Simpang Lima Banda Aceh. @inbandaaceh.com |
PEPERANGAN antara Kerajaan
Belanda dengan Kerajaan Aceh menorehkan luka lama. Apalagi saat Belanda
berhasil membakar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh dan merebut ibukota kerajaan, Banda Aceh. Peperangan ini berlangsung hingga
puluhan tahun.
Meski Dalam (keraton) berhasil
direbut Belanda, perjuangan rakyat Aceh belum selesai. Sultan Muhammad III Daud
Syah Johan berdaulat terpaksa mengungsi. Dia mangkat akibat penyakit kolera
yang mewabah saat perang terjadi. Pucuk pimpinan perang Aceh berada di tangan
Panglima Polem. Peperangan terus berlangsung dengan taktik gerilya (hit and run).
Setelah Darud Dunia berhasil
direbut, Belanda di bawah pimpinan Gubernur Van Swieten mendirikan kota baru di
Banda Aceh. Upaya ini dilakukan untuk menghapus kegemilangan Kerajaan Aceh
Darussalam dan ibukotanya Banda Aceh Darussalam.
Van Swieten juga mengganti nama Banda Aceh pada 16 Maret 1874 melalui
proklamasinya yang berbunyi : "Bahwa
Kerajaan Belanda dan Banda Aceh dinamainya dengan Kuta Raja yang kemudian disahkan oleh Gubernur
Jenderal di Batavia dengan beslit bertanggal
16 Maret 1874. Semenjak saat itu resmilah Banda
Aceh Darussalam dikebumikan dan di atas pusaranya ditegaskan Kuta Raja sebagai lambang dari kolonialisme."
Kebijakan Van Swieten menuai kontroversi di kalangan tentara Belanda
yang pernah bertugas. Mereka menganggap Van Swieten mencari muka pada Kerajaan
Belanda karena berhasil menaklukkan pusat kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam.
Mereka juga meragukan Van Swieten berhasil merebut Aceh pada saat itu yang
kemudian dibuktikan dengan adanya perang gerilya oleh pasukan kerajaan Aceh dan
ulama setempat.
Setelah Indonesia merdeka dan Aceh berada di dalam wilayahnya, nama
Banda Aceh dipulihkan. Kuta Raja yang dilakapkan oleh Van Swieten diubah dengan
Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan
Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963 No. Des 52/1/43-43. Sejak itu, ibukota
Aceh kembali disebut dengan nama Banda Aceh.[]
No comments:
Post a Comment