Wednesday, December 4, 2013

Indatu



Lokasi eskavasi Loyang Mandale. @The Atjeh
Penemuan manusia pra sejarah di situs Loyang Mandale membuka tabir asal mula bangsa Gayo. Inikah indatu bangsa Aceh?


LOYANG Mendale terlihat sepi berada di sisi tebing berbatu. Gua ini berbentuk ceruk yang melengkung ke dalam tebing di kawasan Danau Lut Tawar. Ada beberapa jenis pohon seperti kopi, jambu dan rumpun bambu tumbuh di sana.

Beberapa lubang bekas galian terdapat di dalam gua atau di sisi barat Danau Lut Tawar. Lubang-lubang tersebut dipagari kawat berduri dengan tiang-tiang bambu. Di sinilah ditemukan kerangka pra sejarah yang diduga sebagai nenek moyang orang Gayo. 

Penemuan kerangka pra sejarah tersebut berawal dari penelitian Tim Balai Arkeologi Medan yang dipimpin oleh Ketut Wiradnyana pada 2007 lalu. Survei dilakukan di sejumlah titik yang dianggap memiliki potensi peninggalan sejarah.


“Awalnya memang kita ada kegiatan survei. Kita ke Takengon dan keliling-keliling. Saat itu kita temukan sisa-sisa dari peralatan pra sejarah," ujar Ketut kepada Kurnia Muhadi dari The Atjeh di Takengon.

Sebelumnya, Ketut turut meninjau lokasi Gua Puteri Pukes di Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah. Kemudian berlanjut ke Gua Loyang Koro di Kecamatan Lut Tawar sekitar 7 kilometer dari kota Takengon. Penelitian juga dilakukan di Loyang Datu Kecamatan Linge. Ketiga gua tersebut sudah sangat dikenal oleh masyarakat Gayo sebagai kawasan objek wisata. 

Setelah meneliti sejumlah gua tersebut, akhirnya Ketut bersama timnya mendatangi Loyang Mendale. Tempat ini tidak terkenal sebelumnya. Bahkan pemilik lahan yang merupakan warga setempat menjadikan gua sebagai kandang kerbau.

Lokasi yang diabaikan ini kemudian berubah menjadi terkenal setelah Ketut dan timnya menemukan sisa-sisa peralatan pra sejarah. Temuan tersebut di antaranya batu kapak persegi yang ditemukan pada kedalaman 40 centimeter dari permukaan tanah. Selain itu tim arkeolog juga menemukan pecahan periuk di lokasi yang sama.

"Kita melihatnya dari bentuk dan teknologinya yang mengacu pada nilai-nilai budaya di masa lalu," katanya.

Semua temuan awal yang mengindikasikan adanya jejak pra sejarah itu dikumpulkan Ketut untuk diteliti. Usai penelitian yang dilakukan di Balai Arkeologi Medan, Ketut bersama timnya kembali ke Aceh Tengah pada 6 Maret 2009. Kala itu Ketut ingin mencari bukti lebih banyak lagi tentang peninggalan pra sejarah di Gayo. Ketut memutuskan untuk melakukan ekskavasi (tempat penggalian benda purbakala) pertamanya di Loyang Mendale.

Ekskavasi tersebut menemukan kerangka yang dihimpit oleh batu besar di bagian panggul dan kepala kerangka. Kondisi ini erat kaitannya dengan budaya masa lalu saat menguburkan manusia. Ketut kemudian mengindikasikan hal itu sebagai ciri budaya di zaman pra sejarah. Setelah temuan ini Ketut meyakini masih banyak kerangka manusia pra sejarah dan peralatan budayanya yang terkubur di kawasan Mendale.

"Kita akan teliti terus sampai tempat ini steril. Artinya sampai benar-benar kita yakini sudah tidak ada lagi potensi temuan yang akan kita dapatkan," ujarnya. 

Ketut menduga kerangka manusia yang ditemukan di Loyang Mendale pernah hidup pada zaman peralihan Mesolitik ke Neolitik (Lihat infografis). Temuan sejumlah fragmen di sekitar lokasi memperkuat dugaan adanya bukti-bukti peninggalan pra sejarah. Beberapa temuan seperti kapak batu persegi, serpihan keramik serta mata tombak yang terbuat dari batu menjadi pendukung dugaan adanya kehidupan masa peralihan Mesolitik ke Neolitik. Masa peralihan dari Mesolitik ke Neolitik di Indonesia terjadi pada 5.000 tahun silam.

