Penemuan manusia pra sejarah di situs Loyang
Mandale membuka tabir asal mula bangsa Gayo. Inikah indatu bangsa Aceh?
LOYANG Mendale terlihat sepi berada di sisi
tebing berbatu. Gua ini berbentuk ceruk yang melengkung ke dalam tebing di
kawasan Danau Lut Tawar. Ada beberapa jenis pohon seperti kopi, jambu dan
rumpun bambu tumbuh di sana.
Beberapa lubang bekas galian terdapat di
dalam gua atau di sisi barat Danau Lut Tawar. Lubang-lubang tersebut dipagari
kawat berduri dengan tiang-tiang bambu. Di sinilah ditemukan kerangka pra sejarah
yang diduga sebagai nenek moyang orang Gayo.
Penemuan kerangka pra sejarah tersebut berawal
dari penelitian Tim Balai Arkeologi Medan yang dipimpin oleh Ketut Wiradnyana
pada 2007 lalu. Survei dilakukan di sejumlah titik yang dianggap memiliki
potensi peninggalan sejarah.
“Awalnya memang kita ada kegiatan survei.
Kita ke Takengon dan keliling-keliling. Saat itu kita temukan sisa-sisa dari
peralatan pra sejarah," ujar Ketut kepada Kurnia Muhadi dari The Atjeh di
Takengon.
Sebelumnya, Ketut turut meninjau lokasi Gua
Puteri Pukes di Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah. Kemudian berlanjut ke Gua Loyang
Koro di Kecamatan Lut Tawar sekitar 7 kilometer dari kota Takengon. Penelitian
juga dilakukan di Loyang Datu Kecamatan Linge. Ketiga gua tersebut sudah sangat
dikenal oleh masyarakat Gayo sebagai kawasan objek wisata.
Setelah meneliti sejumlah gua tersebut,
akhirnya Ketut bersama timnya mendatangi Loyang Mendale. Tempat ini tidak
terkenal sebelumnya. Bahkan pemilik lahan yang merupakan warga setempat
menjadikan gua sebagai kandang kerbau.
Lokasi yang diabaikan ini kemudian berubah
menjadi terkenal setelah Ketut dan timnya menemukan sisa-sisa peralatan pra
sejarah. Temuan tersebut di antaranya batu kapak persegi yang ditemukan pada
kedalaman 40 centimeter dari permukaan tanah. Selain itu tim arkeolog juga
menemukan pecahan periuk di lokasi yang sama.
"Kita melihatnya dari bentuk dan
teknologinya yang mengacu pada nilai-nilai budaya di masa lalu," katanya.
Semua temuan awal yang mengindikasikan adanya
jejak pra sejarah itu dikumpulkan Ketut untuk diteliti. Usai penelitian yang
dilakukan di Balai Arkeologi Medan, Ketut bersama timnya kembali ke Aceh Tengah
pada 6 Maret 2009. Kala itu Ketut ingin mencari bukti lebih banyak lagi tentang
peninggalan pra sejarah di Gayo. Ketut memutuskan untuk melakukan ekskavasi (tempat penggalian benda
purbakala) pertamanya di Loyang Mendale.
Ekskavasi tersebut menemukan kerangka yang
dihimpit oleh batu besar di bagian panggul dan kepala kerangka. Kondisi ini
erat kaitannya dengan budaya masa lalu saat menguburkan manusia. Ketut kemudian
mengindikasikan hal itu sebagai ciri budaya di zaman pra sejarah. Setelah
temuan ini Ketut meyakini masih banyak kerangka manusia pra sejarah dan
peralatan budayanya yang terkubur di kawasan Mendale.
"Kita akan teliti terus sampai tempat
ini steril. Artinya sampai benar-benar kita yakini sudah tidak ada lagi potensi
temuan yang akan kita dapatkan," ujarnya.
Ketut menduga kerangka manusia yang ditemukan
di Loyang Mendale pernah hidup pada zaman peralihan Mesolitik ke Neolitik
(Lihat infografis). Temuan sejumlah fragmen
di sekitar lokasi memperkuat dugaan adanya bukti-bukti peninggalan pra sejarah.
Beberapa temuan seperti kapak batu persegi, serpihan keramik serta mata tombak
yang terbuat dari batu menjadi pendukung dugaan adanya kehidupan masa peralihan
Mesolitik ke Neolitik. Masa peralihan dari Mesolitik
ke Neolitik di Indonesia terjadi pada
5.000 tahun silam.
Semua temuan itu menjadi dasar argumentasi
bahwa mereka sudah mengenal budaya pada zaman Mesolitik. “Beberapa temuan menunjukkan penggunaan alat untuk
berburu dan memotong serta menguliti binatang buruan," katanya.
