Komplek kuburan Turki di Bitay Banda Aceh. @boynashruddinagus.blogspot.com |
Perkampungan
Bitai disebut berasal dari kata Baital Maqdis atau Yerussalem di Palestina.
Sebuah perkampungan Turki di Aceh yang berdiri sejak era awal Kerajaan Aceh
Darussalam.
SEBUAH gapura dari tiang besi bertuliskan selamat datang di pemukiman
Bulan Sabit Merah, Bitai-Emperom berdiri kokoh di atas badan jalan berukuran 3
meter. Saat The Atjeh Times berkunjung Senin pekan lalu, suasana gampong
tersebut terlihat lengang. Sementara di kiri dan kanan jalan terlihat beberapa
rumah yang dihiasi lambang bulan sabit berwarna dasar merah di bumbungan atap
bangunan.
Bentuk rumah di perkampungan ini nyaris seragam. Maklum saja, rumah ini
merupakan bantuan negara Turki yang diberikan kepada korban bencana tsunami
2004 lalu. Data yang dimiliki The Atjeh
Times sesuai keterangan dari Sekretaris Gampong Bitai, Syahrul Bayani,
negara dari benua Asia-Eropa tersebut membangun 238 rumah untuk korban tsunami
di gampong setempat. Sementara sisanya dibangun oleh Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Aceh-Nias.
Gampong ini memiliki banyak lorong-lorong kecil untuk mencapai rumah
warga. Di antara sekian banyak lorong tersebut, salah satunya terdapat penunjuk
jalan dari papan yang berbentuk tanda panah juga tertulis Jalan Tgk. Di Bitay.
The Atjeh Times menelusuri lorong sepanjang 200 meter tersebut. Sebuah
komplek pemakaman menyambut di ujung lorong. Komplek itu dipagari dengan beton
dan besi stainless berbentuk horizontal. Luas komplek ini mencapai 500 meter
bujur sangkar.
Di komplek tersebut terdapat lebih
kurang 25 makam yang mengelilingi
makam Sultan Salahuddin. Tujuh diantara makam itu terbuat dari batu cadas dan
18 lainnya terbuat daru batu sungai. Secara
keseluruhan batu nisanya berbentuk segi delapan dan hiasannya bertuliskan
kaligrafi dengan bahasa arab. Pada bagian bawah nisan terdapat pola luas
tumpal, puncak nisan cembung di atasnya terdapat lingkaran sisi
delapan.
Tujuh makam yang terbuat dari batu cadas berada di dalam bangunan beton
yang baru saja dipugar. Tiga diantaranya disemen secara terpisah dan sisanya
hanya di sekat-sekat kecil.
Ketujuh makam itu dipasangi keramik. Di sisi kiri
makam tersebut terdapat sebuah gundukan yang di atasnya terdapat beberapa makam
dengan nisan tua. Informasi yang dihimpun dari warga, di makam itu lah jasad
Sultan Salahuddin dari Turki disemayamkan.
Di dalam komplek makam ini juga terdapat sebuah masjid dengan tiga buah
kubah berwarna hijau jamrud. Selain itu juga ada bangunan berukuran 6x6 meter.
Di dalam bangunan ini terdapat satu miniatur kapal yang dibingkai dengan kaca.
Di dinding dalam ruangan tersebut digantung lukisan Sultan Selim.
+++
Nama Bitai diambil untuk
mengenang asal orang Turki tersebut dari Palestina atau Bayt Al-Maqdis nama
lain dari Yerussalem tempat Masjid Al-Aqsa berada. Desa Bitai berdekatan dengan Desa Emperoom yang sekarang dijadikan satu kawasan
perkampungan Turki.
Emperoom berasal dari kata imparium atau kerajaan/kekaisaran. Desa ini didirikan
oleh pasukan Turki yang diutus ke Aceh untuk menyebarkan agama Islam setelah
Khalifah Turki Utsmani berhasil merebut Konstantinopel dari tangan kaum salib.
Pasukan Turki ini dipimpin oleh Muthalib
Ghazi bin Mustafa Ghazi yang kemudian dikenal dengan nama
Tengku Syech Tuan Di Bitai. Namun belum diketahui
secara pasti tahun berapa pasukan dari Turki ini mendarat di Bitai.
“Kalau cerita dari orang tua saya
dan orang-orang zaman dahulu, Gampong Bitai sejak sebelum masuknya ulama Turki sudah ada pemukiman meski saat itu masih
didominasi oleh hutan belantara,” kata Razimah, penjaga
makam komplek Teungku di Bitai.
