ORANG Aceh
dikenal angkuh dan enggan menjadi petani kendati alam Aceh begitu subur sehingga
ribuan hektar tanah terbengkalai begitu saja. Setidaknya inilah yang dicatat
oleh Beaulieu, seorang pelayar dari Prancis yang datang ke Aceh seperti yang
ditulis oleh Denys Lombard dalam bukunya Kerajaan Aceh; Zaman Sultan Iskandar
Muda.
“Tanahnya
baik sekali, dapat menghasilkan segala macam padi-padian dan buah-buahan, ada
rerumputan yang bagus sekali, tempat merumput banyak kerbau yang dipakai
mengolah (membajak) tanah, menarik bajak dan muatan,” kata Beaulieu.
Masih dalam
catatan Denys Lombard, Beaulieu mengatakan di Aceh biri-biri (domba) tidak
begitu cocok hidup di alam Aceh namun sangat bagus untuk sapi, kuda serta
unggas. Pelaut-pelaut berjiwa petani yang datang dari Benua Eropa kesal melihat
tanah itu tidak digarap. “Yang mereka tanam hanyalah padi… dan hanya sedikit
sayuran…”
“They plowe the ground with baffles of which
there are great plenties but with small skill and less diligence.”
Menurut
penjelajah Eropa di abad ke 16, orang-orang Aceh kerap menyewa budak untuk
mengurusi lahan mereka. Namun tidak semua orang Aceh yang malas. Ada sebagian
petani yang menanam padi. Jumlahnya sangat sedikit dan hasil sawahnya hanya
dimakan untuk sendiri dan lebih bergantung pada hewan piaraannya. Terutama ayam
dan itik yang telurnya kerap dijual ke kota.
“Daerah ibu
kotanya tak cukup pertaniannya untuk memberi makan kepada penduduknya sehingga
sebagian besar berasnya datang dari luar,” ujar Beaulieu.
Sultan Aceh,
kata Beaulieu, harus memikirkan dua hal yaitu impor beras ke pusat kota dan
bagaimana caranya budak-budak kerajaan tetap menanam padi di daerah sekitarnya.
Kedua hal ini menjadi kewajiban yang harus dipikirkan sultan guna stabilitas
politik di dalam negeri. Jika dua hal tersebut tidak terkontrol dengan baik
maka akan berdampak pada kemarau dan bencana kelaparan.
Bencana
kelaparan ini pernah diderita masyarakat Aceh di masa Sultan ‘Ali Riayat Syah
sekitar tahun 1605 seperti yang dinukilkan Nuruddin dalam Bustanussalatin.
Bencana tersebut tidak berlaku di masa Sultan Iskandar Muda yang berhasil
memberikan kemakmuran kepada rakyatnya.
Semua
penjelajah Eropa sama-sama menegaskan bahwa beras di Aceh jarang dan mahal.
Lancaster, penjelajah dari Inggris salah satunya yang datang ke Aceh pada tahun
1602. “Rice is brought from other places, it is a good merchandise and is sold
by the bambue six or seven bambues for nine pence,” kata Lancaster seperti
dikutip Denys Lombard.
Kekurangan
pangan di ibukota juga terjadi 20 tahun sesudah kedatangan Lancaster ke Aceh.
Beaulieu mencatat bahwa beras saat itu didatangkan dari Pedir yang menjadi
lumbung Aceh dan dari Daya sama sekali tidak mencukupi kebutuhan ibukota. Beras
turut diimpor dari Semenanjung untuk kebutuhan pangan di ibu kota.
Penjelajah
dari Eropa memanfaatkan situasi tersebut dengan membawa beras yang nilainya
tinggi. Mereka juga turut membawa budak-budak dari Koromandel untuk menanam
padi. Budak-budak yang dibawa Inggris dan Denmark tersebut kemudian
memperkenalkan jenis pertanian kepada orang Aceh. Namun padi yang mereka tanam
sesudahnya masih belum mencukupi kebutuhan ibukota serta terpaksa mengimpor
dari luar negeri.[]
No comments:
Post a Comment