Showing posts with label Sejarah Aceh. Show all posts
Showing posts with label Sejarah Aceh. Show all posts

Friday, March 20, 2015

Peranan Besar HM Zainuddin dalam Penulisan Sejarah Aceh



HM Zainuddin bukan saja seorang penulis buku sejarah tapi juga seorang sastrawan. Karyanya yang begitu monumental adalah roman berjudul Jeumpa Aceh yang sempat dicetak dalam bahasa Sunda dan sangat laris di pasaran pada masanya.

Demikian disampaikan Budayawan Aceh Nab Bahany AS saat menjadi salah satu narasumber di diskusi perdana Masyarakat Pecinta Sejarah Aceh (Mapesa), yang dilaksanakan di aula BNPB Banda Aceh, Sabtu, 14 Februari 2015.

"Beliau termasuk penulis di Balai Pustaka seangkatan dengan Marah Rusli, pencipta roman Siti Nurbaya," kata Nab Bahany.

Selain itu, Nab Bahany juga mengungkap ada dua buku sejarah milik HM Zainuddin yang belum sempat dicetak karena dibawa banjir. Dua buku tersebut adalah Tarich Aceh dan Nusantara jilid II dan buku Sastra Aceh Sepanjang Masa.

Riwayat Tuan Dikandang di Gampong Pande



WARGA Gampong Pande, Banda Aceh menggelar Haul Tuan Dikandang ke 859 di Kompleks Makam Tuan Dikandang desa setempat, Sabtu, 14 Februari 2015. Kegiatan ini dilaksanakan pukul 12.00 Wib dan dihadiri oleh sejumlah keturunan raja-raja Aceh.

"Ini Haul perdana Tuan Dikandang yang kita gelar. Kegiatan ini murni inisiatif tokoh-tokoh masyarakat Gampong Pande dengan tujuan untuk mengenang kembali kebesaran ulama Tuan Dikandang," ujar Said Zulkarnain Alaydrus, Ketua Panitia Pelaksana Haul Tuan Dikandang kepada ATJEHPOST.co.

Said Zulkarnain mengatakan Tuan Dikandang merupakan ulama besar yang datang dari Baghdad bersama 500 pengawalnya. Sebelum bertandang ke Aceh, Tuan Dikandang yang memiliki nama lengkap Al Makdum Abi Abdullah Syekh Abdurrauf Al Mulakab Tuan Dikandang ini singgah di India selama setahun.

11 Februari 1899: Teuku Umar Tewas di Ujong Kala



"Beungoh singoh geutanyoe jep kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid (Besok pagi kita akan minum kopi di Meulaboh atau aku akan gugur)."

Kalimat itu tertulis di tugu Teuku Umar Meulaboh, diyakini sebagai kalimat terakhir yang diucapkannya sebelum akhirnya tewas di tangan Garnizun Belanda pada 11 Februari 1899, 26 tahun setelah perang Aceh-Belanda dimulai sejak Maret 1873.

Teuku Umar lahir sekitar tahun 1854. Ayahnya adalah Teuku Mahmud dan ibunya seorang adik raja Meulaboh. Leluhur Umar merupakan perantau dari Minangkabau yang datang ke Aceh pada abad 17.

Gelar Teuku diperoleh dari kakek Umar yang bernama Nanta Cih sebagai penghargaan atas jasanya membantu Sultan Alaiddin Syah dalam pertentangannya dengan Panglima Polim dan Sagi XXII. Dengan bantuan Nanta Cih itu Sultan mendapat kemenangan dan Nanta Cih diberi gelar Teuku yang diwariskan kepada anak-anak dan cucu-cucunya, antara lain Teuku Umar.

6 Februari 1939; Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah Mangkat di Pengasingan


ACEH Lamuri Foundation (ALIF) akan menggelar Haul Sultanah Kamalat Syah dan Sultan Alaiddin Muhammad Dawod Syah pada Minggu, 8 Februari 2015. Kegiatan yang digagas bersama lembaga Sejarah Indatu Lamuria Aceh (SILA), Pamong/Penyuluh Budaya dan Duta Museum Aceh ini dilaksanakan di Museum Rumoh Aceh, sekitar pukul 09.30 Wib.

