Monday, September 2, 2013

Sejarah Imperium Turki di Aceh

Komplek kuburan Turki di Bitay
Banda Aceh. @boynashruddinagus.blogspot.com
Perkampungan Bitai disebut berasal dari kata Baital Maqdis atau Yerussalem di Palestina. Sebuah perkampungan Turki di Aceh yang berdiri sejak era awal Kerajaan Aceh Darussalam.

SEBUAH gapura dari tiang besi bertuliskan selamat datang di pemukiman Bulan Sabit Merah, Bitai-Emperom berdiri kokoh di atas badan jalan berukuran 3 meter. Saat The Atjeh Times berkunjung Senin pekan lalu, suasana gampong tersebut terlihat lengang. Sementara di kiri dan kanan jalan terlihat beberapa rumah yang dihiasi lambang bulan sabit berwarna dasar merah di bumbungan atap bangunan.


Bentuk rumah di perkampungan ini nyaris seragam. Maklum saja, rumah ini merupakan bantuan negara Turki yang diberikan kepada korban bencana tsunami 2004 lalu. Data yang dimiliki The Atjeh Times sesuai keterangan dari Sekretaris Gampong Bitai, Syahrul Bayani, negara dari benua Asia-Eropa tersebut membangun 238 rumah untuk korban tsunami di gampong setempat. Sementara sisanya dibangun oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias.

Gampong ini memiliki banyak lorong-lorong kecil untuk mencapai rumah warga. Di antara sekian banyak lorong tersebut, salah satunya terdapat penunjuk jalan dari papan yang berbentuk tanda panah juga tertulis Jalan Tgk. Di Bitay.

The Atjeh Times menelusuri lorong sepanjang 200 meter tersebut. Sebuah komplek pemakaman menyambut di ujung lorong. Komplek itu dipagari dengan beton dan besi stainless berbentuk horizontal. Luas komplek ini mencapai 500 meter bujur sangkar.

Di komplek tersebut terdapat lebih kurang 25 makam yang mengelilingi makam Sultan Salahuddin. Tujuh diantara makam itu terbuat dari batu cadas dan 18 lainnya terbuat daru batu sungai. Secara keseluruhan batu nisanya berbentuk segi delapan dan hiasannya bertuliskan kaligrafi dengan bahasa arab. Pada bagian bawah nisan terdapat pola luas tumpal, puncak nisan cembung di atasnya terdapat lingkaran sisi delapan.

Tujuh makam yang terbuat dari batu cadas berada di dalam bangunan beton yang baru saja dipugar. Tiga diantaranya disemen secara terpisah dan sisanya hanya di sekat-sekat kecil. 

Ketujuh makam itu dipasangi keramik. Di sisi kiri makam tersebut terdapat sebuah gundukan yang di atasnya terdapat beberapa makam dengan nisan tua. Informasi yang dihimpun dari warga, di makam itu lah jasad Sultan Salahuddin dari Turki disemayamkan.

Di dalam komplek makam ini juga terdapat sebuah masjid dengan tiga buah kubah berwarna hijau jamrud. Selain itu juga ada bangunan berukuran 6x6 meter. Di dalam bangunan ini terdapat satu miniatur kapal yang dibingkai dengan kaca. Di dinding dalam ruangan tersebut digantung lukisan Sultan Selim.

+++

Nama Bitai diambil untuk mengenang asal orang Turki tersebut dari Palestina atau Bayt Al-Maqdis nama lain dari Yerussalem tempat Masjid Al-Aqsa berada. Desa Bitai berdekatan dengan Desa Emperoom yang sekarang dijadikan satu kawasan perkampungan Turki. 

Emperoom berasal dari kata imparium atau kerajaan/kekaisaran. Desa ini didirikan oleh pasukan Turki yang diutus ke Aceh untuk menyebarkan agama Islam setelah Khalifah Turki Utsmani berhasil merebut Konstantinopel dari tangan kaum salib.

Pasukan Turki ini dipimpin oleh Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi yang kemudian dikenal dengan nama Tengku Syech Tuan Di Bitai. Namun belum diketahui secara pasti tahun berapa pasukan dari Turki ini mendarat di Bitai.

“Kalau cerita dari orang tua saya dan orang-orang zaman dahulu, Gampong Bitai sejak sebelum masuknya ulama Turki sudah ada pemukiman meski saat itu masih didominasi oleh hutan belantara,” kata Razimah, penjaga makam komplek Teungku di Bitai.

