Saturday, December 28, 2013

Beaulieu: There are great plenties but...



ORANG Aceh dikenal angkuh dan enggan menjadi petani kendati alam Aceh begitu subur sehingga ribuan hektar tanah terbengkalai begitu saja. Setidaknya inilah yang dicatat oleh Beaulieu, seorang pelayar dari Prancis yang datang ke Aceh seperti yang ditulis oleh Denys Lombard dalam bukunya Kerajaan Aceh; Zaman Sultan Iskandar Muda.

“Tanahnya baik sekali, dapat menghasilkan segala macam padi-padian dan buah-buahan, ada rerumputan yang bagus sekali, tempat merumput banyak kerbau yang dipakai mengolah (membajak) tanah, menarik bajak dan muatan,” kata Beaulieu.

Masih dalam catatan Denys Lombard, Beaulieu mengatakan di Aceh biri-biri (domba) tidak begitu cocok hidup di alam Aceh namun sangat bagus untuk sapi, kuda serta unggas. Pelaut-pelaut berjiwa petani yang datang dari Benua Eropa kesal melihat tanah itu tidak digarap. “Yang mereka tanam hanyalah padi… dan hanya sedikit sayuran…”

Friday, December 27, 2013

Homen Cavaleiro Aceh

”Mada ada ngantarai daripada dua raja itu suatu sungai, setengah kepada raja Makota Alam, setengah kepada raja Dar ul-Kamal.” Begitulah Hikayat Aceh menggambarkan awal mulanya pembentukan Kerajaan Aceh.

Kedua penguasa pemukiman--Meukuta Alam dan Darul Kamal--tersebut mengawinkan anak mereka sebagai tonggak dasar penggabungan wilayah. Hal ini berbuah pada perluasan kedua wilayah yang kemudian dipimpin oleh seorang raja dari Makota Alam. Dua wilayah yang bergabung ini, kemudian dinamakan dengan Aceh Darussalam.

Meskipun begitu, kedua penduduk pemukiman ini masih belum dipastikan asal daerah mereka sebenarnya. Karena, berdasarkan kesaksian Snouch Hougronje, ia pernah mendengar seorang ulama kharismatik Aceh, Teungku Kutakarang yang menyebutkan Aceh lahir dari percampuran orang Arab, Parsi dan Turki. Namun, di Pasai selaku daerah bagian Aceh didapati pada mulanya dihuni oleh orang Bengali yang jumlahnya mayoritas.

Pasai dalam kenangan Ma Huan

MA Huan seorang Muslim dan ahli bahasa-bahasa asing telah membuat catatan yang rapi tentang kesan-kesan perjalanannya ke Pasai saat menyertai lawatan Cheng Ho ke Aceh. Tulisan tersebut berjudul: Ying Yai Sheng-Lan dan telah diterbitkan pada 1416 M. 

Tulisan ini menyebutkan kesan-kesan perjalanan Ma Huan ke 19 negeri dari 1405 hingga 1407. Berikut kesan Ma Huan saat lawatannya ke Pasai:

"Negeri ini terletak di perlintasan yang lebar dari perdagangan menuju ka Barat. Jika kapal bertolak dari Malaka mengambil arah ke barat dan berlayar dengan angin timur yang sedap, sesudah lima hari lima malam akan tiba di suatu kampung, di tepi pantai. Namanya Ta-luman. Berlabuh di sini dan pergi lagi ke tenggara kira-kira tiga mil maka sampailah ke tempat tersebut.

Friday, December 13, 2013

Sejarah Bandar Khalifah


Pusat pemerintahan Aceh Timur di Idi. @Heri Juanda/The Atjeh Times
Aceh Timur terus berbenah menjadi salah satu daerah maju di Aceh dan mengembalikan kejayaan sejarah Bandar Khalifah.

BEBERAPA kendaraan roda empat dan sepeda motor lalu lalang di Jalan Banda Aceh Medan, tepatnya di pusat Kota Peureulak, Sabtu dua pekan lalu. Hari itu, matahari masih tepat berada di atas kepala. The Atjeh Times menyusuri jalan kota Bandar Khalifah tersebut dan menemukan setidaknya ada dua warung kopi yang menyediakan fasilitas wifi.