“Sultanah Kamalat Syah merupakan pengganti Sultanah Zaqiatuddin Inayat Syah. Dia bertahta pada 1688,” ujar Ketua Alif, Mawardi Usman, kepada ATJEHPOST.co.

Ada dua versi tentang asal-usul Sultan Kamalat Syah. Pertama, Kamalat Syah adalah putri Raja Umar bin Sutan Muda Muhammad Muhidudin sekaligus adik angkat dari Sultanah Zaqiatuddin Inayat Syah. Kedua adalah anak angkat Ratu Sultanah Safiatuddin Syah.

Ia mengatakan di masa kepemimpinan Sultan Kamalat Syah banyak mendapatkan kunjungan dari Persatuan Dagang Perancis dan serikat dagang Inggris, dan East Indian Company.

5 Februari 1641; Mangkatnya Sultan Iskandar Tsani



SULTAN Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah merupakan Sultan Aceh ketiga belas. Dia merupakan sultan pengganti setelah Iskandar Muda berkuasa.

Jika melihat dari silsilah keluarganya, Sultan Iskandar Tsani adalah putera dari Sultan Pahang, Ahmad Syah. Dia dibawa ke Aceh oleh Iskandar Muda saat Pahang berada di bawah bendera Kerajaan Aceh Darussalam pada 1617.

Setelah dewasa, Sultan Iskandar Tsani menikah dengan puteri tertua Sultan Iskandar Muda, yang kelak bergelar Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin. Iskandar Tsani kemudian dipercaya menggantikan kedudukan Sultan Iskandar Muda, saat sultan mangkat pada 16 Desember 1636.

Tuesday, March 10, 2015

Benteng Batee Iliek dan Pertempuran Terakhir Teungku Cik Pante Geulima

TEUNGKU Cik Pante Geulima Syekh Ismail bin Yakub tanpa komando dari Kerajaan Aceh Darussalam langsung membentuk pelatihan belanegara sebelum Belanda mengeluarkan ultimatum pada 26 Maret 1873. Dayah Pante Geulima yang telah memiliki hampir seribu santri langsung berubah menjadi kamp pelatihan militer. Setelah peperangan meletus antara Kerajaan Aceh Darussalam dengan Belanda, Teungku Cik Pante Geulima bersama satu balang (batalion) sekitar seribu orang, berangkat ke Aceh Besar untuk mempertahankan Krueng Daroy. Di sana, ia mendirikan kuta reuntang dengan tujuh buah kubu yang sambng menyambung, dengan kubu induk bernama Kuta Bu. (Baca: Teungku Cik Pante Geulima; Panglima Perang di Kuta Reuntang). 

Meskipun ibu kota Kerajaan Aceh Darussalam dapat direbut musuh, tapi keberadaan Teungku Cik Pante Geulima di kuta reuntang kerap merepotkan Belanda. Kuta reuntang sama sekali tidak bisa ditembus Belanda selama di bawah kepemimpinan Teungku Cik Pante Geulima. Setelah 3,5 bulan memimpin daerah Krueng Daroy akhirnya Teungku Cik Pante Geulima ditarik kembali ke Pidie oleh Laksamana Teuku Raja Muda Cut Latif. Ia kemudian diutus ke Tanah Batak dan Karo untuk melakukan diplomasi politik dengan raja-raja setempat termasuk dengan Sisingamangaraja XII. (Baca: Peranan Teungku Cik Pante Geulima di Daerah Sisingamangaraja). 

Peranan Teungku Cik Pante Geulima di Daerah Sisingamangaraja

SEJAK Belanda mengganggu kedaulatan Kerajaan Aceh Darussalam, pimpinan Dayah Cik Pante Geulima, Syekh Ismail bin Yakub ikut memperkuat barisan militer di Aceh Besar. Ia dipercaya sebagai panglima perang kuta reuntang di Daerah Krueng Daroy selama 3,5 tahun. Keberadaannya di daerah tersebut terus mengancam posisi Belanda yang telah menguasai ibu kota. (Baca: Teungku Cik Pante Geulima; Panglima Perang di Kuta Reuntang

Pihak Kerajaan Aceh Darussalam telah memperkirakan peperangan menghadapi Belanda akan berlangsung lama. Karenanya, Teungku Cik Pante Geulima Syekh Ismail bin Yakub mendapat mandat mengunjungi Tanah Batak dan Tanah Karo untuk perlawanan menghadapi Belanda. Tugas tersebut dilaksanakan Syekh Ismail dengan mengikutsertakan 400 pasukannya ke wilayah Batak Karo. Di dalam pasukan tersebut terdapat ulama, juru dakwah, dan ahli peperangan. Setiba di wilayah Batak dan Karo, Syekh Ismail bin Yakub mengadakan kontak dengan pemimpin-pemimpin setempat. Salah satunya dengan Pahlawan Batak, Sisingamangaraja XII.

