“Saya menamakan barisan kami ini API, kependekan dari Angkatan Pemuda Indonesia, tetapi yang secara akronimnya juga bisa berarti Angkatan Perang Indonesia. Saya ingat, waktu itu sudah pukul 04.00 dinihari. Teuku Hamid Azwar dan saya bekerja keras, tidak kenal lelah. Secara mendetail, ia membuat analisa mengenai kemampuan personil yang ada. Hasil analisa kami malam itu menghasilkan formasi sementara. Said Ali punya pengetahuan cukup banyak mengenai senjata, ia dicalonkan untuk memegang bidang persenjataan.”
Demikian salah satu penggalan kalimat Sjamaun Gaharu dalam buku “Sjamaun Gaharu; Cuplikan Perjuangan di Daerah Modal” yang ditulis oleh Ramadhan KH. Sjamaun merupakan salah satu tokoh Aceh yang terlibat langsung dalam perang memperebutkan kemerdekaan Indonesia. Dia juga kemudian menjadi salah satu pejabat militer berpengaruh di Aceh.
Sjamaun Gaharu yang awalnya adalah seorang guru di Taman Siswa kemudian berperan aktif dalam mewujudkan Angkatan Perang Indonesia. Hal ini dicatat dengan baik oleh Ramadhan KH dalam autobiografi Sjamaun Gaharu yang diterbitkan pada 1995 lalu.
Thursday, August 27, 2015
Kenapa Ada Lambaro yang Disebut Kaphee?
GAMPONG ini menjadi sentral perdagangan Kabupaten Aceh Besar. Lokasinya strategis dan dilintasi jalur Banda Aceh-Medan. Namanya Lambaro Kaphee (kafir). Letaknya hanya berjarak delapan kilometer dari Banda Aceh.
Lambaro Kaphee menjadi sentra perdagangan dan dinilai sebagai ibukota kedua Aceh Besar. Saban harinya, sayur dan buah dari berbagai penjuru Aceh transit di Lambaro Kaphee. Daerah ini tunduk di wilayah administratif Ingin Jaya. Banyak jalur alternatif yang bisa ditempuh menuju daerah ini. Misalnya dari Medan-Banda Aceh atau sebaliknya, dari Bandara SIM Blang Bintang, dan Lampeuneurut menuju pesisir barat Aceh.
Kondisi Lambaro Kaphee yang strategis inilah membuat daerah tersebut diperebutkan semenjak masa kesultanan Aceh. Salah satunya ketika perang Belanda di Aceh pada abad 19.
Lambaro Kaphee menjadi sentra perdagangan dan dinilai sebagai ibukota kedua Aceh Besar. Saban harinya, sayur dan buah dari berbagai penjuru Aceh transit di Lambaro Kaphee. Daerah ini tunduk di wilayah administratif Ingin Jaya. Banyak jalur alternatif yang bisa ditempuh menuju daerah ini. Misalnya dari Medan-Banda Aceh atau sebaliknya, dari Bandara SIM Blang Bintang, dan Lampeuneurut menuju pesisir barat Aceh.
Kondisi Lambaro Kaphee yang strategis inilah membuat daerah tersebut diperebutkan semenjak masa kesultanan Aceh. Salah satunya ketika perang Belanda di Aceh pada abad 19.
Monday, August 10, 2015
Saat Sultan Aceh Hendak Menyerang Belanda di Tanah Jawa
KEKUATAN Belanda yang meluas setelah berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan di Jawa dan sebagian Sumatera membuat Sultan Manshur Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam geram. Sultan yang dalam beberapa referensi sejarah disebutkan berkuasa pada 1850-an ini kemudian mengirimkan surat kepada Kekhalifahan Turki Utsmany.
Dalam surat tersebut, Sultan Manshur Syah meminta izin Kekhalifahan Turky di bawah kepemimpinan Sultan Abdul Majid Khan ibnul Marhum Sultan Mahmud Khan untuk menyerang Belanda yang sudah menguasai Batavia (Jakarta).