Semua temuan itu menjadi dasar argumentasi bahwa mereka sudah mengenal budaya pada zaman Mesolitik. “Beberapa temuan menunjukkan penggunaan alat untuk berburu dan memotong serta menguliti binatang buruan," katanya.

Selanjutnya juga ditemukan beberapa serpihan gerabah yang diyakini berasal dari zaman Neolitik. Alat tersebut ditemukan pada lapisan tanah di kedalaman 40 hingga 70 centimeter.

MERUJUK pada catatan sejarah, zaman Mesolitik juga dikenali sebagai Zaman Batu Pertengahan serta zaman Haobinhian. Zaman ini berlangsung di antara 10.000 hingga 5.000 sebelum Masehi. Menurut Soekmono R dalam buku Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I menyebutkan manusia pada zaman ini hidup di gua, di bawah ranting kayu dan lubang bawah tanah. Lokasinya tidak jauh dari tepi sungai dan laut sebagai sumber kehidupan.

Pada masa ini, manusia sudah berburu dan menangkap ikan serta memungut hasil hutan. Kegiatan tersebut dilakukan untuk mendapatkan bekal makanan meskipun manusia pra sejarah pada masa ini sudah mulai belajar bercocok tanam.  

Beberapa alat yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-harinya terbuat dari kayu, batu dan tulang. Di masa Mesolitik, manusianya juga sudah memiliki ilmu pengetahuan menciptakan senjata seperti panah dan anak panah untuk memburu binatang. Selain itu, manusia pada masa ini juga sudah menggunakan jaring dan perangkap untuk menangkap ikan.

Corak istimewa zaman Mesolitikum Indonesia yaitu peninggalan-peninggalan yang disebut dalam bahasa Denmark kyokkenmoddinger atau sampah dapur (Kyokken berarti dapur, modding berarti sampah). Sampah dapur tersebut dapat ditemukan di sepanjang pantai Sumatra Timur Laut di antara Langsa (Aceh) hingga Medan. Sampah dapur tersebut berupa bukit atau tumpukan kerang dan siput yang tinggi dan panjang yang telah menjadi fosil.

Masih menurut catatan sejarah berdasarkan penyelidikan Dr P V Van Stein Callenfels—pelopor ilmu pra sejarah Indonesia dan biasa dikenal sebagai "Bapak Pra Sejarah Indonesia"—tahun 1925, dapat diketahui bahwa bukit-bukit kerang dan siput tersebut merupakan bekas sisa-sisa makanan dari masyarakat yang hidup di tepi pantai.

Di tempat yang sama ditemukan pula jenis kapak genggam (chooper) yang diberi nama pebble (kapak Sumatra) yang berbeda dengan kapak genggam zaman Paleolitikum (chopper). Pebble ini dibuat dari batu kali yang dipecah atau dibelah. Sisi luarnya yang memang sudah halus dibiarkan, sedangkan sisi dalamnya (tempat belah) dikerjakan lebih lanjut, sesuai dengan keperluannya. 

Di samping itu juga terdapat kapak pendek (hanche courte). Bentuknya kira-kira setengah lingkaran dan seperti kapak genggam juga, dibuatnya dengan memukuli dan memecahkan batu, serta tidak diasah. Sisi tajamnya terdapat pada sisi yang lengkung.

Kecuali kapak-kapak tersebut, dari bukit kerang juga ditemukan batu penggiling (pipisan) dan landasannya. Pipisan ini rupanya tidak hanya untuk menggiling makanan, tetapi juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah sebagaimana ternyata terlihat dari bekas-bekasnya. Untuk apa cat merah dipergunakan, belum dapat dinyatakan dengan pasti. 

Mungkin sekali pemakaiannya berhubungan dengan keagamaan, yakni dengan ilmu sihir (merah adalah warna darah). Maka cat merah diulaskan pada badan, sebagaimana masih menjadi kebiasaan berbagai suku bangsa, mempunyai maksud agar tambah kekuatannya dan tambah tenaganya. Pendukung kebudayaan kyokkenmoddinger ialah ras Papua Melanesia.

Hasil penemuan kedua dari kebudayaan Mesolotikum adalah abris sous roche, yaitu gua yang dipakai sebagai tempat tinggal manusia pra sejarah. Gua-gua itu sebenarnya lebih menyerupai ceruk-ceruk di dalam batu karang yang cukup untuk memberi perlindungan terhadap hujan dan panas. Di dalam dasar gua-gua itu didapatkan banyak peninggalan kebudayaan dari jenis Paleolitikum hingga Neolitikum, tetapi sebagian besar dari zaman Mesolitikum. (Baca selengkapnya di Majalah The Atjeh Edisi II)

No comments:

Post a Comment