Teungku Cik Pante Geulima; Panglima Perang di Kuta Reuntang

DIA merupakan salah satu pejuang yang berjasa dalam perang di benteng Aceh, Kuta Batee Iliek melawan Belanda. Namanya terkenal pada masa perang kolonial, tapi terlupakan dalam catatan sejarah kepahlawanan Indonesia.

“Jenderal K. Van der Heijden, panglima agresor, yang dipaksa atasannya memimpin penyerbuan terhadap benteng Aceh, Kuta Batee Iliek, harus menyerahkan matanya kepada pelor pahlawan-pahlawan Aceh hatta buta, namun Kuta Batee Iliek, salah satu benteng Aceh yang hebat tidak dapat direbutnya. Sehingga dia dicopot dari jabatannya dan diserahkan kepada Jenderal Mayor YB van Heutsz. Salah seorang di antara pahlawan Kuta Batee Iliek yang terkenal adalah Tengku Haji Ismail bin Yakub,” tulis Ali Hasjmy dalam bukunya: Ulama Aceh, Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangun Tamaddun Bangsa.

Haji Ismail bin Yakub merupakan anak Teungku Cik Pante Geulima Yakub. Garis keturunannya yang panjang bermuara kepada Sultan Aceh Saiyiddil Mukamil.

Ali Hasjmy merunut silsilah Haji Teungku Haji Ismail bin Teungku Cik Pante Geulima Yakub bin Teungku di Bale Abdurrahman bin Teungku Muhammad Said bin Teungku Darah Puteh bin Teungku Tok Setia bin Teungku Yakub bin Meurah Puteh bin Meurah Abdullah bin Saiyiddil Mukammil. Leluhur Haji Ismail, yang memiliki nama sama dengan ayahnya, Yakub, memilih jalan berbeda seperti ayah dan kakeknya yang bergelar Meurah. Ia lebih mencintai pendidikan daripada kekuasaan yang kemudian mendirikan Dayah Pante Geulima. Sejak itu semua leluhur Ismail yang memimpin dayah dikenal sebagai Teungku Cik Pante Geulima. Ismail lahir di Pante Geulima, Meureudu, sekitar tahun 1838 atau 1253/1254 Hijriah.

Teuku Umar Berbalik Arah Melawan Belanda karena Kecewa?

TANTANGAN perang dari Teungku Fakinah, pemimpin sukey (resimen) perempuan Kerajaan Aceh Darussalam bukan satu-satunya alasan Teuku Umar kembali melawan Belanda. Setelah pengkhianatannya terhadap kerajaan, Umar yang diberi julukan Johan Pahlawan dan mendapat kedudukan sebagai panglima besar oleh Belanda tersebut ternyata memendam rasa kecewa. Adalah H Mohammad Said yang mencatat kekecewaan Teuku Umar tersebut dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad jilid II.

Monday, March 9, 2015

Meninggalnya Cut Nyak di Pengasingan

Ilustrasi film Cut Nyak Dhien yang diperankan Christine Hakim
KAMAR tersebut berukuran 3x5 meter sementara ranjangnya berukuran 2x2 meter. Di kamar inilah Cut Nyak Dhien, srikandi asal Aceh tersebut melewati masa tuanya. Rumah ini terletak di jalan P. Suriaatmaja, Sumedang, Jawa Barat tepatnya di belakang Masjid Agung Sumedang. Dulu rumah tersebut menjadi tempat warga belajar mengaji pada Ibu Perbu--julukan Cut Nyak Dhien oleh warga Sumedang. Rumah ini lantas direhab pada 1979 dengan ukuran 12x14 meter dan tinggi 1 meter.

