Friday, March 20, 2015

11 Februari 1899: Teuku Umar Tewas di Ujong Kala



"Beungoh singoh geutanyoe jep kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid (Besok pagi kita akan minum kopi di Meulaboh atau aku akan gugur)."

Kalimat itu tertulis di tugu Teuku Umar Meulaboh, diyakini sebagai kalimat terakhir yang diucapkannya sebelum akhirnya tewas di tangan Garnizun Belanda pada 11 Februari 1899, 26 tahun setelah perang Aceh-Belanda dimulai sejak Maret 1873.

Teuku Umar lahir sekitar tahun 1854. Ayahnya adalah Teuku Mahmud dan ibunya seorang adik raja Meulaboh. Leluhur Umar merupakan perantau dari Minangkabau yang datang ke Aceh pada abad 17.

Gelar Teuku diperoleh dari kakek Umar yang bernama Nanta Cih sebagai penghargaan atas jasanya membantu Sultan Alaiddin Syah dalam pertentangannya dengan Panglima Polim dan Sagi XXII. Dengan bantuan Nanta Cih itu Sultan mendapat kemenangan dan Nanta Cih diberi gelar Teuku yang diwariskan kepada anak-anak dan cucu-cucunya, antara lain Teuku Umar.

6 Februari 1939; Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah Mangkat di Pengasingan


ACEH Lamuri Foundation (ALIF) akan menggelar Haul Sultanah Kamalat Syah dan Sultan Alaiddin Muhammad Dawod Syah pada Minggu, 8 Februari 2015. Kegiatan yang digagas bersama lembaga Sejarah Indatu Lamuria Aceh (SILA), Pamong/Penyuluh Budaya dan Duta Museum Aceh ini dilaksanakan di Museum Rumoh Aceh, sekitar pukul 09.30 Wib.

“Sultanah Kamalat Syah merupakan pengganti Sultanah Zaqiatuddin Inayat Syah. Dia bertahta pada 1688,” ujar Ketua Alif, Mawardi Usman, kepada ATJEHPOST.co.

Ada dua versi tentang asal-usul Sultan Kamalat Syah. Pertama, Kamalat Syah adalah putri Raja Umar bin Sutan Muda Muhammad Muhidudin sekaligus adik angkat dari Sultanah Zaqiatuddin Inayat Syah. Kedua adalah anak angkat Ratu Sultanah Safiatuddin Syah.

Ia mengatakan di masa kepemimpinan Sultan Kamalat Syah banyak mendapatkan kunjungan dari Persatuan Dagang Perancis dan serikat dagang Inggris, dan East Indian Company.

5 Februari 1641; Mangkatnya Sultan Iskandar Tsani



SULTAN Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah merupakan Sultan Aceh ketiga belas. Dia merupakan sultan pengganti setelah Iskandar Muda berkuasa.

Jika melihat dari silsilah keluarganya, Sultan Iskandar Tsani adalah putera dari Sultan Pahang, Ahmad Syah. Dia dibawa ke Aceh oleh Iskandar Muda saat Pahang berada di bawah bendera Kerajaan Aceh Darussalam pada 1617.

Setelah dewasa, Sultan Iskandar Tsani menikah dengan puteri tertua Sultan Iskandar Muda, yang kelak bergelar Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin. Iskandar Tsani kemudian dipercaya menggantikan kedudukan Sultan Iskandar Muda, saat sultan mangkat pada 16 Desember 1636.

