Masa pemerintahan Sultan Alaidin Mahmud Syah,
istana Kerajaan Aceh dibangun ulang di seberang Kuala Naga (Krueng Aceh) dengan
nama Kuta Dalam Darud Dunia.
TUGU dengan tinggi sebatas
pinggang ini berdiri kokoh. Di atasnya sebuah plat dari besi putih bertulis
sebuah kalimat dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Aceh, Indonesia, dan Inggris.
Tak ada keterangan tahun pembangunan tugu dan siapa yang membangunnya. Namun
dari kondisinya, bangunan ini hanya berusia beberapa tahun saja. Masih
terhitung bangunan baru.
Terbaca kalimat dalam bahasa
Indonesia; “Di sini cikal bakal kota Banda Aceh tempat awal mula Kerajaan Aceh
Darussalam di dirikan oleh Sultan Johansyah pada 1 Ramadhan 601 H (22 April
1205 M).”
Ada lima batang pohon ketapang
melingkari tugu ini. Daun-daun ketapang yang berwarna kuning luruh berserak di
lantai tugu. Di sisinya dibangun dua kursi yang menyatu dengan beton tembok.
Penentuan lokasi awal pendirian
Tugu Nol Kilometer Banda Aceh ini berdasarkan berdasarkan dari berbagai
literatur sejarah. Selain itu, lokasi ini diketahui sebagai cikal bakal Kota
Banda Aceh setelah adanya sebuah peta Aceh kuno yang dibawa peneliti dari
Spanyol, pada seminar sejarah Aceh di Hotel Hermes Palace Banda Aceh tahun 2007
lalu.
Berdasarkan keterangan Wakil
Ketua Aceh Heritage (Yayasan Masyarakat Pusaka Nanggroe), Adian Yahya
mengatakan Banda Aceh awalnya dibangun Sultan Johansyah di muara Krueng Aceh.
Kemudian Yayasan Bustanus-salatin yang bekerjasama dengan Badan Rehabilitasi
dan Rekonstruksi Aceh-Nias, pemerintah dan warga setempat membangun Tugu Nol
Kilometer sebagai pengingat. “Itu dibangun pada tahun 2007,” kata Adian Yahya.
Menurut pria kelahiran 1952 ini
yang sekarang menjabat sebagai Wakil Ketua Aceh Heritage (Yayasan Masyarakat
Pusaka Nanggroe), setelah dihantam tsunami sebagian lokasi cikal bakal Kota
Banda Aceh ini telah menjadi laut.
“Sekarang, apalagi setelah
bencana tsunami, setengah dari daerah tersebut sudah tidak ada lagi. Sudah jadi
laut. Jadi titik tugu yang kita bangun itu sesuai dengan peta kuno itu yang
masih termasuk dalam kawasan Istana Sultan Johansyah,” ujarnya.
+++
SEJARAH telah mencatat bahwa
Kerajaan Aceh Darussalam dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu
dan Budha, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Patra dan Kerajaan
Indra Pura. Keterangan itu diperoleh setelah ditemukannya batu-batu nisan di
Kampung Pande, Banda Aceh.
Diantara batu tersebut, terdapat
batu nisan Sultan Firman Syah cucu dari Sultan Johan Syah. Di batu itu tertulis
keterangan bahwa Banda Aceh adalah ibukota Kerajaan Aceh Darussalam yang
dibangun pada hari Jum'at, tanggal 1 Ramadhan 601 H (22 April 1205 M). Ibukota
Banda Aceh ini dibangun oleh Sultan Johan Syah setelah berhasil menaklukkan
Kerajaan Hindu/Budha, Indra Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri.
Keterangan lain mengenai
Kesultanan Aceh Darussalam juga dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan milik
Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yang
berada di Kandang XII Banda Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan Ali Mughayat Syah
meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada 7 Agustus 1530.
