Sunday, September 1, 2013

Menilik Sejarah Banda Aceh



Masa pemerintahan Sultan Alaidin Mahmud Syah, istana Kerajaan Aceh dibangun ulang di seberang Kuala Naga (Krueng Aceh) dengan nama Kuta Dalam Darud Dunia.

TUGU dengan tinggi sebatas pinggang ini berdiri kokoh. Di atasnya sebuah plat dari besi putih bertulis sebuah kalimat dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Aceh, Indonesia, dan Inggris. Tak ada keterangan tahun pembangunan tugu dan siapa yang membangunnya. Namun dari kondisinya, bangunan ini hanya berusia beberapa tahun saja. Masih terhitung bangunan baru.

Terbaca kalimat dalam bahasa Indonesia; “Di sini cikal bakal kota Banda Aceh tempat awal mula Kerajaan Aceh Darussalam di dirikan oleh Sultan Johansyah pada 1 Ramadhan 601 H (22 April 1205 M).”


Ada lima batang pohon ketapang melingkari tugu ini. Daun-daun ketapang yang berwarna kuning luruh berserak di lantai tugu. Di sisinya dibangun dua kursi yang menyatu dengan beton tembok.

Penentuan lokasi awal pendirian Tugu Nol Kilometer Banda Aceh ini berdasarkan berdasarkan dari berbagai literatur sejarah. Selain itu, lokasi ini diketahui sebagai cikal bakal Kota Banda Aceh setelah adanya sebuah peta Aceh kuno yang dibawa peneliti dari Spanyol, pada seminar sejarah Aceh di Hotel Hermes Palace Banda Aceh tahun 2007 lalu. 

Berdasarkan keterangan Wakil Ketua Aceh Heritage (Yayasan Masyarakat Pusaka Nanggroe), Adian Yahya mengatakan Banda Aceh awalnya dibangun Sultan Johansyah di muara Krueng Aceh. Kemudian Yayasan Bustanus-salatin yang bekerjasama dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias, pemerintah dan warga setempat membangun Tugu Nol Kilometer sebagai pengingat. “Itu dibangun pada tahun 2007,” kata Adian Yahya.

Menurut pria kelahiran 1952 ini yang sekarang menjabat sebagai Wakil Ketua Aceh Heritage (Yayasan Masyarakat Pusaka Nanggroe), setelah dihantam tsunami sebagian lokasi cikal bakal Kota Banda Aceh ini telah menjadi laut.

“Sekarang, apalagi setelah bencana tsunami, setengah dari daerah tersebut sudah tidak ada lagi. Sudah jadi laut. Jadi titik tugu yang kita bangun itu sesuai dengan peta kuno itu yang masih termasuk dalam kawasan Istana Sultan Johansyah,” ujarnya.

+++

SEJARAH telah mencatat bahwa Kerajaan Aceh Darussalam dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Patra dan Kerajaan Indra Pura. Keterangan itu diperoleh setelah ditemukannya batu-batu nisan di Kampung Pande, Banda Aceh.

Diantara batu tersebut, terdapat batu nisan Sultan Firman Syah cucu dari Sultan Johan Syah. Di batu itu tertulis keterangan bahwa Banda Aceh adalah ibukota Kerajaan Aceh Darussalam yang dibangun pada hari Jum'at, tanggal 1 Ramadhan 601 H (22 April 1205 M). Ibukota Banda Aceh ini dibangun oleh Sultan Johan Syah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Hindu/Budha, Indra Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri.

Keterangan lain mengenai Kesultanan Aceh Darussalam juga dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan milik Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yang berada di Kandang XII Banda Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada 7 Agustus 1530. 

Selain itu turut ditemukan batu nisa milik Syamsu Syah, makam ayah Sultan Ali Mughayat Syah. Disebutkan Syamsu Syah wafat pada 14 Muharram 737 Hijriah. Petunjuk lain tentang Kerajaan Aceh Darussalam juga ditemukan di Kuta Alam adalah makam Raja Ibrahim, adik dari Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan tersebut disebutkan Raja Ibrahim meninggal dunia pada 21 Muharram 930 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 30 November 1523. 

Raja Ibrahim merupakan tangan kanan Sultan Ali Mughayat Syah yang paling berani dan setia. Ibrahimlah yang memimpin serangan-serangan Aceh Darussalam terhadap Portugis, Pedir, Daya, dan Samudera Pasai, hingga akhirnya Ibrahim gugur sebagai pahlawan dalam pertempuran besar itu. 

Sultan Ali Mughayat Syah memerintah Kesultanan Aceh Darussalam yang beribukota di Banda Aceh, hanya selama 10 tahun. Kendati masa pemerintahan Sultan Mughayat Syah relatif singkat, namun ia berhasil membangun Banda Aceh sebagai pusat peradaban Islam di Asia Tenggara.

Merujuk pada tulisan Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo tahun 2006 tentang Kerajaan Aceh Darussalam mengatakan, kemunculan Kesultanan Aceh Darussalam yang beribukota di Banda Aceh ini tidak lepas dari eksistensi Kerajaan Islam Lamuri. Salah seorang sultan yang terkenal dari Kerajaan Islam Lamuri adalah Sultan Munawwar Syah. Sultan inilah yang kemudian dianggap sebagai moyangnya Sultan Aceh Darussalam yang terhebat, yakni Sultan Iskandar Muda. 

Pada akhir abad ke-15, dengan terjalinnya suatu hubungan baik dengan kerajaan tetangganya, maka pusat singgasana Kerajaan Lamuri dipindahkan ke Meukuta Alam (Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo a, 2006:72-73). Lokasi istana Meukuta Alam berada di wilayah Banda Aceh.

