Ruangan itu terlihat kosong. Tidak ada seorang pun ada di sana kala popularitas.com menyambangi ke lokasi. Informasi yang diterima dari petugas keamanan MAA, diketahui Plt Ketua MAA Saidan Nafi sedang menggelar rapat tertutup dengan seseorang. “Ada rapat di lantai atas. Cuma berdua saja,” kata petugas keamanan tersebut tanpa mau memberitahukan nama.
Dia juga memberitahukan bahwa Badruzzaman Ismail juga telah berkantor. “Dia berkantor di ruang bawah,” kata pria itu lagi.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Aceh Nova Iriansyah melantik Saidan Nafi sebagai Plt Ketua MAA. Pelantikan tersebut belakangan menuai polemik. Apalagi MAA baru saja melangsungkan Musyawarah Besar (Mubes) dan memilih kembali Badruzzaman Ismail sebagai ketua.
Mubes tersebut turut dihadiri oleh perwakilan MAA seluruh kabupaten dan kota yang ada di Aceh. Namun sejak terpilih, kepemimpinan Badruzzaman tak jua menuai restu dari Pemerintah Aceh. Alih-alih melantik Badruzzaman, Plt Gubernur Aceh malah mendaulat Saidan Nafi menjadi pelaksana tugas ketua. Alasannya sederhana: Mubes yang dihelat MAA disebut-sebut tidak sesuai aturan.
Ada unsur kehadiran Tuha Nanggroe yang dinilai tidak dapat dipenuhi dalam pelaksanaan mubes tersebut. Hal ini merupakan salah satu unsur yang terkandung dalam Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2004 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sementara Tuha Nanggroe sendiri tidak ada. Inilah yang membuat Pemerintah Aceh menyimpulkan mubes tersebut cacat hukum.
Sejak MAA dibentuk, memang ada beberapa regulasi yang menjadi payung hukum bagi majelis adat tersebut. Dasar hukum pertama adalah Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 tentang sebutan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (istimewa bidang agama, pendidikan, dan adat/istiadat).
Selanjutnya, Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 1990 Tentang Pembangunan dan Pengembangan Adat Kebiasaan. Regulasi lainnya adalah Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1996 Tentang Mukim, selanjutnya Keputusan Gubernur Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Pedoman Pelaksanaan Adat.
Landasan hukum pembentukan MAA juga berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat, selanjutnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus.
Selanjutnya MAA juga berada di bawah regulasi Qanun Nomor 4 tahun 2003 tentang Otonomi Khusus, Qanun Nomor 5 tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong, dan terakhir Qanun Nomor 3 tahun 2004 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Majelis Adat Aceh.
Belakangan, unsur Qanun Nomor 3 tahun 2004 inilah yang dipersoalkan meskipun dalam Qanun Nomor 8 tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe, MAA sendiri justru masuk dalam Majelis Fungsional bersama Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA), Majelis Pendidikan Aceh (MPA), Majelis Ekonomi Aceh, Baitul Mal Aceh, Bentara, Majelis Hutan Aceh, Majelis Khazanah dan Kekayaan Aceh, Majelis Pertambangan dan Energi, Majelis Kesejahteraan Sosial dan Kesehatan, dan Majelis Perempuan. Namun, sayangnya, dalam Qanun 8/2012 tersebut justru menyebutkan susunan organisasi Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA), Majelis Adat Aceh (MAA), Majelis Pendidikan Aceh (MPA) dan Baitul Mal Aceh tetap berdasarkan pada Qanun pembentukan masing-masing lembaga.
Sebelumnya, Kepala Biro Hukum Setda Aceh, Amrizal J Prang mengatakan selama ini ada penafsiran sendiri bahwa Tuha Nanggroe tidak tercantum lagi dalam UUPA. Ini pula yang menyebabkan mubes MAA sebelumnya tidak menuai permasalahan. Padahal, menurut Amrizal, secara norma hukum setiap aturan yang telah dimuat dalam qanun tidak bisa ditafsirkan masih berlaku atau tidak, selama belum direvisi.
Amrizal mengatakan seharusnya Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2004 tersebut direvisi agar menyesuaikan dengan keadaan sekarang untuk mendapatkan kepastian hukum.
“Mubes selama ini, Tuha Nanggroe tidak ada tapi dianggap sah karena aturan ditafsir sendiri. Tapi untuk sementara ada jalan keluar yaitu dengan di Pergub-kan. Plt Kepala MAA bertugas menyusun keputusan gubernur tentang tata cara memilih ketua MAA. Tapi kalau ingin yang ideal, qanun itu harus segera diubah,” kata Amrizal seperti dilansir Serambi Indonesia medio Februari 2019 lalu.