Saat Cut Nyak Dhien diasingkan dari tanah kelahirannya, Aceh, ke Sumedang, penguasa daerah saat itu berada di tangan Pangeran Aria Suriaatmaja. Kondisi Cut Nyak yang telah renta membuat Pangeran menugaskan seorang ulama Masjid Agung Sumedang, KH Sanusi, merawat istri Teungku Ibrahim Lamnga dan Teuku Umar tersebut. Namun saat itu rumah KH Sanusi sedang diperbaiki dan untuk sementara waktu Cut Nyak Dhien dititipkan selama tiga minggu di rumah H. Ilyas.

Setelah rumah KH Sanusi diperbaiki, baru dibawa kembali ke rumah KH Sanusi. Cut Nyak berada di bawah perawatan KH Sanusi selama setahun karena ulama Masjid Agung tersebut meninggal. Selanjutnya, anak KH Sanusi, H Husna, meneruskan perawatan Cut Nyak Dhien hingga pahlawan asal Aceh itu meninggal dunia pada 6 November 1908. Ibu Perbu lantas dimakamkan di kompleks makam keluarga H Husna, di Gunung Puyuh, Desa Sukajaya, Sumedang Selatan.

Friday, March 6, 2015

Saat Habib Abdurrahman Menyerah pada Belanda

BELANDA terus menerus mengirimkan serdadunya dalam skala besar untuk menumbangkan kedaulatan Kerajaan Aceh Darussalam. Keberhasilan Belanda merebut Darud Dunia tidak serta merta membuat Aceh takluk. Banyak perlawanan terus bergelora di Aceh Besar, Pedir, Pasai, Daya, dan Meulaboh.

Van Der Heijden memperluas wilayahnya dengan menyerbu Seuneulop, Aneuk Bate, markas Panglima Polem di Aneuk Galong dan terakhir markas Habib Abdurrahman di Montasik.

"Walaupun Montasik jatuh, perlawanan diteruskan. Dalam mempertahankan tempat-tempat mereka pihak Aceh tidak mundur begitu saja walaupun menghadapi kekuatan jauh lebih besar," tulis Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad.

Sunday, October 26, 2014

Menyibak Ranah Legenda di Ujung Sumatera

"The golden age of Acheh in which the mohammedan law prevailed or in wich the Adat Meukuta Alam may be regarded as the fundamental law of the kingdom, belongs to the realm of legend." (Masa keemasan Aceh, hukum Islam berlaku atau disebut dengan Adat Meukuta Alam. Hukum ini mungkin dianggap sebagai hukum dasar kerajaan, milik ranah legenda).

Begitulah peneliti Belanda Snouck Hougronje menyebut tentang era Kerajaan Aceh dalam bukunya The Achehnese yang versi terjemahannya terbit pada 1906. Namun, pernyataan Snouck terbantah oleh sebuah penelitian yang dilakukan peneliti Perancis Denys Lombard berjudul Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Lahir di Perancis pada 1938, Lombard sudah lama memendam rasa penasaran akan nama besar Sultan Iskandar Muda. Pada 1967, setelah menelusuri sejumlah catatan sejarah tentang Aceh dan Iskandar Muda, ia menyelesaikan penelitiannya. Lombard menyelisik sejumlah dokumen, buku-buku lawas, hingga manuskrip yang tersimpan di sejumlah museum di luar negeri.

Sunday, October 12, 2014

2 Oktober 1925; Ajaran Ahmadiyah Masuk ke Aceh Selatan

Masjid Ahmadiyah di Lahore. @tropenmuseum.com
ALIRAN Ahmadiyah pernah berkembang di Aceh masa kolonialisme Belanda. Saat itu, aliran yang dikembangkan Mirza Ghulam Ahmad tersebut dibawa oleh juru dakwah Ahmadiyah, Maulana Rahmat Ali atau kerap disapa Tuan Rahmat Ali.

Pria ini merupakan sahabat dekat petinggi Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad. Ia lahir di Rabwah, Pakistan, pada tahun 1893. Tuan Rahmat Ali merupakan "mubalig" pertama Ahmadiyah yang diutus ke Indonesia dari Qadian.

