ROMBONGAN utusan Syarif Mekkah tiba di Aceh tahun 1092 Hijriyah atau 1681 Masehi. Didominasi pedagang, mereka mengikat kerjasama dan menyatakan ketertarikan dengan kehidupan di Banda Aceh kepada Sultan Zakiatuddin. Diantara utusan Syarif Mekkah ini terdapat Syarih Hasyim dan Syarif Ibrahim yang memilih tinggal di Aceh saat yang lainnya kembali ke Arab tahun 1094 Hijriyah atau 1683 Masehi.
Ali Hasjmy dalam bukunya Wanita Aceh; Negarawan dan Panglima Perang menukilkan peran dua syarif ini dalam dunia perpolitikan Aceh. Kedua bersaudara dari Mekkah ini menetap di Aceh saat Seri Ratu Zakiatuddin memimpin Aceh. Namun kepemimpinan sultanah ini tidak lama. Tepat tanggal 8 Zulhijjah 1098 H atau bertepatan dengan 3 Oktober 1688 Masehi, Ratu Zakiatuddin mangkat. Dia digantikan Seri Ratu Kamalatuddin Syah atau kerap dikenal Ratu Kamalat.
Kondisi kerajaan yang tidak stabil sejak ditinggalkan Ratu Zakiatuddin, dimanfaatkan dengan baik oleh sekumpulan politisi. Salah satunya dua bersaudara dari Mekkah, Syarih Hasyim dan Syarif Ibrahim yang memperalat Kaum Wujudiyah untuk mencapai maksudnya. Mereka turut merangkul hulubalang yang tidak puas selama pemerintahan ratu karena hak-hak istimewa mereka dihapus. Penobatan Ratu Kamalat tentu saja menimbulkan gejolak politik akibat ada yang pro dan kontra.
Posisi Ratu Kamalat yang baru satu hari dilantik nyaris direbut kaum oposisi jika tidak mendapat bantuan dari Kadi Malikul Adil, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala dan Panglima Sagi XXII, XXVI dan XXV mukim. Kemelut perebutan tahta ini digambarkan oleh Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad.
“…sebaik dia (Ratu Kamalatuddin) timbul bahaya perebutan tahta. Golongan pemerintah (para menteri) menginginkan supaya perempuan tidak lagi menjadi raja. Sebaliknya, golongan Tiga Panglima Sagi mengingkan perempuan tetap menjadi pilihan (raja). Tiga Sagi menang, karena mereka lebih kuat tampaknya. Maka diangkatlah lagi seorang putrid bangsawan…”
Hal senada disampaikan M. Yunus Jamil dalam bukunya Tawarikh Raja-raja Aceh. Dia melukiskan peristiwa tragis itu, “…diangkatnya ratu ini (Kamalat Syah) menjadi Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam menimbulkan kegoncangan politik, terutama dalam golongan pembesar-pembesar negara. Ada golongan yang mendukung Kamalat Syah dan ada pula yang berusaha supaya Syarih Hasyim Jamalul’lail diangkat menjadi sultan, dan ada pula yang menghendaki agar Maharaja Lela Abdurrahim, keturunan Maharaja Lela Daeng Mansur, diangkat menjadi raja. Dengan kecerdikan dan wewenangnya, Waliyul-Mulki, Mufti Besar Kerajaan Aceh Darussalam, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, kegoncangan itu dapat ditenteramkan kembali. Seri ratu Kamalatuddin Syah tetap diangkat menjadi Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam. Pemerintahan baginda pada tahun 1098-1109 H (1688-1699 M).”
Kendati mendapat tekanan politik dari kaum oposisi, Ratu Kamalat lebih memfokuskan diri membangun perekonomian kerajaan. Kebijakan tersebut mendapat dukungan dari Syekh Abdurrauf Syiah Kuala serta ulama besar lainnya.
Hubungan dengan negara-negara tetangga terus dipererat kecuali dengan Belanda. Hubungan dua kerajaan ini terus pelik akibat VOC yang terus menggerogoti wilayah-wilayah Kerajaan Aceh Darussalam di Malaka dan pesisir barat serta pesisir timur Sumatera. Untuk melawan imperialisme negeri kincir angin tersebut, Ratu Kamalat membangun hubungan dengan Persatuan Dagang Inggris.
Persatuan Dagang Inggris datang ke Banda Aceh pada tahun 1695 dan mendirikan kantor dagangnya di Aceh yang disambut dengan tangan terbuka oleh Ratu Kamalat. Meski menerima kedatangan orang-orang Inggris tersebut, Ratu Kamalat tidak pernah lupa memikirkan keuntungan untuk Kerajaan Aceh dari persekutuan tersebut.
Beberapa peraturan dan perjanjian dibuat Ratu Kamalat dengan Persatuan Dagang Inggris (English East India Company). Salah satunya untuk melawan operasi VOC Belanda.
Di tengah gencarnya pembangunan negara dan telah mendapatkan persetujuan Balai Majelis Mahkamah Rakyat, penasehat Kerajaan Aceh Darussalam Syekh Abdurrauf Syiah Kuala meninggal dunia, Senin 23 Syawal 1106 H atau 1695 M. Dia meninggal di usia 100 tahun.
Penjabat Malikul Adil Kerajaan Aceh Darussalam pengganti Syekh Abdurrauf tidak begitu kuat menghadapi oposisi. Bahkan Ilyas Sutan Pamenan menuliskan dalam bukunya Rencong Aceh di Tangan Wanita menuliskan, Malikul Adil baru ini berencana berangkat ke Mekkah untuk meminta fatwa kepada Mufti Besar Mekkah tentang sah atau tidaknya wanita menjadi pemimpin.
Menurut M Yunus Jamil dalam Aceh Sepanjang Abad, menjelaskan Kadi Malikul Adil ini sebenarnya tidak pernah berangkat ke Mekkah. Dia hanya menjalankan tipu muslihat dan berpura-pura telah menemui Mufti Besar Mekkah. Dia juga menunjukkan surat palsu dari Mekkah yang menyatakan wanita tidak sah menjadi raja menurut hukum Islam.
Surat palsu ini dibahas oleh Balai Majelis Mahkamah Rakyat yang tidak mengetahui bahwa Kadi Malikul Adil sudah memihak oposisi. Bahkan tanpa sepengetahuan Ratu Kamalat banyak anggota Balai Majelis Mahkamah Rakyat yang sudah diganti dan kuota legislative perempuan semakin sedikit. Setelah membahas isi surat tersebut, Balai Majelis Mahkamah Rakyat menetapkan keputusan bahwa Ratu Kamalat harus turun tahta.
Ratu Kamalat kemudian dimakzulkan pada hari Rabu, 20 Rabiul Awal 1109 H atau 1699 M. Sebagai penggantinya dinobatkan Syarif Hasyim Jamalul’lail menjadi Sultan Kerajaan Aceh Darussalam dengan gelar Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamalul’lail.
Tujuh tahun setelah dimakzulkan, Ratu Kamalat Syah meninggal dunia pada Ahad, 28 Zulhijjah 1116 H atau 1705 M. Dia dimakamkan di dekat tiga ratu sebelumnya dan Sultan Iskandar Muda di komplek Istana Darud Dunia.[]
Tulisan ini sudah dimuat di ATJEHPOSTcom
No comments:
Post a Comment