Tuesday, March 10, 2015

Benteng Batee Iliek dan Pertempuran Terakhir Teungku Cik Pante Geulima

TEUNGKU Cik Pante Geulima Syekh Ismail bin Yakub tanpa komando dari Kerajaan Aceh Darussalam langsung membentuk pelatihan belanegara sebelum Belanda mengeluarkan ultimatum pada 26 Maret 1873. Dayah Pante Geulima yang telah memiliki hampir seribu santri langsung berubah menjadi kamp pelatihan militer. Setelah peperangan meletus antara Kerajaan Aceh Darussalam dengan Belanda, Teungku Cik Pante Geulima bersama satu balang (batalion) sekitar seribu orang, berangkat ke Aceh Besar untuk mempertahankan Krueng Daroy. Di sana, ia mendirikan kuta reuntang dengan tujuh buah kubu yang sambng menyambung, dengan kubu induk bernama Kuta Bu. (Baca: Teungku Cik Pante Geulima; Panglima Perang di Kuta Reuntang). 

Meskipun ibu kota Kerajaan Aceh Darussalam dapat direbut musuh, tapi keberadaan Teungku Cik Pante Geulima di kuta reuntang kerap merepotkan Belanda. Kuta reuntang sama sekali tidak bisa ditembus Belanda selama di bawah kepemimpinan Teungku Cik Pante Geulima. Setelah 3,5 bulan memimpin daerah Krueng Daroy akhirnya Teungku Cik Pante Geulima ditarik kembali ke Pidie oleh Laksamana Teuku Raja Muda Cut Latif. Ia kemudian diutus ke Tanah Batak dan Karo untuk melakukan diplomasi politik dengan raja-raja setempat termasuk dengan Sisingamangaraja XII. (Baca: Peranan Teungku Cik Pante Geulima di Daerah Sisingamangaraja). 

Peranan Teungku Cik Pante Geulima di Daerah Sisingamangaraja

SEJAK Belanda mengganggu kedaulatan Kerajaan Aceh Darussalam, pimpinan Dayah Cik Pante Geulima, Syekh Ismail bin Yakub ikut memperkuat barisan militer di Aceh Besar. Ia dipercaya sebagai panglima perang kuta reuntang di Daerah Krueng Daroy selama 3,5 tahun. Keberadaannya di daerah tersebut terus mengancam posisi Belanda yang telah menguasai ibu kota. (Baca: Teungku Cik Pante Geulima; Panglima Perang di Kuta Reuntang

Pihak Kerajaan Aceh Darussalam telah memperkirakan peperangan menghadapi Belanda akan berlangsung lama. Karenanya, Teungku Cik Pante Geulima Syekh Ismail bin Yakub mendapat mandat mengunjungi Tanah Batak dan Tanah Karo untuk perlawanan menghadapi Belanda. Tugas tersebut dilaksanakan Syekh Ismail dengan mengikutsertakan 400 pasukannya ke wilayah Batak Karo. Di dalam pasukan tersebut terdapat ulama, juru dakwah, dan ahli peperangan. Setiba di wilayah Batak dan Karo, Syekh Ismail bin Yakub mengadakan kontak dengan pemimpin-pemimpin setempat. Salah satunya dengan Pahlawan Batak, Sisingamangaraja XII.

Teungku Cik Pante Geulima; Panglima Perang di Kuta Reuntang

DIA merupakan salah satu pejuang yang berjasa dalam perang di benteng Aceh, Kuta Batee Iliek melawan Belanda. Namanya terkenal pada masa perang kolonial, tapi terlupakan dalam catatan sejarah kepahlawanan Indonesia.

“Jenderal K. Van der Heijden, panglima agresor, yang dipaksa atasannya memimpin penyerbuan terhadap benteng Aceh, Kuta Batee Iliek, harus menyerahkan matanya kepada pelor pahlawan-pahlawan Aceh hatta buta, namun Kuta Batee Iliek, salah satu benteng Aceh yang hebat tidak dapat direbutnya. Sehingga dia dicopot dari jabatannya dan diserahkan kepada Jenderal Mayor YB van Heutsz. Salah seorang di antara pahlawan Kuta Batee Iliek yang terkenal adalah Tengku Haji Ismail bin Yakub,” tulis Ali Hasjmy dalam bukunya: Ulama Aceh, Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangun Tamaddun Bangsa.

