Hope mengalami kebutaan karena terkena peluru di dua bola matanya | Foto: YEL-SOCP |
“Hope tidak akan dapat dilepasliarkan lagi di alam, mengingat kondisinya yang buta total di kedua matanya akibat peluru,” ungkap Supervisor Rehabilitasi dan Reintroduksi untuk YEL-SOCP, drh Citrakasih Nente, Senin, 18 Maret 2019.
Hope merupakan Orangutan Sumatera yang berhasil diselamatkan petugas dari Desa Bunga Tanjung Kecamatan Sultan Daulat, Minggu 10 Maret 2019 lalu. Kendati selamat, tetapi Hope harus kehilangan anaknya yang baru berusia satu bulan karena malnutrisi.
Kondisi Hope begitu tragis. Selain bahunya patah terbuka, di sekujur tubuhnya juga terdapat 74 peluru. Tak hanya itu, kantong udara (air sac) Hope juga robek.
Tim Medis SOCP bersama Dr Andeas Messikomer, seorang ahli bedah tulang dan saraf pada manusia dari Swiss, akhirnya sepakat menangani tulang bahu Hope dan air sac yang robek terlebih dahulu. Apalagi kondisi luka tersebut sudah mengalami infeksi lokal. Tim juga menutup luka lain yang berada pada bagian-bagian tubuh Hope, seperti luka di tangan dan di kaki.
“Dalam operasi ini kami belum mengeluarkan peluru yang masih ada di tubuh Hope, karena kami memprioritaskan untuk melakukan penanganan pada tulang bahu, mengingat risiko infeksi pada bagian tersebut,” kata Dokter Hewan Senior YEL-SOCP, drh Yenny Saraswati.
Proses operasi Hope membutuhkan waktu lebih 3 jam. Menurut drh Yenny, kondisi Hope cukup stabil sepanjang proses oeprasi. “Saat ini dia masih dalam perawatan pascaoperasi dan kita semua berharap semoga proses penyembuhan pascaoperasi ini juga bisa berjalan baik,” kata drh Yenny lagi.
Bukan Kasus Pertama
Dr Andreas Messikomer mengaku telah banyak melakukan operasi terhadap Orangutan. Dan kasus Hope bukanlah yang pertama kali.
“Kalau tidak salah, lebih dari 15 orangutan yang saya tangani bersama-sama Tim SOCP sejak tahun 2005, termasuk operasi Hope dan Brenda ini,” kata Dr Andreas Messikommer.
Sebagai catatan, selain menangani operasi Hope, para Tim Medis SOCP bersama Dr Andreas juga terlebih dahulu mengoperasi Brenda, bayi orangutan berusia sekitar 3-4 tahun. Brenda mengalami patah lengan atas kiri (humerus). Brenda dievakuasi pekan lalu oleh seorang anggota TNI dari area pembukaan lahan di kawasan Aceh Barat Daya.
“Kasus-kasus orangutan yang kami bantu begini semuanya memprihatinkan, tetapi setelah saya mendengar dari kawan-kawan di SOCP bahwa orangutan yang saya bantu tangani, kualitas hidupnya menjadi lebih baik atau bahkan dilepasliarkan dan menghasilkan keturunan di hutan, ini membuat saya gembira,” ungkap Dr Andreas.
Pria ini sendiri baru terlibat aktif membantu kasus orangutan sejak pascatsunami 2004 lalu. Dia melakukan semuanya secara sukarela. Saat itu, Dr Andreas bekerjasama dengan YEL dan PanEco sebagai salah satu relawan untuk menangani korban tsunami di Aceh dan Medan. Waktu itu, dia bersama beberapa ahli bedah di Indonesia menangani sebagian besar kasus-kasus bedah berat pada manusia, seperti bedah tulang, amputasi, dan grafting kulit.
Pada saat bersamaan, Direktur SOCP Ian Singleton yang juga terlibat dalam penanganan korban tsunami lantas meminta bantuan Andreas. Dia diharapkan menangani salah satu orangutan kecil yang menderita hernia di Pusat Karantina & Rehabilitasi Orangutan di Sibolangit. Sejak itulah, Dr Andreas kemudian menjadi relawan PanEco, sebuah organisasi lingkungan hidup yang berkantor pusat di Swiss. Organisasi ini belakangan bekerjasama dengan Yayasan Ekosistem Lestari menjalankan program pelestarian Orangutan Sumatera yang dikenal dengan program SOCP.