Dia menjelaskan, berdasarkan tulisan di salah satu makam tersebut
terdapat kuburan Sultan Salahuddin yang mangkat pada tahun 1415. Menurut
Razimah, Sultan Salahuddin ini lah yang dikenal dengan sebutan Teungku Di Bitai
yang berasal dari Turki.
“Kalau dari pusara waktu itu saya
pernah tanya sama orang-orang Turki yang berkunjung ke sini yang mengerti dengan tulisan tersebut. Katanya sih
beliau mangkat sekitar 1415 Masehi. Namun masuknya beliau pada masa Kerajaan Aceh dipimpin oleh siapa saya tidak
tahu persis,” ujarnya.
Menurut Razimah, Bitai
dulunya merupakan pusat pendidikan agama untuk perlengkapan perang. Selain itu, Bitai
juga dijadikan tempat pembuatan senjata dan gudangnya dulu ada di Desa
Emperoom.
“Sedangkan untuk senjata seperti
pedang, tombak lainnya dirakit di gampong pande,” kata Razimah.
Dulunya, kata Razimah, banyak raja-raja dari berbagai pelosok
daerah menuntut ilmu agama Islam di Bitai. Diantaranya,
kata dia, Sultan Iskandar Muda, Sultan Deli, Meureuhom Daya, bahkan juga ada para ulama dari Palestina dan Persia yang belajar ke daerah
tersebut.
Jika merujuk pada catatan sejarah, Sultan Salahuddin merupakan putra sulung almarhum Sultan Mughayat Syah
yang bernama Salahuddin ibn Ali Malik az Zahir. Berdasarkan catatan Denys Lombard
dalam bukunya berjudul Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)
menyebutkan dia memerintah dari tahun 1528/1530 hingga 1537/1539. Masih menurut
Lombard, Sultan Salahuddin ini wafat pada 25 November 1548 M.
Sultan Salahuddin ini kemudian berteman dengan Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi yang diutus oleh
Sultan Selim dari Turki. Pada saat
Sultan Salahuddin mangkat, Muthalib Ghazi bin Mustafa
Ghazi yang menjadi sahabatnya memberikan wasiat agar dimakamkan saling berdekatan yaitu di Komplek
Situs Makan Tuanku Di Bitai, Banda Aceh.
Saat Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Alauddin Ibn Ali Malik az Zahir atau
lebih dikenal dengan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahar yang memerintah tahun
1537-1568 juga pernah mengikat hubungan dengan Turki.
Saat itu Sultan Turki mengirimkan bantuan
berupa dua kapal perang dan 500 orang tenaga berkebangsaan Turki untuk
mengelola kapal-kapal tersebut. Diantara 500 orang tersebut
terdapat ahli-ahli militer yang dapat membuat kapal-kapal perang, baik ukuran
besar maupun ukuran kecil. Mereka juga mampu membuat meriam-meriam berukuran
besar.
Turki juga memberikan sejumlah
meriam berat beserta perlengkapan-perlengkapan militer lainnya kepada Aceh.
Semuanya itu tiba di pelabuhan Aceh dengan selamat pada tahun 1566 atau 1567 M.
Mengenai bantuan dua buah kapal
dan 500 orang awak kapal serta teknisi tersebut, C. R Boxer dalam A Note On Portugese Reactions of The Revival of The Red Sea Spice Trade
and The Rise of Acheh, 1540-1600, menerangkan dalam paper nya pada acara
konferensi Internasional Sejarah Asia di Kuala Lumpur yang diselenggarakan oleh Departement of History, University of
Malaya, 5-10 Agustus 1968, bahwa para utusan Aceh yang berhasil sampai ke Turki
itu telah mampu meyakinkan pihak kerajaan Islam terbesar tersebut mengenai
keuntungan perdagangan rempah-rempah dan lada di Nusantara.
Keuntungan ini, menurutnya, akan
tercapai apabila orang-orang Portugis yang berada di Malaka berhasil di usir
oleh pasukan Kerajaan Aceh dengan bantuan Turki. Sebanyak 500 tentara
dari Turki ini kemudian mendarat di Bitai dan mendirikan perkampungan militer
di sana. Selain mengajarkan ilmu perang, cara membuat pedang dan memakai
senjata, orang-orang Turki ini juga mengajarkan agama Islam kepada orang Aceh.[]
PENULIS: BOY NASHRUDDIN AGUS & DARMANSYAH MUDA
No comments:
Post a Comment