Dia menjelaskan, berdasarkan tulisan di salah satu makam tersebut terdapat kuburan Sultan Salahuddin yang mangkat pada tahun 1415. Menurut Razimah, Sultan Salahuddin ini lah yang dikenal dengan sebutan Teungku Di Bitai yang berasal dari Turki.

“Kalau dari pusara waktu itu saya pernah tanya sama orang-orang Turki yang berkunjung ke sini yang mengerti dengan tulisan tersebut. Katanya sih beliau mangkat sekitar 1415 Masehi. Namun masuknya beliau pada masa Kerajaan Aceh dipimpin oleh siapa saya tidak tahu persis,” ujarnya.

Menurut Razimah, Bitai dulunya merupakan pusat pendidikan agama untuk perlengkapan perang. Selain itu, Bitai juga dijadikan tempat pembuatan senjata dan gudangnya dulu ada di Desa Emperoom.

“Sedangkan untuk senjata seperti pedang, tombak lainnya dirakit di gampong pande,” kata Razimah.

Dulunya, kata Razimah, banyak raja-raja dari berbagai pelosok daerah menuntut ilmu agama Islam di Bitai. Diantaranya, kata dia, Sultan Iskandar Muda, Sultan Deli, Meureuhom Daya, bahkan juga ada para ulama dari Palestina dan Persia yang belajar ke daerah tersebut.

Jika merujuk pada catatan sejarah, Sultan Salahuddin merupakan putra sulung almarhum Sultan Mughayat Syah yang bernama Salahuddin ibn Ali Malik az Zahir. Berdasarkan catatan Denys Lombard dalam bukunya berjudul Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) menyebutkan dia memerintah dari tahun 1528/1530 hingga 1537/1539. Masih menurut Lombard, Sultan Salahuddin ini wafat pada 25 November 1548 M.

Sultan Salahuddin ini kemudian berteman dengan Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi yang diutus oleh Sultan Selim dari Turki. Pada saat Sultan Salahuddin mangkat, Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi yang menjadi sahabatnya memberikan wasiat agar dimakamkan saling berdekatan yaitu di Komplek Situs Makan Tuanku Di Bitai, Banda Aceh.

Saat Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Alauddin Ibn Ali Malik az Zahir atau lebih dikenal dengan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahar yang memerintah tahun 1537-1568 juga pernah mengikat hubungan dengan Turki.

Saat itu Sultan Turki mengirimkan bantuan berupa dua kapal perang dan 500 orang tenaga berkebangsaan Turki untuk mengelola kapal-kapal tersebut. Diantara 500 orang tersebut terdapat ahli-ahli militer yang dapat membuat kapal-kapal perang, baik ukuran besar maupun ukuran kecil. Mereka juga mampu membuat meriam-meriam berukuran besar.

Turki juga memberikan sejumlah meriam berat beserta perlengkapan-perlengkapan militer lainnya kepada Aceh. Semuanya itu tiba di pelabuhan Aceh dengan selamat pada tahun 1566 atau 1567 M.

Mengenai bantuan dua buah kapal dan 500 orang awak kapal serta teknisi tersebut, C. R Boxer dalam A Note On Portugese Reactions of The Revival of The Red Sea Spice Trade and The Rise of Acheh, 1540-1600, menerangkan dalam paper nya pada acara konferensi Internasional Sejarah Asia di Kuala Lumpur yang diselenggarakan oleh Departement of History, University of Malaya, 5-10 Agustus 1968, bahwa para utusan Aceh yang berhasil sampai ke Turki itu telah mampu meyakinkan pihak kerajaan Islam terbesar tersebut mengenai keuntungan perdagangan rempah-rempah dan lada di Nusantara.


Keuntungan ini, menurutnya, akan tercapai apabila orang-orang Portugis yang berada di Malaka berhasil di usir oleh pasukan Kerajaan Aceh dengan bantuan Turki. Sebanyak 500 tentara dari Turki ini kemudian mendarat di Bitai dan mendirikan perkampungan militer di sana. Selain mengajarkan ilmu perang, cara membuat pedang dan memakai senjata, orang-orang Turki ini juga mengajarkan agama Islam kepada orang Aceh.[]

PENULIS: BOY NASHRUDDIN AGUS & DARMANSYAH MUDA

No comments:

Post a Comment