Selain itu turut ditemukan batu
nisa milik Syamsu Syah, makam ayah Sultan Ali Mughayat Syah. Disebutkan Syamsu
Syah wafat pada 14 Muharram 737 Hijriah. Petunjuk lain tentang Kerajaan Aceh
Darussalam juga ditemukan di Kuta Alam adalah makam Raja Ibrahim, adik dari
Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan tersebut disebutkan Raja Ibrahim
meninggal dunia pada 21 Muharram 930 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 30
November 1523.
Raja Ibrahim merupakan tangan
kanan Sultan Ali Mughayat Syah yang paling berani dan setia. Ibrahimlah yang
memimpin serangan-serangan Aceh Darussalam terhadap Portugis, Pedir, Daya, dan
Samudera Pasai, hingga akhirnya Ibrahim gugur sebagai pahlawan dalam
pertempuran besar itu.
Sultan Ali Mughayat Syah
memerintah Kesultanan Aceh Darussalam yang beribukota di Banda Aceh, hanya
selama 10 tahun. Kendati masa pemerintahan Sultan Mughayat Syah relatif
singkat, namun ia berhasil membangun Banda Aceh sebagai pusat peradaban Islam
di Asia Tenggara.
Merujuk pada tulisan Rusdi Sufi
dan Agus Budi Wibowo tahun 2006 tentang Kerajaan Aceh Darussalam mengatakan,
kemunculan Kesultanan Aceh Darussalam yang beribukota di Banda Aceh ini tidak
lepas dari eksistensi Kerajaan Islam Lamuri. Salah seorang sultan yang terkenal
dari Kerajaan Islam Lamuri adalah Sultan Munawwar Syah. Sultan inilah yang
kemudian dianggap sebagai moyangnya Sultan Aceh Darussalam yang terhebat, yakni
Sultan Iskandar Muda.
Pada akhir abad ke-15, dengan
terjalinnya suatu hubungan baik dengan kerajaan tetangganya, maka pusat
singgasana Kerajaan Lamuri dipindahkan ke Meukuta Alam (Rusdi Sufi & Agus
Budi Wibowo a, 2006:72-73). Lokasi istana Meukuta Alam berada di wilayah Banda
Aceh.
Mengenai Lamuri atau sebagian ada
yang mengatakan Lam Urik, saat ini terletak di kawasan Aceh Besar. Merujuk pada
catatan Dr. N. A. Baloch dan Dr. Lance Castle, yang dimaksud dengan Lamuri
yaitu Lamreh di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya sekarang). Jejak kerajaan ini
kembali ditemukan saat ini di perbukitan Lamreh.
Dari catatan tersebut, diketahui
istananya dibangun di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung
Pande atau sering disebut dengan "Kandang Aceh".
Masa pemerintahan Sultan Alaidin
Mahmud Syah, istana Kerajaan Aceh dibangun ulang di seberang Kuala Naga (Krueng
Aceh) dengan nama Kuta Dalam Darud Dunia (dalam kawasan Meuligoe Aceh atau
Pendopo Gubernur sekarang). Selain itu, beliau juga mendirikan Masjid Raya
Baiturrahman pada tahun 691 H. Banda Aceh Darussalam dijadikan sebagai ibukota
Kerajaan Aceh Darussalam dan sekarang ini merupakan ibukota Aceh.
Di tahun 1539 Masehi, salah satu
pengelana dari Spanyol, Mendez Pinto menceritakan tentang situasi Kota Banda
Aceh yang disinggahinya. Saat itu, Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin Sultan
Alauddin Riayat Syah al-Kahar.
Dalam catatan petualang ini menyebutkan Banda
Aceh telah berevolusi menjadi salah satu kota pusat pertahanan yang ikut
mengamankan jalur perdagangan maritim dan lalu lintas jemaah haji dari
perompakan yang dilakukan armada Portugis.
Dia turut menceritakan mengenai
balatentara Kesultanan Aceh yang ada di Banda Aceh. Tentara-tentara itu,
menurut Mendez Pinto seperti yang dikutip Denys Lombard dalam bukunya Kerajaan
Aceh, berasal dari Turki, Cambay dan Malabar.