“Beginilah Peureulak, tidak kolot dan sudah ada (warung kopi) wifi seperti di Banda Aceh,” ujar Faisal Zakaria, salah satu pemuda Aceh Timur kepada The Atjeh Times.

Menurutnya, kondisi Peureulak sebagai salah satu kota di Aceh Timur kian bangkit meski pun perlahan. Kota tersebut tidak kalah dalam segi pembangunan dibandingkan Idi yang menjadi pusat pemerintahan Aceh Timur saat ini.

Peureulak merupakan salah satu kota tua di Aceh. Kawasan ini terkenal dengan sejarahnya yang gemilang di Dunia Islam Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Kota ini dikenal dengan sebutan Bandar Khalifah di era kejayaannya dengan pusat pemerintahan berada di Gampong Paya Meuligoe.

Friday, December 6, 2013

Perang Belanda di Aceh

Film Cut Nyak Dhien yang diperankan oleh Christine Hakim
PRAJURIT Kerajaan Aceh Darussalam menenggelamkan setiap kapal berbendera Belanda saat melewati daerah kekuasaannya. Hal ini dilakukan usai negeri Kincir Angin tersebut mengkhianati perjanjian Siak. Peperangan ini berlangsung hingga tiga tahap.

Pada 13 Oktober 1880, setelah berhasil merebut Istana (Dalam-Kraton), Belanda menyatakan perang frontal yang terjadi di Aceh berakhir. Padahal masih banyak pejuang Aceh yang bergerilya saat itu.

Konflik antar negara ini mulanya dipicu oleh sikap Belanda saat menduduki Siak akibat perjanjian yang ditandatangani pada 1858. Isi perjanjian ini yaitu Sultan Ismail menyerahkan Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda. Padahal daerah-daerah ini sudah berada di bawah kekuasaan Aceh sejak kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.

Cheng Ho; Perekat Aceh-Tionghoa

Peta perjalanan Cheng Ho
CHENG Ho adalah seorang kasim Muslim yang menjadi orang kepercayaan Kaisar Yongle dari Tiongkok (berkuasa tahun 1403-1424), kaisar ketiga dari Dinasti Ming. Nama aslinya adalah Ma He, juga dikenal dengan sebutan Ma Sanbao, berasal dari provinsi Yunnan.

Ketika pasukan Ming menaklukkan Yunnan, Cheng Ho ditangkap dan kemudian dijadikan orang kasim. Ia adalah seorang bersuku Hui, suku bangsa yang secara fisik mirip dengan suku Han, namun beragama Islam.

Dalam Ming Shi (Sejarah Dinasti Ming) tak terdapat banyak keterangan yang menyinggung tentang asal-usul Cheng Ho. Cuma disebutkan bahwa dia berasal dari Provinsi Yunnan, dikenal sebagai kasim (abdi) San Bao.

Catatan Penting Sejarah Aceh

Pembantaian warga Gayo oleh Marsose Belanda. @troppen
SECARA historis disebutkan bahwa Aceh dulunya berbentuk kerajaan, berdaulat, dan tidak tun­duk apalagi takluk di bawah kekuasaan asing.

Beda dengan kini, Aceh hanya menjadi bagian dari se­buah wilayah yang disebut provinsi. Aceh kini adalah Aceh yang takluk pada pemerintahan sentralistik, mes­ki dulu ia sebagai daerah yang berdaulat dengan send­irinya.

Mencermati hasil penelitian Denys Lombard, membu­ka kembali cakrawala masyarakat pembaca terhadap Aceh masa lalu sembari menikmati Aceh masa kini.

Buku setebal 408 halaman itu merupakan disertasi ilmiah Lombard terhadap sejarah Aceh sepanjang za­man Sultan Iskandar Muda. Asumsi awal bahwa Aceh masa Iskandar Muda adalah sebuah kuasa berdaulat dan makmur menjadikan Lombard tertarik mengada­kan penelitian tentang Aceh.

Tonggak Awal Berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam

Peta Kerajaan Aceh tempo dulu
KERAJAAN Aceh lahir dari penggabungan dua buah kota pemukiman besar di Aceh Besar. Hal ini ditulis dalam Hikayat Aceh, halaman 72. Kedua kota pemukiman ini yaitu Meukuta Alam dan Darul Kamal. Kedua kota ini, berdasarkan hikayat tersebut dipisahkan oleh satu aliran sungai.