Haji Ismail bin Yakub merupakan anak Teungku Cik Pante Geulima Yakub. Garis keturunannya yang panjang bermuara kepada Sultan Aceh Saiyiddil Mukamil.

Ali Hasjmy merunut silsilah Haji Teungku Haji Ismail bin Teungku Cik Pante Geulima Yakub bin Teungku di Bale Abdurrahman bin Teungku Muhammad Said bin Teungku Darah Puteh bin Teungku Tok Setia bin Teungku Yakub bin Meurah Puteh bin Meurah Abdullah bin Saiyiddil Mukammil. Leluhur Haji Ismail, yang memiliki nama sama dengan ayahnya, Yakub, memilih jalan berbeda seperti ayah dan kakeknya yang bergelar Meurah. Ia lebih mencintai pendidikan daripada kekuasaan yang kemudian mendirikan Dayah Pante Geulima. Sejak itu semua leluhur Ismail yang memimpin dayah dikenal sebagai Teungku Cik Pante Geulima. Ismail lahir di Pante Geulima, Meureudu, sekitar tahun 1838 atau 1253/1254 Hijriah.

Pepustakaan Tanoh Abee

"PERPUSTAKAAN (kutubkhanah) ini milik pribadi keturunan Teungku Chiek Tanoh Abee Al Fairusy Al Bagdady. Di dalam perpustakaan ini banyak tersimpan manuskrip-manuskrip tentang Islam, sejarah dan kebudayaan Aceh dari abad 16 hingga abad 19 M."

Demikian isi pamplet Pustaka Tanoh Abee yang dipancang di depan gerbang kompleks perpustakaan tertua di Asia Tenggara tersebut. Pustaka ini terletak di Blang Krieng atau Gampong Seuneubok, Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar.

Di dalam kompleks ini terdapat dua gedung permanen bantuan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) yang dibangun medio 2009 lalu. Salah satu bangunan permanen ini langsung menyambut tamu yang datang dari pintu gerbang utama. Kondisinya kurang terurus lantaran pembangunan yang disebut-sebut asal jadi.

Teuku Umar Berbalik Arah Melawan Belanda karena Kecewa?

TANTANGAN perang dari Teungku Fakinah, pemimpin sukey (resimen) perempuan Kerajaan Aceh Darussalam bukan satu-satunya alasan Teuku Umar kembali melawan Belanda. Setelah pengkhianatannya terhadap kerajaan, Umar yang diberi julukan Johan Pahlawan dan mendapat kedudukan sebagai panglima besar oleh Belanda tersebut ternyata memendam rasa kecewa. Adalah H Mohammad Said yang mencatat kekecewaan Teuku Umar tersebut dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad jilid II.

Meninggalnya Teungku Ma'at Sang Ulama Tiro

Ilustrasi
PERLAWANAN ulama Aceh di bawah pimpinan keluarga Tiro membuat Belanda kewalahan. Dimulai dari peran serta Syekh Muhammad Saman yang dikenal Teungku Chik Di Tiro pada masa awal peperangan Belanda di Aceh, keluarga Tiro terus menerus menyulitkan Belanda hingga mereka angkat kaki dari Aceh.

Tongkat estafet jabatan Wali Nanggroe yang diberikan kepada keluarga Tiro menjadi salah satu penyebab tingginya perlawanan Aceh terhadap Belanda. Meskipun Belanda telah menangkap Sultan Aceh terakhir, Sultan Muhammad Dawood namun pejuang Aceh tidak berhenti melakukan perang gerilya. Sejak meninggalnya Syekh Muhammad Saman di Tiro pada 1891, jabatan Wali Nanggroe dipikul oleh anak-anak dan cucunya.

