Thursday, June 12, 2014

Mencari Jejak Kitab Tertua di Aceh

KITAB Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak, karangan Abu Ishak Al-Makarani Sulaiman Al-Pasy disebut-sebut sebagai kitab tertua yang pernah diterbitkan di Aceh. Di dalam kitab tersebut ada informasi yang menyebutkan bahwa Kerajaan Islam tertua di nusantara berada di Perlak. Namun banyak sejarawan dan kolektor manuskrip Aceh yang meragukan fakta adanya kitab tersebut. Kenapa?

"Kitab ini berasal dari masa Kerajaan Perlak sebelum Kerajaan Pasee berkembang. Dia terbilang sebagai salah satu kitab tertua di Aceh yang isinya membahas tentang struktur dan tata negara di Peureulak. Tapi bukti keberadaannya hingga sekarang belum ditemukan," ujar Kolektor Manuskrip Aceh, Tarmizi A. Hamid saat dijumpai oleh ATJEHPOSTcom, Selasa malam, 21 Mei 2014.

Kisah Otonomi Pasai dan Majapahit

PRAJURIT Hindu-Majapahit mengepung Samudera Pasai usai mendapat kabar putri yang hendak dinikahkan dengan Tun Abdul Jalil bunuh diri di Laut Jambo Aye. Penyerangan ini mendapatkan perlawanan dari pasukan Sultan Ahmad Permadala Permala. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam yang berakhir dengan kekalahan Pasai.

Sultan Ahmad melarikan diri ke suatu tempat yang jarak dari Pasai menempuh 15 hari perjalanan. Demikian Hikayat Raja-Raja Pasai mengisahkan penyerangan Majapahit terhadap kerajaan Islam di Aceh. Peristiwa ini juga tercatat dalam Kitab Negarakertagama, naskah kuno dari era Majapahit. Disebutkan, peristiwa itu terjadi tak lama setelah Gajah Mada diangkat sebagai Perdana Menteri Majapahit antara 1331 dan 1364.

Melacak Istana Pasai

“Ketika kami sampai di bandar itu, datanglah penduduk yang berada dalam perahu kecil, membawa buah-buahan dan ikan kepada kami di kapal. Bandar itu satu kota besar di pantai laut, dinamakan sarha. Di situ banyak rumah. Antara pantai dan kota itu jaraknya 4 mil.

Setelah itu wakil laksamana yang bernama Bahruz menulis surat kepada sultan memberitahukan kedatangan saya. Sultan menyuruh Amir Daulasah dan Kadi Syarif, Amir Sayid Shirazi, Tajuddin Isfahani dan para ulama lain menjemput saya. Mereka datang dengan membawa beberapa kuda dan kami pun menuju istana, yaitu Kota Sumutrah, satu kota besar yang indah berpagar kayu. Demikian pula rumah-rumahnya berpagar kayu.

Mencari Jejak Aceh di Brunei Darussalam

KESULTANAN Brunei Darussalam beberapa waktu lalu mengumumkan menjadi negara Asia Tenggara pertama yang bakal menerapkan hukum Islam di semua lini. Negara didominasi muslim melayu ini bakal meng-Islamkan pengadilannya. Mendenda dan menghukum penjara atas kejahatan-kejahatan seperti hamil di luar nikah, tidak salat Jumat, dan menyebarkan agama lain untuk fase awal.

Jika merujuk sejarah, berdasarkan catatan Tiongkok dan orang Arab menunjukkan kerajaan Brunei Darussalam awalnya berada di muara Sungai Brunei pada awal abad ke-7 atau ke-8. Kerajaan itu memiliki wilayah yang cukup luas meliputi Sabah, Brunei dan Sarawak yang berpusat di Brunei.

Perjuangan Teungku Tapa Bak Cerita Malem Diwa

“Dia merupakan tahanan di Aceh yang terpandang seperti wali dan seperti anak raja (pangeran).” Demikian judul berita seseorang yang melakap namanya sebagai Pembantu Betawi, KMPB (S. Ta’iat) dalam surat kabar Pewarta Deli pada 21 Nopember 1914 silam. 

Pernyataan tersebut merujuk kepada sosok pejuang Aceh yang di kemudian hari dijuluki Teungku Tapa. Masih bersandar pada tulisan tersebut, Pembantu Betawi memulai karangannya dengan mengulas secara panjang lebar kisah kematian Teungku Tapa di Keureuto (tertulis Kerti). Saat dirinya gugur, sehelai bendera beraksara Arab menutup jasadnya. Dia memakai pakaian sutera layaknya seorang hulubalang yang gagah perkasa dan mati di medan pertempuran.

Wednesday, June 4, 2014

Aksi Pasukan Aceh di Teluk Tambora

JENDERAL Karel van der Heijden diangkat menjadi Gubernur sekaligus Panglima di Banda Aceh menggantikan Jenderal A. J. R. Diemont yang sakit, Juni 1877. Heijden merupakan blasteran Belanda yang lahir di Betawi pada 1826. Karirnya di Indonesia dimulai dari pangkat sersan.

Pergantian pucuk pimpinan perang di Banda Aceh turut mengubah kebijakan-kebijakan Belanda di daerah ini. Mereka yang semula fokus di ibu kota kini mulai melirik daerah-daerah pesisir timur yang menjadi sekutu Kerajaan Aceh. Salah satunya adalah Samalanga.

"Zeker is het dat General van der Heijden zijn sukses ook hieraan tedanken had, dat bij ieder kampong die zich onwilling toonde, zonder pardon met den grond gelijk maakte. (Jelas bahwa sukses van der Heijden ialah dari caranya menghancurkan kampung-kampung yang kelihatan tidak mau tunduk, hingga rata dengan tanah," tulis Dr. J. Jakobs dalam bukunya tentang van der Heijden.

Pocut Meuligoe; Srikandi Aceh dari Samalanga

"HAAR haat tegen de Nederlanders was zoo groot, dat zij teneinde de weerbare mannen tot den krijgsdienst te verplichten, elke veldarbeid of straffe, van de gruwzaamste en onmenschelijke wreedheden, verbood. Voortdurend werden onze vijanden op Groot Atjeh door haar met geld, oorlogmaterieel en krijgers bijgestaan, waartoe ruimschoots in staat was.

In 1876 beproefde onze Regeering langs minnelijken weg Samalanga tot de erkenning harer opperheerschappij te brengen, doch berantwoordde die voorstellen door op onze oorlogschepen te vuren, en vergreep zich dermate, dat het in de nabijheid onzer vlag de brutalste zeerooverij pleegde".

"Kebenciannya terhadap Belanda sedemikian besar, terlihat dari perintahnya bahwa semua rakyat yang sudah sanggup berperang harus masuk berjuang, bahkan untuk keperluan itu sawah ladang harus ditinggalkan, dan kalau tidak bakal dihukum berat. Demikian pula ia (Pocut Mueligo) dengan terus mengirim bantuan dana, alat perang dan sukarelawan ke Aceh Besar demi membantu perjuangan Aceh di sana.

Wednesday, April 16, 2014

Jawaban Sultan Mahmud Syah Terkait Ultimatum Belanda

WAKIL Presiden Dewan Hindia Belanda, F.N. Nieuwenhuijzen sebagai Komisaris Pemerintah yang ditugaskan menjumpai Sultan Aceh merasa kecewa dengan tanggapan Sultan Mahmud Syah. Dalam surat menyurat mereka sebelum perang berkecamuk, keduanya tetap mempertahankan kedaulatan negara masing-masing.

Dikutip dari catatan H. Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad jilid pertama, Nieuwenhuijzen merasa kehilangan pegangan dikarenakan hasil pembicaraan melalui surat menyurat tersebut sama sekali tidak berhasil menakut-nakuti Aceh. Nieuwenhuijzen kemudian menyimpulkan, Aceh tidak akan menyerah begitu saja sebelum terjadi pertumpahan darah.

Mengapa Belanda Getol Menyerang Aceh?

ACEH menjadi titik kelemahan Belanda sepanjang menyangkut Sumatera. Selama Kerajaan Aceh masih berdaulat, maka selama itu pula bayang-bayang campur tangan asing mengancam posisi Belanda di nusantara.

"Alasan sebenarnya Belanda ke Aceh adalah ingin menegakkan kekuasaannya di seluruh wilayah nusantara (pax Netherlanica) dan Aceh merupakan wilayah terakhir yang belum dikuasai," ujar Ketua Jurusan Sejarah FKIP Unsyiah, Drs. Mawardi Umar, M.Hum, MA, seperti dilansir ATJEHPOSTcom, Rabu 26 Maret 2014, menyikapi ikhwal serangan Belanda terhadap Kerajaan Aceh.

Menurutnya, tidak ada alasan lain yang menyebabkan kedua negara ini berperang selain ambisi Belanda untuk menaklukkan Sumatera sepenuhnya.

Rangkaian Surat Aceh dan Belanda Sebelum Perang

HASRAT Belanda menguasai Sumatera secara penuh dan menjadikan Aceh sebagai daerah taklukkan sama sekali tidak terbendung lagi. Mereka mengadakan sidang Dewan Hindia Belanda sesuai dengan instruksi kawat dari Menteri Jajahan van de Putte, Loudon pada 21 Februari 1873.

Hasil sidang memutuskan Belanda menyerang Aceh. Loudon kemudian mengirimkan telegram kepada Netherland yang bunyinya:

“Telah bersidang Dewan Hindia Belanda di bawah pimpinan saya sendiri. Turut hadir Jenderal dan Laksamana, semuanya menyepakati usul saya untuk mengirim secepat mungkin komisaris dengan empat batalyon serdadu ke Aceh dengan ancaman supaya menerima kedaulatan kita atau perang. Kita harus mem-fait-accompli kan Amerika. Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda adalah orangnya dan meminta supaya ketentuan Menteri tanggal 24 Agustus 1859 dihapuskan. Diminta supaya mengirim lagi dua buah kapal di samping yang sudah hendak dikirim menurut telegram tuan, Kapal perang “Koopman” masih belum bisa dipakai. Keadaan marine menyedihkan.”

Pembantaian Kuta Reh

PEPERANGAN Belanda di Aceh berlangsung dalam rentang waktu yang lama. Strategi peperangan hit and run yang dilakukan pasukan Aceh mengajarkan Belanda untuk membentuk unit pasukan khusus anti gerilya. Namanya Marchaussee.

Pasukan ini bertugas menyisir seluruh hutan rimba raya yang ada di Aceh. Mereka terdiri dari orang Ambon, Minahasa dan dipimpin oleh sersan Belanda. Pemilihan Bumiputera dalam unit ini sengaja dilakukan untuk melacak jejak pasukan Aceh di dalam hutan. Pasukan ini dikenal bengis dan tidak menghormati hukum perang. Bahkan, pemimpin pasukan Aceh yang dikenal lihai dalam strategi peperangan sekelas Teuku Umar berhasil dijebak oleh satuan khusus bentukan Jenderal Van Heutz ini.

Saat Kemala Menjadi Ibukota

KONDISI Sultan Mahmud Syah kian memburuk akibat wabah kolera yang dibawa Belanda ke daratan Aceh. Dia mangkat dalam kekuasaan singkatnya sebagai raja. Pucuk pimpinan berganti pada Tuanku Mohammad Dawot Syah yang masih berusia tujuh tahun.

Kedudukan Tuanku Mohammad Dawot Syah sebagai Sultan Aceh dikukuhkan di Masjid Indrapuri, dan didampingi oleh Dewan Pemangku yang diketuai oleh Tuanku Hasyim. Semenjak itu, Sultan Aceh memerintahkan tiga tokoh Aceh bertanggung jawab menjalankan roda pemerintahan. Mereka adalah Teungku Syekh Saman Di Tiro yang menjadi menteri perang, Teuku Umar sebagai Laksamana (wazirulbahri), dan Panglima Nyak Makam sebagai panglima urusan Aceh bagian timur.

Perintah Perang Aceh

PERNYATAAN Perang Belanda terhadap Aceh pada 1873 disikapi secara serius oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Setelah menerima laporan secara terperinci dari Balai Siasat Kerajaan (Kepala Intelijen Negara), Sultan Alaidin Mahmud Syah langsung menggelar rapat akbar bersama seluruh pejabat istana dan pemuka negeri Aceh. Sultan juga turut mengambil sumpah setia seluruh penduduk negeri menghadapi agresi Belanda tersebut.

Merujuk catatan Ali Hasjmy dalam bukunya Peranan Islam Dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, menuliskan secara panjang lebar persiapan-persiapan yang dilakukan Kerajaan Aceh menghadapi serangan Belanda. Menurut Hasjmy, menghadapi ancaman dari luar negeri tersebut Sultan Aceh turut membentuk sebuah pemerintahan yang baru, yaitu Kabinet Perang. Inti pemerintahan baru ini terdiri dari tiga orang, sementara posisi sultan tetap sebagai kepala negara.

Thursday, February 27, 2014

Pertempuran Masjid Raya

Masjid Raya Baiturrahman 1890 | Foto: KITLV
Banda Aceh, Kamis, 26 Desember 1873. Sedikitya 12 ribu marinir Belanda berhasil merebut Peunayong. Harga yang harus dibayar Belanda yaitu sekaratnya Kolonel GBT Wiggers van Kerchem, pemimpin tertinggi kedua pasukan pendaratan Belanda, terkena sasaran peluru pasukan Aceh. Perang terus berkecamuk. Desingan peluru hilir mudik disahut dentuman meriam dari Peukan Aceh dan Masjid Raya. Belanda panik.

Beberapa Bumi Putera dari Jawa dikerahkan untuk menggali parit-parit perlindungan sepanjang 560 meter, di sekitar Peunayong. Sabtu, 27 Desember 1873, kubu pertahanan tersebut berhasil dibuat sebagai bunker perlindungan. Secepatnya Belanda menurunkan barisan artilerinya untuk membalas tembakan meriam pasukan Kerajaan Aceh. Di sisi selatan bivak Peunayong dan sebelah kanan Krueng Aceh, budak-budak Belanda masih bekerja menumpuk karung goni sebagai kubu pertahanan.

Sumpah Kerajaan Aceh

Ilustrasi | Foto: KITLV
“…kita hanya seorang miskin dan muda, dan kita sebagai juga Gubernemen Hindia Belanda, berada di bawah perlindungan Tuhan yang maha kuasa…”

Pernyataan ini merupakan jawaban Sultan Alaiddin Mahmud Syah terhadap ultimatum Belanda yang bersikukuh menyerang kedaulatan Aceh. Surat pernyataan perang oleh Belanda itu ditulis pada 26 Maret 1873, dan disampaikan kepada Sultan Aceh pada 1 April 1873. Pernyataan perang itu antara lain berbunyi. “Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Hindia Belanda, ia atas nama Pemerintah, menyatakan perang kepada Sulthan Aceh..”

Thursday, January 16, 2014

Menuntut perdagangan bebas



19 FEBRUARI, kapal perang Pegasus berlabuh di Teluk Bubun yang terlindung di bagian selatan Teunom membawa rombongan utusan Inggris William Maxwell. Dia didampingi pedagang Khoo Tiangpoh dan Said Puteh, tokoh Aceh di perantauan. 

Mereka disambut oleh Teuku Yit di Bubun sebagai utusan raja. Setelah mencapai kata sepakat, Maxwell bersama Kapten Bickford melayari Sungai Teunom menuju ke hulu pada 9 Maret untuk bertemu raja.

Kehadiran utusan Inggris ini disambut meriah oleh penduduk setempat. Teuku Yit kepada Maxwell mengatakan seharusnya Inggris datang ke Aceh dan dipastikan akan disambut baik oleh masyarakat dengan mengibarkan bendera Britania. Namun Maxwell tidak merespon pernyataan Teuku Yit dan langsung mengalihkan pembicaraan mengenai pembebasan awak kapal yang sudah disandera selama empat bulan. 

Saturday, January 11, 2014

Melindungi Raja Teunom

Ilustrasi
OPERASI militer yang dilakukan Belanda sama sekali tidak berhasil membebaskan awak kapal SS Nisero dari Teuku Imam (Baca: Diplomasi Inggris untuk SS Nisero). Padahal Belanda telah membakar semua desa dan kebun lada termasuk kampung utama tempat awak-kapal ditahan yang sudah dipindahkan ke pedalaman hulu sungai.