Ia dikenal sebagai 'Sang Penabur Benih Ahmadiyah' di Indonesia. Pria ini merupakan lulusan pertama dari Madrasah Ahmadiyah di Qadian pada 1917. Ia kemudian menjadi guru Bahasa Arab dan Agama pada Ta'limul Islam High School (setingkat SMA) di Qadian.

Tuan Rahmat Ali kemudian dipindahkan ke Departemen Pertabligan (Nazarat Da'wat-o-Tabligh) pada 1924. Setahun kemudian pria ini dikirim ke Indonesia menjadi "mubalig" hingga April 1950.

27 September 1954; Hasan Tiro Ditahan Imigrasi New York

Hasan Tiro
SIKAP keras yang ditunjukkan Hasan Tiro menyikapi tindakan kabinet Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo terhadap Darul Islam di Aceh harus dibayar mahal. Ultimatum yang dikirimkan Hasan Tiro melalui sepucuk surat di berbagai surat kabar, dari New York hingga Indonesia telah mengguncang perpolitikan Indonesia. Ia pun kehilangan kewarganegaraannya.

Hasan Tiro, yang oleh Wakil Perdana Menteri Sjafruddin Prawiranegara disebut sebagai "pemuda yang pendiam tetapi memberi kesan cerdas dan cukup lincah" tiba-tiba mengguncang dunia politik Indonesia pada 1 September 1954. Penyebabnya, tak lain sepucuk surat yang disebarnya di berbagai surat kabar, dari New York hingga Indonesia. Saat itu, Hasan Tiro yang kelahiran 25 September 1925, berusia 29 tahun.

Menantu Teungku Daud Beureueh, M.Nur El Ibrahimy, dalam bukunya Tgk.M.Daud Beureueh, Peranannya dalam Pergolakan di Aceh, menulis satu bab khusus tentang peran diplomasi yang dimainkan Hasan Tiro di Amerika untuk mendukung "Republik Islam Indonesia" yang di Aceh dipelopori Daud Beureueh.

Pang Nanggroe; Watergeus from Aceh

Pejuang Aceh. @Repro Atjeh Galery
PANG Nanggroe yang mengawini janda Chik Tunong, Cut Meutia, telah menasbihkan dirinya untuk syahid melawan Belanda. Sejak keduanya menikah, Belanda kerap dibikin pusing hingga harus mengejarnya ke hutan belantara.

Sejak menggantikan peranan Chik Tunong sebagai suami Cut Meutia, Pang Nanggroe terus menerus melancarkan serangan kepada Belanda. Ia berhasil menyerang kereta api milik Belanda sebanyak dua kali, menembaki kereta api sebanyak lima kali, menyerang bivak Lhoksukon dua kali, dan penyerangan dengan klewang terhadap perwira Belanda sebanyak lima kali. Semua aksinya tersebut berhasil dilakukan dalam rentang waktu tiga bulan.

Ia juga berhasil merusak rel kereta api sebanyak 22 kali dan menyabotase tiang telepon sebagai jalur komunikasi Belanda sebanyak 54 kali, dalam waktu yang sama.

Sejarah Aceh 26 September; Dari Medali Kehormatan Hingga Gugurnya Pahlawan

@atjehgalery/facebook
ACEH memiliki sejarah panjang yang hampir setiap harinya terjadi peristiwa-peristiwa penting terutama di masa-masa peperangan. Setiap kejadian tersebut akhirnya menjadi tolak ukur bagi kemakmuran dan kemajuan Aceh di masa depan.

Berdasarkan penelusuran ATJEHPOST.co, ada beberapa peristiwa yang terjadi bertepatan pada 26 September sejak era kerajaan hingga saat ini. Dari sekian banyak rentetan peristiwa tersebut, ada tiga peristiwa sejarah yang berhasil dirangkum redaksi seperti di bawah ini: 1. Van der Heijden menjadi Mayor Jenderal pada 26 September 1878

Van der Heijden menjadi Mayor Jenderal pada 26 September 1878

Van der Heijden merupakan Gubernur Militer Belanda di Aceh yang bertugas menumpas perlawanan Kerajaan Aceh Darussalam. Salah satu catatan sejarah tulisan H Mohammad Said berjudul Aceh Sepanjang Abad menuliskan Belanda memberikan kehormatan kepada van der Heijden dengan menaikkan pangkat menjadi Mayor Jenderal, pada 26 September 1878.