Hal senada disampaikan pakar hukum, Mawardi Ismail. Dia menilai penunjukan Plt Ketua MAA sudah tepat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, yang menyebutkan tentang permasalahan adat merupakan hal khusus dan menjadi kewenangan Pemerintah Aceh.
Mawardi juga menyetir Qanun No 3 tahun 2004 tentang pemebentukan, susunan organisasi, dan tata kerja MAA. Menurutnya dalam Pasal 16 ayat 2 dinyatakan bahwa hal-hal yang belum diatur dalam qanun mengenai peraturan pelaksanaan akan diatur dalam Keputusan Gubernur Aceh. Dalam hal ini, termasuk menyangkut penyelenggaraan qanun.
Dia menilai tata tertib Mubes MAA tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga harus dibuat qanun. Meskipun secara de facto pengurus MAA dipilih dalam mubes, tetapi menurut Mawardi, secara de jure penetapan dan pelantikan adalah wewenang Gubernur Aceh sebagai kepala daerah.
“Masalah adat adalah merupakan hal khusus yang menjadi kewenangan pemerintahan Aceh. Jadi kalau keberadaan MAA ini dilihat dalam konteks kehilangan adat, maka saya kira ada kewenangan gubernur sebagai kepala daerah untuk menata kembali hal-hal yang menyangkut penyelenggaraan qanun,” ujar Mawardi Ismail, seperti visual yang dilansir salah satu stasiun televisi swasta.
Berpegang pada Musyawarah
KETUA Majelis Adat Aceh (MAA) terpilih, Badruzzaman Ismail kecewa atas sikap Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah yang melantik Pelaksana tugas di kelembagaan MAA. Dia menyesalkan hasil musyawarah para pemuka adat tidak mendapat tempat dan menilai ada kepentingan politis atas kebijakan tersebut. “Baru kali ini terjadi (Plt Gubernur mengangkat Plt Ketua MAA) dan kita tidak pernah terpikirkan ke sana,” ujar Badruzzaman kepada popularitas.com, awal Maret 2019 lalu.
Badruzzaman memang bukan orang baru di lembaga MAA. Dia telah lama memimpin majelis tersebut sejak awal terbentuknya MAA. Semula kepemimpinan Badruzzaman di MAA setelah keluarnya notadinas Ketua I MAA menjadi Ketua MAA, setelah Hakim Nya’ Pha selaku pejabat Ketua MAA sebelumnya dipindahtugaskan menjadi Hakim Agung ke Jakarta pada Januari 2003 lalu. Sejak saat itu, Badruzzaman Ismail memegang kendali penuh kepemimpinan MAA hingga ditetapkan jabatannya oleh gubernur secara definitif, dan dilampirkan dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2004.
Sebelum kebijakan Plt Gubernur Aceh mem-Plt-kan Ketua MAA, Badruzzaman mengaku sama sekali tidak mendapat teguran ataupun pemberitahuan termasuk saat menggelar mubes. “Jadi kita anggap normal saja karena sah menurut hokum. Ada tata tertib dan begitu lengkap dengan ada sidangnya, sidang plenonya terbuka. Semua tidak ada sembunyi sedikit pun. Jadi tahu-tahu, saya kira sulit kalau sudah ada unsur-unsur politiknya,” ungkap Badruzzaman. Selain itu, mubes MAA juga turut dihadiri Plt Sekda Aceh dan Wali Nanggroe Aceh.
Badruzzaman menduga ada kepentingan sejumlah oknum untuk menguasai lembaga MAA. “Saya dengar ada pihak-pihak lain tanpa aktif (di MAA) yang mau loncat atau ada main. Kira-kira seperti itu yang saya dengar di luar. Saya kan lurus-lurus saja,” tambah Badruzzaman lagi.
Anehnya keinginan politik tersebut tidak sesuai dengan besarnya mata anggaran yang dikelola MAA tahun 2019 ini. Berdasarkan e-kinerja pemerintah Aceh diketahui MAA hanya mendapat porsi sebesar Rp 334.872.823 di tahun 2019 dari dana Bagi Hasil Migas.
Badruzzaman bahkan mengaku tidak ada pengurus MAA yang mendapat materi layak atas sumbangsihnya selama ini. Mereka hanya diganjar honor yang jauh dari kata cukup meskipun pemangku-pemangku yang ada di MAA bergelar Doktor dan Profesor. “Jadi tidak ada pamrih yang duduk di sini. Tidak ada yang anu atau segala macam, kecuali ada yang melihat sekarang (MAA) sudah ada gedung hebat dan ada kendaraan,” pungkasnya.*
Note: Tulisan ini telah dimuat di popularitas.com
No comments:
Post a Comment