Sementara itu, Direktur SOCP Dr Ian Singleton mengaku prihatin dengan masih maraknya penggunaan senapan angin terhadap satwa liar. “Kondisi Hope masih sangat serius dan tim medis SOCP tetap bekerja keras untuk mengupayakan keselamatannya. Kami sedih sekali menghadapi kasus seperti ini, terutama karena ini bukan kasus pertama!”
“Kami telah menerima dan merawat cukup banyak orangutan yang tubuhnya penuh dengan puluhan, bahkan ada yang lebih dari seratus peluru akibat ditembak oleh masyarakat. Susah untuk kami memahami bahwa di tahun 2019 ini masih saja ada sebagian masyarakat yang menembak seekor satwa seperti Hope, bersama bayinya yang baru saja dilahirkan. Sulit dimengerti ada orang yang menembak orangutan dengan sangat brutal tanpa merasa bersalah!” tegas Dr Ian.
Orangutan Satwa Dilindungi
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara, Hotmauli Sianturi mengatakan orangutan masuk sebagai satwa liar yang dilindungi undang-undang. “UU No 5 tahun 1990, yang melarang setiap orang untuk menangkap, melukai, membunuh, memelihara dan memperdagangkan satwa yang dilindungi,” katanya.
Dia mengatakan ada hukuman yang menanti para pelanggar UU tersebut, seperti hukuman masa tahanan maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp100 juta.
Hal senada disampaikan Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo. Dia mengatakan BKSDA Aceh bahkan berkomitmen untuk membantu penyidik Balai Gakkum Sumatera, maupun Polda Aceh, untuk mengungkap kasus penganiayaan terhadap Hope dan anaknya. “Saya berharap bisa segera diungkap,” kata Sapto.
Sementara terkait penggunaan senapan angin, Dirjen KSDAE dan Kepala BKSDA Aceh juga telah mengirimkan surat kepada Kapolda Aceh. Dalam surat tersebut, mereka meminta pihak kepolisian agar segera menertibkan peredaran senapan angin seperti diatur dalam Peraturan Kapolri No 8 tahun 2012.
“Sehingga tidak ada lagi kasus Hope-Hope yang lain. Kepada masyarakat yang mengetahui kejadian konflik orangutan dengan manusia juga segera melapor ke Call Center BKSDA Aceh Nomor telpon 085362836024,” kata Sapto lagi.
18 Orangutan Jadi Korban Peluru Senapan Angin
Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo mengungkapkan sudah 18 orangutan yang menjadi korban peluru senapan angin dalam kurun waktu 10 tahun ini. Dari 18 orangutan korban ini, total terhitung 482 peluru yang melukai bahkan menewaskan spesies yang terancam punah ini.
“Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2012 tentang Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api menjelaskan bahwa senapan angin hanya digunakan untuk kepentingan olahraga menembak sasaran atau target (pasal 4 ayat 3), dan hanya digunakan di lokasi pertandingan dan latihan (pasal 5 ayat 3). Produk hukum ini tidak hanya mengatur mengenai penggunaan senjata api, tetapi termasuk juga penyimpanan, pembelian dan kepemilikannya,” ungkapnya.
Lantas kenapa orangutan masuk spesies yang dilindungi?
Orangutan Sumatera (Pongo abelii) adalah spesies yang berbeda dari kerabatnya di Kalimantan (Pongo pygmaeus). Pada November 2017, para ilmuwan telah mengumumkan kepada dunia tentang keberadaan spesies ketiga orangutan, jenis yang baru di Sumatra, yaitu orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis). Seperti namanya, Orangutan Tapanuli hanya dapat ditemukan di Ekosistem Batang Toru, Sumatra Utara.
Hingga saat ini, hanya ada sekitar 13.500 Orangutan Sumatra dan kurang dari 800 Orangutan Tapanuli yang masih hidup di alam liar. Kedua spesies tersebut terdaftar sebagai Terancam Punah oleh Badan Konservasi Internasional (IUCN), dan masuk dalam Daftar Merah Spesies Terancam.
“Untuk itu kami menghimbau kepada para pihak agar tidak mengganggu satwa liar dilindungi atau akan menerima konsekuensi hukumnya sesuai UU,” pungkas Hotmauli Sianturi.[]
Note: Tulisan ini telah dimuat di popularitas.com
No comments:
Post a Comment