Sementara Teuku Imam telah menyingkir ke Keumala yang menjadi markas perlawanan Aceh pimpinan Chik di Tiro yang telah mengirimkan 300 pasukan bersenjata lengkap untuk membantu pertahanan Teunom. Setelah Belanda melancarkan operasi militer, Teuku Imam mengirim surat kepada Tuanku Hasyim yang mengingatkan jangan menyerahkan awak kapal Nisero kepada musuh. Sebaliknya, rawat sandera ini dengan baik untuk kepentingan perang.

Berbagai cara telah dilakukan Residen van Langen untuk melepaskan para awak kapal. Tetapi penguasa Teunom ini justru semakin galak. Van Langen menggunakan musuh Teuku Imam, yakni Raja Itam dari Meulaboh yang dibekali senjata dari Belanda untuk menaklukan Teunom. Tetapi gagal.

Diplomasi Inggris untuk SS Nisero



Ilustrasi

PEMBERITAAN peristiwa Kapal Nisero menjadi berita dunia yang baru diterima di Penang pada 22 November dan menghiasi halaman utama media di Eropa (Baca: Pembalasan Teunom). Kejadian ini menimbulkan reaksi di London dan memusingkan pemerintah Belanda di Den Haag. 

Pihak Belanda di Aceh melakukan berbagai cara untuk melepaskan para awak kapal, tetapi Teuku Imam sangat lihai hingga semua cara yang dilakukan gagal. Nama Teuku Imam dari Teunom mencuat di pentas internasional.

Peristiwa tersebut memicu tindakan dari Gubernur Strait Settlement Sir Frederick Weld dengan mengirimkan kapal perang Pegasus di bawah komando Kapten Bickford, 22 November. Pegasus tiba di Ulee Lheue pada 26 November 1883. 

Pembalasan Teunom


The crew of SS Nisero. @malaysiaflyingherald.wordpress.com
KAPAL uap SS Nisero milik Inggris berlayar di lepas pantai barat sekitar Teunom Aceh Barat, 8 November 1883. Kapal yang dinahkodai oleh Kapten Woodhouse dalam perjalanan kembali ke Inggris ini membawa ratusan karung gula dari pelabuhan Surabaya. Malam belum lagi larut ketika kapal dihantam badai dan hujan keras serta gelombang menyeret bahtera ini ke daratan. Nahkoda bersama 29 anak buah kapal kandas di muara sungai dekat Panga, sekitar 40 mil bagian utara Meulaboh.
 
Kondisi ini dimanfaatkan dengan baik oleh Teuku Imam Muda. Dia menjarah isi kapal uap SS Nisero dan menyandera awak kapalnya. Sedikitnya, 18 warga Inggris menjadi tahanan, selebihnya merupakan warga Belanda, Jerman, Italia, Amerika, Norwegia dan China. Teuku Imam Muda merupakan salah satu tokoh di Teunom yang dikenal memiliki harga diri tinggi, kemauan keras dan saleh. Dia dihormati oleh penduduk setempat sebagai pemimpin di daerah tersebut. 

Saturday, December 28, 2013

Hancurnya Markas Seulimum

SETELAH Sultan Muhammad Syah mangkat pada Januari 1874, Aceh kehilangan figur kepemimpinan. Sedangkan Tuanku Daud saat itu masih 10 tahun. Perlawanan melawan Belanda hanya dilakukan oleh kelompok pejuang Aceh secara terpisah.

Kondisi ini dimanfaatkan dengan baik oleh Habib Abdurachman al Zahir. Di Aceh Besar, Habib menjadi pemersatu bagi kerajaan-kerajaan kecil untuk perjuangan Aceh.

Konsolidasi langsung dilakukan oleh Habib selama dua tahun lamanya sejak ia tiba di Aceh Besar pada Juli 1876. Beberapa panglima sagoe memberikannya wewenang untuk mengatur strategi melawan Belanda. Di antaranya, Panglima Polem, Teuku Muda Baet, Imuem Lueng Bata, dan Teuku Paya serta dua raja kecil seperti Raja Gigieng dan Teungku Pakeh dari Pidie.