Friday, August 31, 2018

Mencari Jejak Jepang di Bukit Anoi Itam

ADA tiga struktur yang saya lihat di kawasan itu. Struktur ini lebih mirip lubang dibandingkan kamar. Setiap lubang memiliki satu pintu untuk masuk dan keluar. Selebihnya adalah ruang kosong berukuran 1,5x1,5 meter.

Struktur-struktur ini juga dilengkapi dengan satu lubang bentuk persegi panjang. Dari balik lubang, kita dapat melihat hamparan laut di sekitar Anoi Itam. Ya, Anoi Itam wilayah timur Pulau Weh, Aceh. Benteng ini berada tepat di jalan Ujong Kareung.

Struktur-struktur ini belakangan disebut Benteng Anoi Itam. Padahal, di masa pembuatannya, struktur-struktur ini merupakan gudang senjata tentara Jepang. Selain itu, struktur ini juga dimanfaatkan sebagai pos militer pemantau jalur Selat Malaka di masa perang Pasifik.

Informasi yang saya telusuri dari situs resmi dinas kebudayaan menyebutkan benteng ini dibangun antara tahun 1942-1945.


Satu struktur yang berada di puncak ketinggian, memiliki tiga ruangan. Luas struktur ini juga berbeda dengan dua bangunan lain yang ada di lereng bukit, yang hanya memiliki satu ruangan.

Di struktur tertinggi itu, kita dapat melihat dengan jelas perairan Selat Malaka. Beberapa kapal hilir mudik, dan jika beruntung juga dapat melihat daratan utama nun jauh di sana.

Tentu, semua pemandangan itu bisa disaksikan melalui lubang persegi panjang yang berfungsi sebagai jendela. Saya menduga, lubang ini pada masanya tidak hanya berfungsi sebagai jendela saja. Namun, lubang persegi panjang tersebut menjadi lubang pengintai untuk moncong senjata bahkan meriam.

Meriam?

Berbicara tentang meriam, saya mendapati satu meriam berkarat di dalam struktur itu. Saya memperkirakan panjang meriam ini sekitar 3,5-4 meter. Diameter ujung meriam sedikit lebih besar dari kepala saya. Meskipun demikian, kepala saya tak mungkin muat jikapun dipaksakan ke dalam lubang ujung meriam yang membesar di buritannya itu.

Dalam kunjungan saya ke benteng Anoi Itam bersama @ms_1991, saya mendapati meriam itu diletakkan begitu saja di tengah-tengah pintu masuk ke dalam struktur benteng, di puncak bukit. Meriam tersebut saya duga terbuat dari tembaga padat sehingga tidak mungkin mampu diangkat oleh seorang manusia. Ya, kecuali manusia sekaliber Super Man, Thor atau Hulk si superhero imajinasi versi Hollywood.

Pada masa perang Pasifik berlangsung, Pulau Weh menjadi objek perebutan dua kekuatan asing di Aceh. Kekuatan yang dimaksud adalah pasukan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang dibantu pasukan kerajaan Inggris Raya, melawan pasukan Kekaisaran Jepang.

Pada awalnya, Sabang yang adalah ibukota Pulau Weh pernah diduduki sekian lama oleh Belanda. Di kawasan ini, Belanda sempat membuka pelabuhan bebas untuk bangsa-bangsa Eropa yang berdagang melalui jalur laut di Selat Malaka. Di kemudian hari, pasukan NICA di Sabang babak belur dihajar Jepang dalam misi mereka menguasai Asia Raya.

Sejak itu, pasukan Belanda bersama sekutu meninggalkan Pulau Weh. Jepang yang dibantu penduduk pribumi kemudian menguasai Sabang, termasuk Anoi Itam. Pendudukan Jepang ini tentu dibarengi dengan pembuatan benteng-benteng pertahanan untuk melindungi pangkalan mereka dari serangan pasukan Eropa.

Jika menelisik tipikal struktur pertahanan Jepang, maka diketahui benteng-benteng pasukan Dai Nippon tidak berdiri sendiri. Biasanya, dugaan saya, Jepang membangun struktur pertahanan mereka dengan melubangi dataran tinggi atau bukit.

Dari satu titik benteng menuju benteng lainnya dibangun akses serupa terowongan. Hal ini membuat pasukan musuh yang mengintai bakal tidak tahu aktivitas atau jumlah pasti serdadu Jepang.

Dugaan saya ini ternyata benar. Berdasarkan artikel yang dilansir situsbudaya.id diketahui terowongan penghubung antar satu struktur ke struktur lainnya sudah ditutup pemerintah setempat. Pemerintah Sabang juga telah menutup beberapa struktur lainnya yang berada di bukit Anoi Itam demi keamanan warganya, sehingga saat ini hanya tersisa tiga struktur saja.

Berdasarkan sejarah singkat yang saya pahami, Jepang hanya beberapa tahun berada di Pulau Weh. Mereka akhirnya diusir oleh para pribumi pasca kekalahan terbesar melawan Amerika Serikat, yang membombardir Nagasaki dan Hiroshima menggunakan bom nuklir.

Sejak itu, benteng-benteng kecil Jepang di Sabang dibiarkan begitu saja. Bangunan yang pernah menjadi saksi bisu peperangan di Pasifik tersebut hanya mampu menatap Selat Malaka dalam kebisuannya. Beruntung, puluhan tahun kemudian benteng kecil yang sempat tertutup tumbuhan liar dibersihkan. Lubang pertahanan sekaligus gudang senjata Jepang itu kelak berubah menjadi salah satu destinasi wisata historis di negeri kami.

No comments:

Post a Comment