Mada ada ngantarai daripada dua raja itu suatu sungai. Setengah kepada raja Makota Alam, setengah kepada raja Dar ul-Kamal,” tulis hikayat tersebut.

Kedua penguasa pemukiman selanjutnya mengawinkan anak mereka sebagai tonggak dasar penggabungan wilayah. Perkawinan itu berujung pada perluasan kedua kawasan yang kemudian dipimpin oleh seorang raja dari Meukuta Alam. Dua kerajaan yang bergabung ini kemudian dinamakan dengan Aceh Darussalam. Sayangnya tidak ada catatan sama sekali mengenai tanggal pasti penggabungan dua wilayah ini.

Perjalanan Cinta Cut Meutia di Tengah Genderang Perang

Ilustrasi orang Aceh tempo dulu
“…Dengan gelora berahi seorang wanita yang hangat dan penuh gairah, ia melangkah ke atas ranjang peraduan pengantin, kehangatan dan kegairahan yang lebih berkobar dibandingkan dengan wanita-wanita di mana pun. Dan dengan gelora nafsu seperti itu pulalah ia melangkah ke medan pertempuran untuk bertarung. Ia tidak merasa takut mendampingi suaminya dan mengiringi pasukan-pasukan melakukan pertempuran di mana-mana. Ia keluar-masuk hutan belantara dengan menelan serba aneka kesulitan, kepahitan dan penderitaan. Sementara itu, pasukan-pasukan marsose mengintainya ke mana ia pergi…” tulis Zentgraaf dalam bukunya berjudul Atjeh ‘melukis’ sosok Cut Meutia.

Cut Meutia merupakan putri Teuku Ben Daud yang lahir di tahun 1880, tepat setelah tiga tahun pecah perang antara Kerajaan Aceh melawan Belanda. Dia merupakan keturunan Tok Bineh Blang, seorang bangsawan yang juga ulama dan mempunyai hubungan erat dengan Istana Darud Dunia.

Tengku Fakinah; Panglima Perang dan Ulama Aceh Besar

Ilustrasi
SEPUCUK surat tiba ke dalam genggaman Cut Nyak Dhien. Surat itu ditulis dalam bahasa Aceh yang indah namun sangat menyayat hati dan perasaan Cut Nyak.

Surat itu berasal dari sahabatnya Tengku Fakinah. Dia merupakan Panglima Sukey (Resimen) Fakinah. Resimen ini memiliki empat balang (batalion) yang di dalamnya merupakan kumpulan pendekar-pendekar wanita tangguh. Balang ini tak pernah menyerah melawan Belanda.

Berdasarkan catatan Ali Hasymi dalam bukunya Wanita Aceh menyebutkan penggalan isi surat itu yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

"... Saya harap kepada Cut Nyak agar menyuruh suaminya, Teuku Umar, untuk memerangi wanita-wanita yang telah siap menanti di Kuta Lamdiran (markas Sukey Fakinah), sehingga akan dikatakan orang bahwa dia adalah panglima berani, Johan Pahlawan seperti yang digelarkan oleh musuh kita Belanda..." tulis Tengku Fakinah.

Jejak Istana di Tepi Kuala Naga

KERAJAAN Aceh Darussalam dibangun di atas puing Kerajaan Indra Purba. Keterangan itu diperoleh setelah ditemukannya batu-batu nisan di Gampong Pande, Banda Aceh.

Di antaranya seperti yang terukir di nisan Sultan Firman Syah cucu dari Sultan Johan Syah. Di batu itu dituliskan keterangan bahwa Banda Aceh adalah ibukota Kerajaan Aceh Darussalam yang dibangun pada Jum'at, 1 Ramadhan 601 H atau 22 April 1205. Ibukota Banda Aceh ini dibangun oleh Sultan Johan Syah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Indra Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri.

Keterangan lain mengenai Kesultanan Aceh Darussalam juga dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan milik Sultan Ali Mughayat Syah. Di nisan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yang berada di Kandang XII Banda Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada 7 Agustus 1530.

Istana Darud Dunia Berdasarkan Cerita Penjelajah Eropa

ZAMAN keemasan Aceh di bawah Kesultanan Iskandar Muda bukanlah sebuah dongeng seperti yang disebutkan Snouck Hougronje.
===============================
“The golden age of Acheh in which the mohammedan law prevailed or in wich the Adat Meukuta Alam may be regarded as the fundamental law of the kingdom, belongs to the realm of legend.” ("Masa keemasan Aceh di mana hukum Islam berlaku atau di yang dengan Adat Meukuta Alam bisa dianggap sebagai hukum dasar kerajaan, adalah milik ranah legenda.")

Setidaknya keagungan masa  pemerintahan Iskandar Muda dapat digambarkan oleh Denys Lombard dalam bukunya Kerajaan Aceh. Menurut Lombard, Aceh pada masa itu merupakan sebuah negara dengan sistem perkotaan bukan negara pertanian. Aceh sama halnya dengan negara-negara Asia pada umumnya.

Para Perempuan di Sekeliling Sultan

Ilustrasi Sultanah Sri Ratu Safiatuddin
ATURAN Kerajaan Aceh masa Sultan Iskandar Muda jauh berbeda dengan aturan-aturan yang ada di kerajaan-kerajaan Eropa. Hal ini disampaikan Kapten Jendral Beaulieu, salah satu utusan Raja Louis XIII dari Prancis yang datang ke Aceh pada tahun 1620 M.

Beaulieu merupakan satu-satunya bangsa asing yang berhasil masuk ke dalam istana Darud Dunia dan meneliti banyak hal. Berdasarkan cerita dia dalam buku Kerajaan Aceh karya Denys Lombard menyebutkan, Sultan Aceh memiliki 3.000 perempuan dalam istananya.

Perempuan-perempuan tersebut, merupakan satu-satunya penduduk perempuan yang ada di dalam istana. Tidak ada laki-laki yang boleh masuk jauh lebih dalam istana Kerajaan Aceh.

Wednesday, December 4, 2013

Indatu



Lokasi eskavasi Loyang Mandale. @The Atjeh
Penemuan manusia pra sejarah di situs Loyang Mandale membuka tabir asal mula bangsa Gayo. Inikah indatu bangsa Aceh?


LOYANG Mendale terlihat sepi berada di sisi tebing berbatu. Gua ini berbentuk ceruk yang melengkung ke dalam tebing di kawasan Danau Lut Tawar. Ada beberapa jenis pohon seperti kopi, jambu dan rumpun bambu tumbuh di sana.

Beberapa lubang bekas galian terdapat di dalam gua atau di sisi barat Danau Lut Tawar. Lubang-lubang tersebut dipagari kawat berduri dengan tiang-tiang bambu. Di sinilah ditemukan kerangka pra sejarah yang diduga sebagai nenek moyang orang Gayo. 

Penemuan kerangka pra sejarah tersebut berawal dari penelitian Tim Balai Arkeologi Medan yang dipimpin oleh Ketut Wiradnyana pada 2007 lalu. Survei dilakukan di sejumlah titik yang dianggap memiliki potensi peninggalan sejarah.

Saturday, November 30, 2013

Politik Elizabeth di Aceh

Kekuasaan Sultan Aceh yang menguasai perdagangan lada di Pulau Sumatera akhirnya sampai juga ke telinga pembesar di Kerajaan Inggris. Kabar ini disebarkan oleh John Davis, seorang juru mudi Inggris yang masuk dinas de Houtman bersaudara pada waktu pelayaran Zelandia pertama.

Dikutip dari catatan Sir James Lancaster yang diterbitkan pada tahun 1940 oleh W Foster dalam bukunya Voyages of Sir James Lancaster; mengisahkan Kompeni Hindia Timur Inggris lalu mengirim kapal-kapal ke laut selatan pada 1601 usai mendengar kabar tersebut.

Friday, November 29, 2013

Berdiplomasi dengan Paris



Kerajaan Aceh sejak lama telah menjalin hubungan dengan sejumlah negara luar, seperti Inggris, Prancis, Amerika, Belanda, Turki, China dan beberapa negara di Asia lainnya. Di masa Aceh dipimpin Sultan Iskandar Muda Johan Berdaulat, daerah ini juga mengikat hubungan dengan negara-negara besar Eropa. Satu diantaranya yaitu negara Prancis.

Kerajaan Aceh yang kaya akan hasil bumi, menarik hati pembesar-pembesar atau raja-raja dari Eropa untuk menjalin hubungan diplomatis. Seperti halnya yang dilakukan oleh Raja Louis XIII lewat perantaranya de Beaulieu. Mereka saling mengirimkan surat dan mengikat kerjasama di bidang perdagangan. Sayangnya, surat-surat yang ditujukan Raja Perancis ini raib dan tidak tahu kemana. 

Dalam buku Kerajaan Aceh karya Denys Lombard hanya melampirkan surat balasan dari Sultan Iskandar Muda yang berisi tentang hubungan dagang antara Aceh dan Perancis pada masa itu.

Mengenang Iskandar Muda

Peringatan HAUL Sultan Iskandar Muda
di Banda Aceh. @Heri Juanda
PULUHAN pria memakai baju putih duduk melingkari makam Sultan Iskandar Muda di Gedung Juang, Banda Aceh, Kamis 27 Desember 2012 lalu.  Beberapa diantaranya memakai baju kemeja berwarna sembarang. Mereka terlihat kusyuk merapal kalam ilahi melalui samadiyah memperingati Haul Sultan Iskandar Muda ke 367.

Samadiyah tersebut dimulai dan dipimpin oleh Teungku Muhammad Rizal dari Pesantren Ulee Titi Lambaro pada pukul 10.35 WIB. Terlihat diantara peserta samadiyah ini Tuanku Raja Yusuf keturunan dari Sultan Alaidin Dawwood Syah, Raja Ubit Ashabul Yamin Panglima Polem dari generasi Raja Pakeh, Said Muslem al Bahsin cucu dari Mufti Kerajaan Aceh. Selain itu juga ada perwakilan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh serta Disbudpar Kota Banda Aceh.

Tuesday, November 5, 2013

Berziarah ke Makam Pocut Baren

Jaraknya sekitar dua jam perjalanan jika ditempuh dari Meulaboh. Tak ada petunjuk jalan maupun penjaga makam yang bisa menceritakan sejarah Pocut.
=====================================================
Makam Pocut Baren di Desa Tungkop,
Sungai Mas Aceh Barat. @Darmansyah
KOMPLEK makam seluas 500 meter bujur sangkar itu dipagari besi. Letaknya di atas gunung di kawasan Desa Tungkop Kecamatan Sungai Mas, Aceh Barat. Tepat di depan pintu masuk komplek tertulis: Makam Pahlawan Pocut Baren.

Kawasan komplek makam ini ditumbuhi pepohonan yang rimbun. Saat The Atjeh Times berkunjung pada Kamis 15 Agustus 2013 lalu, suasana sekitar komplek makam terasa sejuk dan mampu melepaskan penat selama perjalanan ke lokasi.

Monday, October 21, 2013

Hindu, Bollywood dan Atjeh



MASYARAKAT Aceh di era 90-an sangat menggemari lagu dan film-film Bolywood. Di masa itu, hanya satu televisi swasta yang melebarkan sayapnya hingga ke provinsi paling ujung Sumatera tersebut. Tak jarang tarian dan nyanyian Amithabachan atau Sahruk Khan yang menjadi unggulan acara setiap harinya menggema di seantero kampung. Tarian-tarian serta lagu-lagu India bersenandung dengan riuhnya salak senjata di Aceh masa darurat militer.

Tentu hal tersebut menjadi daya tarik saya untuk mengkaji ada hubungan kekerabatan apa antara orang-orang Aceh dengan salah satu negeri di Asia Selatan. Apalagi saat itu demam Bolywood tidak hanya menjangkiti masyarakat pedesaan, bahkan warga Kota Banda Aceh, Lhokseumawe dan Sabang sebagai tiga kota besar di Aceh.

Thursday, October 17, 2013

Atjeh dalam riwayat Dinasti Ming

DINASTI Ming di China mempunyai catatan khusus tentang politik dan perkembangan Kerajaan Aceh. Catatan tersebut disusun sedemikian rupa dalam buku Mingshi Bab 325 atau bab keenam yang membicarakan negeri-negeri asing.

Dalam buku tersebut, disebutkan sebuah kerajaan bernama Su-men-da-la, yaitu pelabuhan dagang Samudra yang ada di ujung utara Pulau Sumatra.

Paruh pertama catatan itu menceritakan hampir seluruhnya kunjungan armada sida-sida Zheng He ke Su-men-da-la di awal abad ke 15. Selama setengah abad lebih sering terjalin hubungan antara kedua kerajaan ini.