceh. Mereka memburu hasil bumi Aceh yang diekspor
terutama rempah-rempah seperti cendana, sapang, damar, sari, kemenyan putih,
kemenyan hitam, kapur (kamper), akar pucuk, minyak rasamala, kulit kayu masui,
lada, cabai keriting (campli puta), bunga lawang (cengkeh), gading, lilin, tali
temali dari sabut kelapa dan sutera. Selain itu, Kerajaan Aceh juga dikenal
sebagai daerah yang mengekspor gajah dan kuda. Aceh juga menjadi negara
pengekspor bubuk mesiu, bedil, pewarna, vermiliun, manjakani, kesumba, hartal,
dan tawas.[]
PENULIS : BOY NASHRUDDIN AGUS
No comments:
Post a Comment