Semasa perang melawan Belanda, jabatan Wali Nanggroe terakhir dijabat oleh Tengku Chik di Tiro Muaz bin Muhammad Amin. Ia merupakan salah satu pemuda yang baru berusia 16 tahun. Teungku Ma'at merupakan nama lain Syeh Ma'at bin Muhammad Amin alias Teungku Chik di Tiro Muaz bin Muhammad Amin merupakan Wali Nanggroe ke tujuh di Aceh yang diangkat pada 1911 setelah meninggalnya Teungku Mahyeddin di Tiro.

Monday, March 9, 2015

Meninggalnya Cut Nyak di Pengasingan

Ilustrasi film Cut Nyak Dhien yang diperankan Christine Hakim
KAMAR tersebut berukuran 3x5 meter sementara ranjangnya berukuran 2x2 meter. Di kamar inilah Cut Nyak Dhien, srikandi asal Aceh tersebut melewati masa tuanya. Rumah ini terletak di jalan P. Suriaatmaja, Sumedang, Jawa Barat tepatnya di belakang Masjid Agung Sumedang. Dulu rumah tersebut menjadi tempat warga belajar mengaji pada Ibu Perbu--julukan Cut Nyak Dhien oleh warga Sumedang. Rumah ini lantas direhab pada 1979 dengan ukuran 12x14 meter dan tinggi 1 meter.

Saat Cut Nyak Dhien diasingkan dari tanah kelahirannya, Aceh, ke Sumedang, penguasa daerah saat itu berada di tangan Pangeran Aria Suriaatmaja. Kondisi Cut Nyak yang telah renta membuat Pangeran menugaskan seorang ulama Masjid Agung Sumedang, KH Sanusi, merawat istri Teungku Ibrahim Lamnga dan Teuku Umar tersebut. Namun saat itu rumah KH Sanusi sedang diperbaiki dan untuk sementara waktu Cut Nyak Dhien dititipkan selama tiga minggu di rumah H. Ilyas.

Setelah rumah KH Sanusi diperbaiki, baru dibawa kembali ke rumah KH Sanusi. Cut Nyak berada di bawah perawatan KH Sanusi selama setahun karena ulama Masjid Agung tersebut meninggal. Selanjutnya, anak KH Sanusi, H Husna, meneruskan perawatan Cut Nyak Dhien hingga pahlawan asal Aceh itu meninggal dunia pada 6 November 1908. Ibu Perbu lantas dimakamkan di kompleks makam keluarga H Husna, di Gunung Puyuh, Desa Sukajaya, Sumedang Selatan.

Setelah Keureutoe Dipimpin Pang Nanggroe

RUMPUT setinggi lutut orang dewasa tumbuh subur di sekeliling Kompleks Makam Pang Nanggroe dan Pang Lateh yang terletak di Desa Pante, Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara. Jika musim penghujan, lantai makam biasanya tergenang air karena bumbung kanan makam yang terlalu kecil.

Pemerintah Kabupaten Aceh Utara telah memugar kompleks makam ini pada 1992 lalu. Sebelumnya, cungkup makam hanya terbuat dari papan dan seng. Kini cungkup makam dua pahlawan Aceh tersebut telah disulap dengan bangunan permanen dan dilengkapi pagar besi berwarna biru. Pagar juga diberi jaring oleh juru kunci agar tidak masuk hewan ternak yang banyak berseliweran di areal makam. Di depan dan belakang kedua makam itu juga terdapat beberapa kuburan lainnya. Di belakang kompleks makam tersebut ada pabrik padi.

Makam ini diapit lokasi bongkar muat SPSI Lhoksukon Express serta rumah warga di sisi kanan dan kirinya. Lokasi makam mudah dijangkau. Jaraknya tak jauh dari pusat pertokoan Kota Lhoksukon. Jalan masuknya melewati kantor pos setempat. Sedikit belokan ke arah kiri tanggul sekitar 50 meter dari kantor pos. Kompleks makam Pang Nanggroe dan Pang Lateh tidak banyak berubah dari tahun ke tahun. Hanya saja, kini di sekitar jalan masuk makam telah dipagar bambu oleh warga setempat untuk ditanami pohon cabai. Sedangkan di depan kompleks juga terlihat berjejer kandang ayam milik warga.