Mengenai Lamuri atau sebagian ada yang mengatakan Lam Urik, saat ini terletak di kawasan Aceh Besar. Merujuk pada catatan Dr. N. A. Baloch dan Dr. Lance Castle, yang dimaksud dengan Lamuri yaitu Lamreh di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya sekarang). Jejak kerajaan ini kembali ditemukan saat ini di perbukitan Lamreh.

Dari catatan tersebut, diketahui istananya dibangun di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande atau sering disebut dengan "Kandang Aceh".

Masa pemerintahan Sultan Alaidin Mahmud Syah, istana Kerajaan Aceh dibangun ulang di seberang Kuala Naga (Krueng Aceh) dengan nama Kuta Dalam Darud Dunia (dalam kawasan Meuligoe Aceh atau Pendopo Gubernur sekarang). Selain itu, beliau juga mendirikan Masjid Raya Baiturrahman pada tahun 691 H. Banda Aceh Darussalam dijadikan sebagai ibukota Kerajaan Aceh Darussalam dan sekarang ini merupakan ibukota Aceh. 

Di tahun 1539 Masehi, salah satu pengelana dari Spanyol, Mendez Pinto menceritakan tentang situasi Kota Banda Aceh yang disinggahinya. Saat itu, Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar. 

Dalam catatan petualang ini menyebutkan Banda Aceh telah berevolusi menjadi salah satu kota pusat pertahanan yang ikut mengamankan jalur perdagangan maritim dan lalu lintas jemaah haji dari perompakan yang dilakukan armada Portugis. 

Dia turut menceritakan mengenai balatentara Kesultanan Aceh yang ada di Banda Aceh. Tentara-tentara itu, menurut Mendez Pinto seperti yang dikutip Denys Lombard dalam bukunya Kerajaan Aceh, berasal dari Turki, Cambay dan Malabar.

Sepeninggal Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar, politik di Kota Banda Aceh menjadi pelik. Pucuk pimpinan kesultanan silih berganti dalam waktu singkat. Hingga akhirnya Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin Sultan Iskandar Muda Johan Berdaulat. Sultan yang juga dikenal dengan sebutan Darmawangsa dan Tun Pangkat ini berhasil mengembalikan marwah Kota Banda Aceh menjadi pusat  perdagangan maritim, khususnya untuk komoditas lada yang saat itu sangat tinggi permintaannya dari Eropa.

Selain itu, Sultan Iskandar Muda juga membangun pusat Kota Banda Aceh menjadi taman dunia, yang dimulai dari komplek istana. Komplek istana Kesultanan Aceh ini kemudian dikenal dengan Darud Dunia atau Taman Dunia. Di masa Sultan Iskandar Muda, tata ruang wilayah Kota Banda Aceh terus dibangun sedemikian rupa. 

Selain memanfaatkan Krueng Aceh sebagai jalur masuk dan keluar ke Selat Malaka, Sultan ini juga menggali sungai baru yang kemudian disebut dengan Krueng Daroy. Sungai ini dibuat sedemikian rupa dan membelah istana Darud Dunia setelah akhirnya bermuara ke Krueng Aceh. Pada masa Iskandar Muda, Banda Aceh juga dibangun Taman Gunongan sebagai pengobat kerinduan permaisurinya Putroe Phang yang berasal dari Pahang, Malaysia. 

Sebagai pusat kota Kerajaan Aceh Darussalam, Banda Aceh juga pernah mengalami masa yang kelam. Terlebih saat perebutan kekuasaan terjadi antara Sultan Aceh dengan keluarga-keluarganya seperti yang ditulis Teungku Dirukam dalam karya sastranya, Hikayat Pocut Muhammad. 

Selain itu, Kota Banda Aceh juga pernah dirudung konflik di saat Aceh dipimpin ratu. Saat itu, golongan oposisi "Kaum Wujudiyah" menjadi kalap dan berusaha merebut kekuasaan meskipun gagal. Dalam referensi yang dirujuk The Atjeh Times, kaum wujudiah ini bertindak liar dengan membakar Kuta Dalam Darud Dunia, Masjid Raya Baiturrahman dan bangunan-bangunan lainnya dalam wilayah kota.

Sementara masa yang amat getir dalam sejarah Banda Aceh Darussalam yaitu pada saat terjadi perang di jalan Allah selama 70 tahun. Perang ini dilakoni oleh Sultan dan rakyat Aceh sebagai jawaban atas ultimatum Kerajaan Belanda pada 26 Maret 1837. Perang frontal yang terjadi selama nyaris satu bulan ini berakhir dengan matinya Jenderal Kohler, pembakaran Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh dan pendudukan Istana Darud Dunia serta meninggalnya ribuan syuhada dari Aceh. 

Perang Belanda di Aceh secara frontal ini kemudian berakhir setelah Kesultanan Aceh dilanda wabah kolera. Sultan Aceh bersama pengikutnya mundur ke wilayah Pidie meninggalkan Istana Darud Dunia. Evakuasi besar-besaran ini kemudian dirayakan Van Swieten, pimpinan agresi Belanda tahap dua dengan menggantikan nama Kota Banda Aceh menjadi Kuta raja pada 24 Januari 1874.

Sejarah teranyar, Kota Banda Aceh pernah porak poranda dihantam bencana alam tsunami pada 26 Desember 2004 lalu. Dalam musibah itu, ratusan ribu warga Kota Banda Aceh menjadi korban dan ribuan bangunan rata menjadi tanah. 

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan The AtjehTimes, nyaris semua kecamatan dalam wilayah Kota Banda Aceh terkena musibah tersebut. Seperti Kecamatan Meuraxa, Jaya Baru, Kutaradja, Baiturrahman, Kuta Alam, dan Syiah Kuala.[]

PENULIS : BOY NASHRUDDIN AGUS & REZA MUSTAFA

No comments:

Post a Comment