Selanjutnya juga ditemukan beberapa serpihan
gerabah yang diyakini berasal dari zaman Neolitik.
Alat tersebut ditemukan pada lapisan tanah di kedalaman 40 hingga 70
centimeter.
MERUJUK pada catatan
sejarah, zaman Mesolitik juga
dikenali sebagai Zaman Batu Pertengahan serta zaman Haobinhian. Zaman ini berlangsung di antara 10.000 hingga 5.000 sebelum
Masehi. Menurut Soekmono R dalam buku Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I
menyebutkan manusia pada zaman ini hidup di gua, di bawah ranting kayu dan
lubang bawah tanah. Lokasinya tidak jauh dari tepi sungai dan laut sebagai
sumber kehidupan.
Pada masa ini, manusia sudah berburu dan
menangkap ikan serta memungut hasil hutan. Kegiatan tersebut dilakukan untuk
mendapatkan bekal makanan meskipun manusia pra sejarah pada masa ini sudah
mulai belajar bercocok tanam.
Beberapa alat yang dipergunakan dalam
kehidupan sehari-harinya terbuat dari kayu, batu dan tulang. Di masa Mesolitik, manusianya juga sudah memiliki
ilmu pengetahuan menciptakan senjata seperti panah dan anak panah untuk memburu
binatang. Selain itu, manusia pada masa ini juga sudah menggunakan jaring dan
perangkap untuk menangkap ikan.
Corak istimewa zaman Mesolitikum Indonesia yaitu
peninggalan-peninggalan yang disebut dalam bahasa Denmark kyokkenmoddinger atau sampah dapur (Kyokken berarti dapur, modding berarti
sampah). Sampah dapur tersebut dapat ditemukan di sepanjang pantai Sumatra
Timur Laut di antara Langsa (Aceh) hingga Medan. Sampah dapur tersebut berupa
bukit atau tumpukan kerang dan siput yang tinggi dan panjang yang telah menjadi
fosil.
Masih menurut catatan sejarah berdasarkan penyelidikan
Dr P V Van Stein Callenfels—pelopor ilmu pra sejarah Indonesia dan biasa
dikenal sebagai "Bapak Pra Sejarah Indonesia"—tahun 1925, dapat
diketahui bahwa bukit-bukit kerang dan siput tersebut merupakan bekas sisa-sisa
makanan dari masyarakat yang hidup di tepi pantai.
Di tempat yang sama ditemukan pula jenis
kapak genggam (chooper) yang diberi
nama pebble (kapak Sumatra) yang berbeda dengan kapak genggam zaman
Paleolitikum (chopper). Pebble ini
dibuat dari batu kali yang dipecah atau dibelah. Sisi luarnya yang memang sudah
halus dibiarkan, sedangkan sisi dalamnya (tempat belah) dikerjakan lebih lanjut,
sesuai dengan keperluannya.
Di samping itu juga terdapat kapak pendek (hanche courte). Bentuknya kira-kira
setengah lingkaran dan seperti kapak genggam juga, dibuatnya dengan memukuli
dan memecahkan batu, serta tidak diasah. Sisi tajamnya terdapat pada sisi yang
lengkung.
Kecuali kapak-kapak tersebut, dari bukit
kerang juga ditemukan batu penggiling (pipisan) dan landasannya. Pipisan ini
rupanya tidak hanya untuk menggiling makanan, tetapi juga dipergunakan untuk
menghaluskan cat merah sebagaimana ternyata terlihat dari bekas-bekasnya. Untuk
apa cat merah dipergunakan, belum dapat dinyatakan dengan pasti.
Mungkin sekali pemakaiannya berhubungan
dengan keagamaan, yakni dengan ilmu sihir (merah adalah warna darah). Maka cat
merah diulaskan pada badan, sebagaimana masih menjadi kebiasaan berbagai suku
bangsa, mempunyai maksud agar tambah kekuatannya dan tambah tenaganya.
Pendukung kebudayaan kyokkenmoddinger ialah ras Papua Melanesia.
Hasil penemuan kedua dari kebudayaan
Mesolotikum adalah abris sous roche, yaitu
gua yang dipakai sebagai tempat tinggal manusia pra sejarah. Gua-gua itu
sebenarnya lebih menyerupai ceruk-ceruk di dalam batu karang yang cukup untuk
memberi perlindungan terhadap hujan dan panas. Di dalam dasar gua-gua itu
didapatkan banyak peninggalan kebudayaan dari jenis Paleolitikum hingga
Neolitikum, tetapi sebagian besar dari zaman Mesolitikum. (Baca selengkapnya di Majalah The Atjeh Edisi II)
No comments:
Post a Comment