SETELAH Sultan Muhammad Syah mangkat pada Januari 1874, Aceh kehilangan figur kepemimpinan. Sedangkan Tuanku Daud saat itu masih 10 tahun. Perlawanan melawan Belanda hanya dilakukan oleh kelompok pejuang Aceh secara terpisah.
Kondisi ini dimanfaatkan dengan baik oleh Habib Abdurachman al Zahir. Di Aceh Besar, Habib menjadi pemersatu bagi kerajaan-kerajaan kecil untuk perjuangan Aceh.
Konsolidasi langsung dilakukan oleh Habib selama dua tahun lamanya sejak ia tiba di Aceh Besar pada Juli 1876. Beberapa panglima sagoe memberikannya wewenang untuk mengatur strategi melawan Belanda. Di antaranya, Panglima Polem, Teuku Muda Baet, Imuem Lueng Bata, dan Teuku Paya serta dua raja kecil seperti Raja Gigieng dan Teungku Pakeh dari Pidie.
Namun setelah melakukan konsolidasi dengan beberapa pejuang Aceh, kepemimpinan Habib mulai diragukan. Pasalnya Habib yang bermarkas di Montasik tidak pernah menginstruksikan perang terhadap Belanda yang saat itu sedang menempuh jalan damai menghadapi perlawanan para pejuang Aceh.
Kecurigaan para pejuang Aceh terhadap kemampuan Habib berperang dibantahkan. Dia menutup kekhawatiran para pejuang dengan serangan pada Juni 1878, menghadang ekspedisi Belanda di Sagi XXVI Mukim. Dia juga memimpin serangan pejuang Aceh mengepung Krueng Raba dan menyabotase alat-alat vital militer Belanda di pinggiran Kota Banda Aceh.
Habib kemudian menawarkan solusi damai kepada Belanda dengan mengizinkan 100 prajurit yang terkepung di Krueng Raba untuk kembali ke Banda Aceh. Dia mengajukan syarat agar Krueng Raba diserahkan ke tangan para pejuang. Namun permintaan Habib dianggap hinaan oleh Belanda. Jenderal Van der Heijden dari Batavia diutus Gubernur Jenderal van Lansberge tiba di Aceh pada 23 Juli dan langsung memimpin serangan besar ke Montasik.
Gempuran ke markas Habib berlangsung selama tujuh hari dengan keberhasilan di tangan Belanda. Heijden berhasil merebut benteng pasukan Habib pada 28 Juli 1877. Kekalahan ini menjadi aib besar bagi Habib dan membuat semangat juangnya memudar. Dia mengumpulkan 12 ulee balang untuk menyerah kepada Belanda, dan hanya tujuh orang yang sepakat dengan anjuran Habib tersebut.
Karena kepiawaiannya membujuk ulee balang tersebut, Habib diberikan izin meninggalkan Aceh menuju Mekkah dan Belanda memberikan hadiah uang pensiun seumur hidup dengan nilai 1000 dolar setiap bulan untuknya. Syaratnya hanya satu: Habib tidak kembali ke Aceh.
Setelah Habib pergi meninggalkan Aceh, tokoh pejuang mulai menyadari bahwa Habib hanya seorang pengkhianat yang memanfaatkan jubah agama untuk kepentingannya sendiri. Mereka kembali merapatkan barisan melawan Belanda yang membuat van Der Heijden kembali mendapatkan perintah untuk menyerang secara total kawasan Aceh Besar.
Serangan dilakukan pada Maret 1879 dari Montasik menuju hulu sungai Kruen Aceh. Pada 1 April 1879, kawasan Indrapuri berhasil ditaklukkan. Belanda turut menghancurkan rumah Panglima Polem di Gle Yueng pada 9 Juni 1879. Memasuki bulan Juli, Heijden mengalahkan Sagi XXVI Mukim di tepi barat Krueng Aceh dan menaklukkan Seulimum pada 18 Agustus 1879.
Serangan yang dilakukan Heijden tidak hanya melumpuhkan markas para pejuang, namun Jenderal Belanda ini turut membumihanguskan 500 desa sepanjang bulan September. Dia mendirikan 23 pos militer dan melakukan patroli rutin sepanjang desa yang ditaklukkan.[]
Referensi: Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki karya Harry Kawilarang.
No comments:
Post a Comment