Sunday, March 8, 2015

Napak Tilas Cut Meutia

Ilustrasi
PULUHAN karyawan PT Pupuk Iskandar Muda pernah menyusuri jalan menuju makam Cut Nyak Meutia di kawasan Gunong Lipeh, pedalaman hutan belantara Hulu Krueng Peuto, Pirak Timu, Aceh Utara, medio April 2013 lalu. Perjalanan itu sempat tertahan di Buket Pineung Rhuek selama satu jam. Mesin mobil Hartop atau Jeep rombongan meraung keras menjajal medan jalan yang terjal dan licin.

Menuju makam pahlawan nasional tersebut membutuhkan perjuang ekstra. Selain Buket Pineung Rhuek, tantangan lainnya juga menanti  di Gunung Alue Capli, Gunong Angkop, Bukit Cinta dan Gunong Tutue Peut sebelum mencapai Gunong Lipeh.

Informasi yang ditelusuri ATJEHPOST diketahui jarak makam istri Pang Nanggroe ini sekitar 32 kilometer dari pusat kota. Bahkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Utara memasukkan makam Cut Nyak Meutia sebagai salah satu objek kategori wisata minat khusus.

Perjalanan menuju ke daerah tersebut terbilang sulit. Selain jauh, kondisi jalan juga rusak parah dan belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Hanya wisatawan yang memiliki jiwa petualangan mampu menuju lokasi peristirahatan terakhir ibu Putra Rajawali tersebut.

Wasiat Sultan Aceh; The Aceh Code

KERAJAAN Aceh pernah berjaya di perairan nusantara berkat perdagangan ekspor lada. Hal tersebut berlangsung lama hingga akhirnya Aceh menjadi primadona lada bagi seluruh dunia kala itu.

Kejayaan tersebut tentu saja tidak serta merta terjadi dengan sendirinya. Namun kejayaan ini tegak setelah Sultan Ali Mughayat Syah menginstruksikan Dasar Kerajaan Aceh yang wajib dipatuhi oleh seluruh rakyat.

Merujuk catatan Tan Sri Sanusi Junid dalam blog pribadinya diketahui Sultan Aceh telah menetapkan 21 kewajiban untuk rakyatnya agar bisa mencapai kejayaan. Ia memberinya judul 21 Wasiat Sulthan Aceh-The Aceh Code yang dikutip dari manuskrip "Wasiat Sultan Aceh". Manuskrip ini ditemukan di perpustakaan Universiti Kebangsaan Malaysia yang berisi petunjuk kepada pemimpin-pemimpin Aceh dan diterbitkan pada Ahad, 12 Rabi'ul Awwal 913 Hijriah atau bersamaan 23 Juli 1507.

Friday, March 6, 2015

Sejarah Ekspor Aceh di Masa Awal Perdagangan Dunia

Herodotus, ahli sejarah Yunani adalah orang pertama yang membuat peta dunia pada 450 Sebelum Masehi. Dalam peta tersebut, ia menggambarkan dunia berakhir di India merujuk pada ekspansi Alexander the Great yang hanya berhasil mencapai sungai Indus.

Peta dunia kemudian diperbaiki oleh nahkoda Yunani yang tidak dikenal namanya. Ia membuat semacam buku penuntun yang dinamai Feriplus Maris Erythraea atau petunjuk pelayaran laut India pada awal abad 1 Masehi. Ia menjelaskan lintasan perdagangan yang terjadi masa itu antara Mesir dan India, pelabuhan-pelabuhan yang dijumpai di tengah perjalanan laut dan barang-barang yang diperjualbelikan antar negara.

Namun keterangannya mengenai Chryse atau wilayah yang ada di timur hanya diperolehnya dari catatan-catatan orang India dan penduduk sungai Gangga. Berdasarkan catatan nahkoda Yunani tersebut, diketahui Chryse adalah satu negeri yang menghasilkan penyu terbaik di lautan Hindia. Jika dituju lebih jauh ke timur maka akan dijumpai pulau besar Thinae, tempat pengumpulan sutera dari Thin.

Sulthanah Safiatuddin, Gender dan Temuan Emas

"Bahwa adalah bagi baginda itu beberapa sifat kepujian dan perangai yang kebajikan lagi takut akan Allah dan senantiasa sembahyang lima waktu dan membaca kitabullah dan menyuruh orang berbuat kebajikan dan melarang orang berbuat kejahatan seperti yang diturunkan Allah kepada nabi kita Muhammad s.a.w. Dan terlalu sangat adil perihal memeriksai dan menghukumkan segala hamba Allah. Maka daripada berkat daulat dan sa'adat duli yang maha mulia itu jadi banyaklah segala hamba Allah yang salah dan sembahyang menuntut ilmu. Syahdan ialah yang sangat tawadhu'nya akan Allah subhanahu Wata'ala. Maka dianugerahi Allah akan dia lama menjunjung Khalifahnya dan pada masanyalah orang mendapat beberapa galian emas itu dan ialah yang mangeraskan syariat Nabi kita Muhammad s.a.w.”

Demikian Bustanussalatin menukilkan kisah Sultan pertama Aceh Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin yang menggantikan posisi Iskandar Tsani pada 1641. Bustanussalatin merupakan salah satu karya besar yang ditulis Nuruddin Ar Raniri, salah satu ulama besar Kerajaan Aceh Darussalam.

Ratu Tajul Alam Safiatuddin adalah putri kandung tertua Sultan Iskandar Muda yang lahir pada tahun 1612. Ia dinikahkan dengan Sultan Mughal, salah satu anak angkat Sultan Iskandar Muda yang kemudian bergelar Sultan Iskandar Tsani.

Berdasarkan catatan Bustanussalatin, diketahui Ratu Tajul Alam memerintah Kerajaan Aceh Darussalam hingga 34 tahun lamanya. Masa pemerintahannya diwarnai dengan berbagai masalah, salah satunya adalah gesekan perdagangan di Selat Malaka dengan Belanda yang telah menguasai Mataram dan Betawi. Di masanya memerintah juga banyak wilayah Aceh yang jatuh ke tangan Belanda seperti Minangkabau.

Cerita Ganja Aceh, Belanda dan Portugis

UPAYA penelitian ganja di Indonesia merupakan kemajuan dan sesuatu yang baik. Apalagi tumbuhan yang masuk dalam ranah narkotika ini sangat banyak tersebar di Aceh. Hal ini diungkapkan sejarawan Aceh, Rusdi Sufi, saat ditemui tim Lingkar Ganja Nusantara (LGN) di Kerkhoff, Banda Aceh, Jumat 26 September 2014 lalu.

Rusdi Sufi turut menceritakan asal usul ganja yang kini banyak tersebar di Aceh. Berdasarkan sejumlah referensi, katanya, ada dua pendapat soal penyebaran ganja di Aceh.

"Ada pendapat yang mengatakan bahwa ganja dibawa ke Aceh oleh para pelaut Eropa. Pendapat tersebut saat ini mendominasi opini publik terutama di media-meda sosial," ujar Rusdi Sufi, seperti dikutip Peter Dantovski dari LGN melalui siaran persnya, Selasa, 14 Oktober 2014.

Di sisi lain, katanya, ada juga yang berpendapat cannabis sativa merupakan tumbuhan asli Aceh. "Ada banyak versi yang mengatakan bahwa bangsa Aceh telah sejak sangat lampau memanfaatkan ganja sebagai bumbu masakan maupun sebagai obat," kata Rusdi Sufi.