Genderang Perang Daud Beureueh

Teungku Daud Beureueh menabuh genderang perang saat Pemerintah Indonesia tidak menghargai Aceh sebagai daerah modal. Ribuan warga Aceh pun berbaiat setia kepadanya.

“Kamoe keumeung peubuet buet.”

Inilah kalimat pertama yang disampaikan Ayah Gani saat bertandang ke Jakarta ketika menemui M. Nur El Ibrahimy sebelum meletusnya “Peristiwa Berdarah” di Aceh pada 21 September 1953. Selain Ayah Gani dan M. Nur El Ibrahimy, hadir dalam pertemuan tersebut Ali Muhammad dan Mohammad Amin Basyah. Ayah Gani turut mengajak M. Nur El Ibrahimy untuk ikut mendukung gerakan tersebut.

“Tidak perlu Teungku pulang ke Aceh,” katanya. “Cukup tinggal di Jakarta saja,” kata Ayah Gani.

“Kapan gerakan itu akan dimulai?” tanya M. Nur El Ibrahimy.

“Pokoknya tak lama lagi, sebab rakyat Aceh dewasa ini ibarat buah di pohon yang sudah cukup matang, jika tidak segera dipetik akan kematangan dan akan jatuh sendiri nanti,” ujar Ayah Gani.

“Bagaimana tentang persenjataan, pembiayaan, dan sumber bantuan selanjutnya apalagi jika gerakan itu memakan waktu yang lama?”

Maklumat Daud Beureueh Mendirikan Darul Islam di Aceh

Pasukan Darul Islam. @Repro
TENGKU Muhammad Daud Beureueh geram dengan pemerintahan Soekarno yang tak kunjung memberikan Otonomi Khusus kepada rakyat Aceh untuk menjalankan syariat Islam. Ia juga kesal dengan Jakarta yang sama sekali tidak memperdulikan nasib generasi muda di Aceh yang belum mendapatkan pendidikan layak. Padahal, Aceh adalah daerah modal bagi Indonesia mencapai kemerdekaan setelah agresi Belanda kedua dilancarkan.

Kekesalan Daud Beureueh juga memuncak saat berkembangnya isu PM Ali Sastroamidjojo ingin menghabisi 300 nyawa tokoh-tokoh di Aceh dalam daftar hitam. Akhirnya Gubernur Militer Aceh ini mendeklarasikan daerah tersebut tunduk di bawah pemerintahan Negara Islam Indonesia pimpinan SM Kartosoewirdjo.

Surat Kedua Diplomasi Politik Gubernur Sumatera Utara

SM Amin (tengah). @Repro
Teungku Daud Beureueh mengibarkan bendera perang setelah menganggap Indonesia menghianati Aceh. Ia pun mendeklarasikan gerakan Darul Islam di Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) pimpinan SM Kartosuwirjo.

Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo menyikapi deklarasi Daud Beureueh dengan senjata. Ia mengirimkan serdadu militer ke Tanoh Rencong untuk menumpas pemberontakan yang dianggap membahayakan Indonesia.

Berbagai upaya dan pendekatan dilakukan untuk mengamankan situasi Aceh saat itu secara pribadi oleh Mr. SM. Amin, yang menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara.

Pendekatan Politik Gubernur Sumatera Utara Meredam Konflik Aceh

Warga menyaksikan rumah yang dibakar TNI. @Repro
TENGKU Daud Beureueh memproklamasikan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan Imam Besar Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, 20 September 1953. Berbekal sebagai pemimpin sipil, agama dan militer di Aceh, Daud Beureueh dengan mudah mendapat pengikut. Apalagi Aceh yang sedianya menjadi daerah modal kemerdekaan bagi Indonesia malah dileburkan ke dalam Provinsi Sumatera Utara, tahun 1950.

Meredam pergolakan tersebut, Gubernur Sumatera Utara, Mr SM Amin merayu Tengku Daud Beureueh untuk turun gunung. Berbagai upaya dilakukan petinggi Sumatera Utara tersebut termasuk mengirimkan surat atas nama pribadi kepada komandan tertinggi Darul Islam di Aceh.

Berikut petikan surat pertama Mr. SM. Amin kepada Daud Beureueh seperti dikutip dari buku Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik Mr. SM. Amin karangan AH Gelanggang: