Monday, October 21, 2013

Hindu, Bollywood dan Atjeh



MASYARAKAT Aceh di era 90-an sangat menggemari lagu dan film-film Bolywood. Di masa itu, hanya satu televisi swasta yang melebarkan sayapnya hingga ke provinsi paling ujung Sumatera tersebut. Tak jarang tarian dan nyanyian Amithabachan atau Sahruk Khan yang menjadi unggulan acara setiap harinya menggema di seantero kampung. Tarian-tarian serta lagu-lagu India bersenandung dengan riuhnya salak senjata di Aceh masa darurat militer.

Tentu hal tersebut menjadi daya tarik saya untuk mengkaji ada hubungan kekerabatan apa antara orang-orang Aceh dengan salah satu negeri di Asia Selatan. Apalagi saat itu demam Bolywood tidak hanya menjangkiti masyarakat pedesaan, bahkan warga Kota Banda Aceh, Lhokseumawe dan Sabang sebagai tiga kota besar di Aceh.

Thursday, October 17, 2013

Atjeh dalam riwayat Dinasti Ming

DINASTI Ming di China mempunyai catatan khusus tentang politik dan perkembangan Kerajaan Aceh. Catatan tersebut disusun sedemikian rupa dalam buku Mingshi Bab 325 atau bab keenam yang membicarakan negeri-negeri asing.

Dalam buku tersebut, disebutkan sebuah kerajaan bernama Su-men-da-la, yaitu pelabuhan dagang Samudra yang ada di ujung utara Pulau Sumatra.

Paruh pertama catatan itu menceritakan hampir seluruhnya kunjungan armada sida-sida Zheng He ke Su-men-da-la di awal abad ke 15. Selama setengah abad lebih sering terjalin hubungan antara kedua kerajaan ini.

Monday, September 2, 2013

Sejarah Imperium Turki di Aceh

Komplek kuburan Turki di Bitay
Banda Aceh. @boynashruddinagus.blogspot.com
Perkampungan Bitai disebut berasal dari kata Baital Maqdis atau Yerussalem di Palestina. Sebuah perkampungan Turki di Aceh yang berdiri sejak era awal Kerajaan Aceh Darussalam.

SEBUAH gapura dari tiang besi bertuliskan selamat datang di pemukiman Bulan Sabit Merah, Bitai-Emperom berdiri kokoh di atas badan jalan berukuran 3 meter. Saat The Atjeh Times berkunjung Senin pekan lalu, suasana gampong tersebut terlihat lengang. Sementara di kiri dan kanan jalan terlihat beberapa rumah yang dihiasi lambang bulan sabit berwarna dasar merah di bumbungan atap bangunan.

Sunday, September 1, 2013

Saat Banda Aceh Disebut Kuta Radja



Simpang Lima Banda Aceh. @inbandaaceh.com
PEPERANGAN antara Kerajaan Belanda dengan Kerajaan Aceh menorehkan luka lama. Apalagi saat Belanda berhasil membakar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh dan merebut ibukota kerajaan, Banda Aceh. Peperangan ini berlangsung hingga puluhan tahun.

Meski Dalam (keraton) berhasil direbut Belanda, perjuangan rakyat Aceh belum selesai. Sultan Muhammad III Daud Syah Johan berdaulat terpaksa mengungsi. Dia mangkat akibat penyakit kolera yang mewabah saat perang terjadi. Pucuk pimpinan perang Aceh berada di tangan Panglima Polem. Peperangan terus berlangsung dengan taktik gerilya (hit and run).

Menilik Sejarah Banda Aceh



Masa pemerintahan Sultan Alaidin Mahmud Syah, istana Kerajaan Aceh dibangun ulang di seberang Kuala Naga (Krueng Aceh) dengan nama Kuta Dalam Darud Dunia.

TUGU dengan tinggi sebatas pinggang ini berdiri kokoh. Di atasnya sebuah plat dari besi putih bertulis sebuah kalimat dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Aceh, Indonesia, dan Inggris. Tak ada keterangan tahun pembangunan tugu dan siapa yang membangunnya. Namun dari kondisinya, bangunan ini hanya berusia beberapa tahun saja. Masih terhitung bangunan baru.

Terbaca kalimat dalam bahasa Indonesia; “Di sini cikal bakal kota Banda Aceh tempat awal mula Kerajaan Aceh Darussalam di dirikan oleh Sultan Johansyah pada 1 Ramadhan 601 H (22 April 1205 M).”

Saturday, August 31, 2013

Riwayat Dagang Aceh Suatu Masa

ACEH memiliki posisi strategis di jalur perdagangan dunia sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam. Ribuan pedagang dari berbagai negara berdatangan ke Aceh yang dikenal kaya akan hasil alamnya. Mulai dari bangsa-bangsa Asia, Eropa bahkan Amerika mengetahui Kerajaan Aceh pada era kejayaannya. 

Pedagang-pedagang ini terus “mengerubungi” hasil alam Aceh melalui perdagangan yang saling menguntungkan, hingga niat ingin menguasai hasil bumi daerah ini secara keseluruhan.

Tuesday, August 13, 2013

Amuk api wujudiyah di pusat kota Aceh

BANYAK yang mempertanyakan semegah apa Darud Dunia selaku pusat Kerajaan Aceh Darussalam di masa kejayaannya.

Sejarah Aceh pun menjadi buram dengan minimnya bukti-bukti dan pondasi istana. Sangat rumit membayangkan bagaimana bentuk pusat kekuasaan Kerajaan Aceh seperti yang diceritakan pengelana dari Perancis Beaulieu di abad ke 16 tentang istana Darud Dunia.

Hal tersebut bisa dimaklumi apalagi sejak Belanda mengeluarkan maklumat perang kepada Kerajaan Aceh pada 26 Maret 1873. Peperangan tersebut berlangsung hingga 70 tahun lamanya yang merenggut korban teramat banyak dari kedua belah pihak.

Berakhirnya kekuasaan Sultanah

ROMBONGAN utusan Syarif Mekkah tiba di Aceh tahun 1092 Hijriyah atau 1681 Masehi. Didominasi pedagang, mereka mengikat kerjasama dan menyatakan ketertarikan dengan kehidupan di Banda Aceh kepada Sultan Zakiatuddin. Diantara utusan Syarif Mekkah ini terdapat Syarih Hasyim dan Syarif Ibrahim yang memilih tinggal di Aceh saat yang lainnya kembali ke Arab tahun 1094 Hijriyah atau 1683 Masehi.

Ali Hasjmy dalam bukunya Wanita Aceh; Negarawan dan Panglima Perang menukilkan peran dua syarif ini dalam dunia perpolitikan Aceh. Kedua bersaudara dari Mekkah ini menetap di Aceh saat Seri Ratu Zakiatuddin memimpin Aceh. Namun kepemimpinan sultanah ini tidak lama. Tepat tanggal 8 Zulhijjah 1098 H atau bertepatan dengan 3 Oktober 1688 Masehi, Ratu Zakiatuddin mangkat. Dia digantikan Seri Ratu Kamalatuddin Syah atau kerap dikenal Ratu Kamalat.

Monday, August 12, 2013

Meurah Pupok dan Ketegasan Iskandar Muda

SULTAN Iskandar Muda bergelar Tun Pangkat Darma Wangsa sangat getol menjalankan Syariat Islam di Aceh. Pada masanya memerintah, ratusan masjid didirikan di daerah dan meunasah merata di setiap gampong.

Seperti dituliskan dalam Kitab Bustanussalatin karangan Nuruddin Ar-Ranirry, raja Aceh tersebut selalu menganjurkan seluruh rakyatnya untuk menjalankan syariat secara kaffah. Hukum kerajaan juga didasarkan kepada Alquran dan Hadist. Sehingga seluruh elemen masyarakat pada masa itu enggan melanggar syariat yang telah ditetapkan.

Friday, July 26, 2013

Anggur Nasi Sultan Aceh

ADAT istiadat Aceh dalam memuliakan tamu sudah dilakoni sejak masa kerajaan dulu. Seperti halnya tata cara Sultan Iskandar Muda menyambut tamu dari luar negeri yang kerap mengunjungi Aceh pada masa itu.
Berdasarkan catatan orang-orang Eropa, Kerajaan Aceh seringkali mengadakan acara yang panjang lebar untuk penyambutan tamu.

Meski tamu tersebut hanya berkunjung ke Aceh tanpa tujuan lain. Acara penyambutan tamu ini merupakan pengalaman besar bagi para pelaut Eropa yang tak bisa dilupakan. Upacara itu setiap kali berlangsung menurut urutan yang sama seperti diungkap Lancaster, Beaulieu dan buku Adat Atjeh.

Thursday, July 25, 2013

Komite PKI Aceh pada sebuah masa

Keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Aceh medio 1960-an silam, nyaris tak berbekas dalam literatur dan ingatan masyarakat Aceh.

Hal ini disebabkan banyak konflik-konflik lain di Serambi Mekkah yang menenggelamkan cerita para komunis di Aceh tersebut. Seperti halnya peperangan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, Perang Cumbok hingga konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Padahal, jika ditelusuri lembaran sejarah di Aceh, PKI juga pernah eksis dan berkembang hingga mempunyai basis organisasi yang kuat. Saat ini, sejarah PKI di Aceh hanya terdengar dari mulut ke mulut orang tua di pelosok-pelosok Aceh.

Wednesday, July 24, 2013

Bendera Aceh Dalam Catatan Sejarah

Rancangan Qanun Aceh mengenai Bendera Aceh menimbulkan silang pendapat setelah DPRA merilis bendera yang akan dijadikan sebagai salah satu identitas Aceh, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Gedung AAC Dayan Dawood, Darussalam, Banda Aceh, Senin 19 November 2012.

Berdasarkan usulan eksekutif, bendera Aceh yang akan dipakai sebagai bendera daerah adalah bendera Bulan Bintang strip hitam putih dengan latar belakang berwarna merah.

Mercure Francais; Kala Malaka dikepung Armada Laut Aceh

Sebuah jurnal Prancis yang terbit sejak tahun 1605 pernah mencatat kegagahan armada laut Kerajaan Aceh kala mengepung Malaka. Raja Malaka bahkan harus meminta pertolongan bangsa Eropa untuk menghalau serangan 300 kapal layar dan 30 galias bangsa Aceh.

Saat itu jurnal yang kerap mengulas strategi militer di Eropa atau kehidupan-kehidupan istana ini dipimpin oleh Jean Richer (1635) yang kemudian diganti Theophraste Renaudot (1644).

Jurnal berbahasa Prancis ini menceritakan kisah pengepungan ini lewat artikelnya berjudul : Siege de Malaca par les Dachinois (Pengepungan Malaka oleh orang Aceh) tahun 1629 hingga 1630. Berikut kisah pengepungan ini dinukilkan Denys Lombard dalam bukunya Kerajaan Aceh; Zaman Sultan Iskandar Muda :