Sepeninggal Sultan Alauddin
Riayat Syah al-Kahar, politik di Kota Banda Aceh menjadi pelik. Pucuk pimpinan
kesultanan silih berganti dalam waktu singkat. Hingga akhirnya Kerajaan Aceh
Darussalam dipimpin Sultan Iskandar Muda Johan Berdaulat. Sultan yang juga
dikenal dengan sebutan Darmawangsa dan Tun Pangkat ini berhasil mengembalikan
marwah Kota Banda Aceh menjadi pusat
perdagangan maritim, khususnya untuk komoditas lada yang saat itu sangat
tinggi permintaannya dari Eropa.
Selain itu, Sultan Iskandar Muda
juga membangun pusat Kota Banda Aceh menjadi taman dunia, yang dimulai dari
komplek istana. Komplek istana Kesultanan Aceh ini kemudian dikenal dengan
Darud Dunia atau Taman Dunia. Di masa Sultan Iskandar Muda, tata ruang wilayah
Kota Banda Aceh terus dibangun sedemikian rupa.
Selain memanfaatkan Krueng Aceh
sebagai jalur masuk dan keluar ke Selat Malaka, Sultan ini juga menggali sungai
baru yang kemudian disebut dengan Krueng Daroy. Sungai ini dibuat sedemikian
rupa dan membelah istana Darud Dunia setelah akhirnya bermuara ke Krueng Aceh.
Pada masa Iskandar Muda, Banda Aceh juga dibangun Taman Gunongan sebagai
pengobat kerinduan permaisurinya Putroe Phang yang berasal dari Pahang, Malaysia.
Sebagai pusat kota Kerajaan Aceh
Darussalam, Banda Aceh juga pernah mengalami masa yang kelam. Terlebih saat
perebutan kekuasaan terjadi antara Sultan Aceh dengan keluarga-keluarganya
seperti yang ditulis Teungku Dirukam dalam karya sastranya, Hikayat Pocut
Muhammad.
Selain itu, Kota Banda Aceh juga
pernah dirudung konflik di saat Aceh dipimpin ratu. Saat itu, golongan oposisi
"Kaum Wujudiyah" menjadi kalap dan berusaha merebut kekuasaan
meskipun gagal. Dalam referensi yang dirujuk The Atjeh Times, kaum wujudiah ini
bertindak liar dengan membakar Kuta Dalam Darud Dunia, Masjid Raya Baiturrahman
dan bangunan-bangunan lainnya dalam wilayah kota.
Sementara masa yang amat getir
dalam sejarah Banda Aceh Darussalam yaitu pada saat terjadi perang di jalan Allah
selama 70 tahun. Perang ini dilakoni oleh Sultan dan rakyat Aceh sebagai
jawaban atas ultimatum Kerajaan Belanda pada 26 Maret 1837. Perang frontal yang
terjadi selama nyaris satu bulan ini berakhir dengan matinya Jenderal Kohler,
pembakaran Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh dan pendudukan Istana Darud
Dunia serta meninggalnya ribuan syuhada dari Aceh.
Perang Belanda di Aceh secara
frontal ini kemudian berakhir setelah Kesultanan Aceh dilanda wabah kolera.
Sultan Aceh bersama pengikutnya mundur ke wilayah Pidie meninggalkan Istana
Darud Dunia. Evakuasi besar-besaran ini kemudian dirayakan Van Swieten,
pimpinan agresi Belanda tahap dua dengan menggantikan nama Kota Banda Aceh
menjadi Kuta raja pada 24 Januari 1874.
Sejarah teranyar, Kota Banda Aceh
pernah porak poranda dihantam bencana alam tsunami pada 26 Desember 2004 lalu.
Dalam musibah itu, ratusan ribu warga Kota Banda Aceh menjadi korban dan ribuan
bangunan rata menjadi tanah.
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan The AtjehTimes, nyaris semua kecamatan dalam wilayah Kota Banda Aceh terkena musibah
tersebut. Seperti Kecamatan Meuraxa, Jaya Baru, Kutaradja, Baiturrahman, Kuta
Alam, dan Syiah Kuala.[]
PENULIS : BOY NASHRUDDIN AGUS & REZA MUSTAFA
No comments:
Post a Comment