Saat Habib Abdurrahman Menyerah pada Belanda

BELANDA terus menerus mengirimkan serdadunya dalam skala besar untuk menumbangkan kedaulatan Kerajaan Aceh Darussalam. Keberhasilan Belanda merebut Darud Dunia tidak serta merta membuat Aceh takluk. Banyak perlawanan terus bergelora di Aceh Besar, Pedir, Pasai, Daya, dan Meulaboh.

Van Der Heijden memperluas wilayahnya dengan menyerbu Seuneulop, Aneuk Bate, markas Panglima Polem di Aneuk Galong dan terakhir markas Habib Abdurrahman di Montasik.

"Walaupun Montasik jatuh, perlawanan diteruskan. Dalam mempertahankan tempat-tempat mereka pihak Aceh tidak mundur begitu saja walaupun menghadapi kekuatan jauh lebih besar," tulis Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad.

Wednesday, December 17, 2014

Van Daalen Larang Pers Beritakan Perang Aceh

TIGA puluh empat tahun peperangan Belanda di Aceh telah menyebabkan banyaknya korban yang tewas di kedua belah pihak. Belanda yang ingin menguasai Sumatera secara utuh terus menerus mendatangkan bala tentaranya ke Aceh hingga berhasil merebut Darud Donya dan menangkap Sultan Aceh terakhir, Muhammad Daud Syah.

Namun invasi militer yang dilakukan Belanda kerap berujung masalah bagi negeri Kincir Angin tersebut. Penguasa di tanah jajahan pun sering bertindak di luar instruksi Amsterdam yang mengakibatkan kerugian secara moral dan materiil bagi negara tersebut.

Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad, menyebutkan banyak peristiwa yang tidak biasa terjadi di Aceh dengan mudah dapat dipergunakan oleh para pejuang untuk memperhebat semangat penduduk. Bahkan, van Daalen, salah satu perwira militer di Kutaraja (Banda Aceh) diisukan akan dipecat karena tidak mampu mematahkan perlawanan pasukan Aceh.

Saat Teuku Umar Ditantang Perang Tengku Fakinah

SALAH satu pejuang perempuan Aceh pernah menantang Teuku Umar Johan Pahlawan untuk berperang. Penyebabnya adalah membelotnya Teuku Umar ke kubu Belanda. Pejuang perempuan ini dikenal sebagai panglima perang Sukey Fakinah.

Namanya Tengku Fakinah, istri Tengku Ahmad, seorang ulama di Lampucok, Aceh Besar. Saat peperangan dengan Belanda, Tengku Ahmad syahid di medan perang. Hal inilah yang menjadi pemicu keterlibatan Tengku Fakinah dalam perang sabil.

Merujuk catatan sejarah yang ditulis Ali Hasjmy dalam bukunya Wanita Aceh dalam Pemerintahan dan Peperangan, disebutkan Tengku Fakinah pernah mengirim surat kepada Cut Nyak Dhien.

Mencari Makam Ratu Inayat Zakiatuddin Syah

SEDIKITNYA ada enam nisan berada dalam kompleks Makam Meuh II, di Kompleks Gedung Juang, Banda Aceh. Nisan-nisan tersebut merupakan milik keluarga Kerajaan Aceh Darussalam.

Di bawah nisan ini berbaring jasad-jasad tokoh penting Aceh masa dulu. Di antaranya adalah Putri Raja Anak Raja Bangka Hulu, Sultan Alauddin Mahmudsyah (1760-1764), Raja Perempuan Darussalam, dan Tuanku Zainal Abidin.

Amatan ATJEHPOST.co di lokasi, Jumat, 3 Oktober 2014, tiga di antara nisan-nisan tersebut memiliki konstruksi berbeda. Bangunan nisan ini lebih besar di bandingkan yang lainnya. Keseluruhan nisan ini berada dalam satu pagar yang luasnya seukuran lapangan tenis.