“….Ampun Tuanku sembah ampun, ampun beribu kali ampun, patik anak amas Tuanku, Sultan Manshur Syah ibnul Marhum Sultan Jauharul ‘Alam Syah memohon ampun ke bawah qadam Duli Hadarat yang maha mulia, yaitu Sultan Abdul Majid Khan ibnul Marhum Sultan Mahmud Khan. Syahdan, patik beri maklumlah ke bawah qadam Duli Hadarat, adapun karena patik sekarang ini sangatlah masygul (?) dan serta kesukaran karena sebab Negeri Jawa dan Negeri Bugis dan Negeri Bali dan Negeri Borneo dan Negeri Palembang dan Negeri Minangkabau sudahlah dihukumkan oleh orang Belanda, dan sangatlah susah segala orang yang Muslim, lagi sangatlah kekurangan daripada agama Islam karena sebab keras orang kafir Belanda itu.
Dalam surat tersebut, Sultan Manshur Syah meminta izin Kekhalifahan Turky di bawah kepemimpinan Sultan Abdul Majid Khan ibnul Marhum Sultan Mahmud Khan untuk menyerang Belanda yang sudah menguasai Batavia (Jakarta).
“….Ampun Tuanku sembah ampun, ampun beribu kali ampun, patik anak amas Tuanku, Sultan Manshur Syah ibnul Marhum Sultan Jauharul ‘Alam Syah memohon ampun ke bawah qadam Duli Hadarat yang maha mulia, yaitu Sultan Abdul Majid Khan ibnul Marhum Sultan Mahmud Khan. Syahdan, patik beri maklumlah ke bawah qadam Duli Hadarat, adapun karena patik sekarang ini sangatlah masygul (?) dan serta kesukaran karena sebab Negeri Jawa dan Negeri Bugis dan Negeri Bali dan Negeri Borneo dan Negeri Palembang dan Negeri Minangkabau sudahlah dihukumkan oleh orang Belanda, dan sangatlah susah segala orang yang Muslim, lagi sangatlah kekurangan daripada agama Islam karena sebab keras orang kafir Belanda itu.
Menakar Struktur Bangunan Kuta Di Anjong; Benteng Atau Kuta?
TULISAN ini merupakan tinjauan awal tentang struktur Kuta Di Anjong sebagai hasil observasi yang dilakukan pada Minggu 3 Mei 2015 yang lalu. Rekonstruksi bentuk dan fungsi struktur bangunannya akan dibandingkan dengan pembahasan sekilas perbentengan masa Kesultanan Aceh di kawasan yang sama, Ladong-Krueng Raya.
Langkah ini ditempuh dengan pertimbangan bahwa struktur diperkirakan berasal dari periode yang sama berdasarkan gaya bangunan dan teknologi. Sebagai tinjauan awal diharapkan ada tindak lanjut penelitian arkeologi lebih sistematis untuk mendapatkan bahan-bahan baru yang dapat menjelaskan bentuk dan fungsinya.
Penamaan struktur sebagai Kuta Di Anjong berasal dari penyebutan yang dikenal masyarakat setempat. Saat tulisan ini disusun, belum ditemukan sumber-sumber historis yang dapat dihubungkan dan dapat menjelaskan keberadaannya struktur yang disebut ‘kuta’ tersebut.
Langkah ini ditempuh dengan pertimbangan bahwa struktur diperkirakan berasal dari periode yang sama berdasarkan gaya bangunan dan teknologi. Sebagai tinjauan awal diharapkan ada tindak lanjut penelitian arkeologi lebih sistematis untuk mendapatkan bahan-bahan baru yang dapat menjelaskan bentuk dan fungsinya.
Penamaan struktur sebagai Kuta Di Anjong berasal dari penyebutan yang dikenal masyarakat setempat. Saat tulisan ini disusun, belum ditemukan sumber-sumber historis yang dapat dihubungkan dan dapat menjelaskan keberadaannya struktur yang disebut ‘kuta’ tersebut.
Friday, March 20, 2015
Pakaian Orang Aceh Tempo Dulu
SAAT membaca sejarah Aceh abad 16 hingga abad 18 bagaimana bayangan Anda tentang pakaian yang dikenakan penduduknya saat itu? Beberapa orang justru secara spontan akan menjawab pakaian tradisional Aceh adalah kupiah meukutob, kain songket, baju dan celana berwarna hitam yang terbuat dari kain blacu atau jenis kain lainnya. Selain itu, pakaian orang Aceh juga dilengkapi dengan rencong di pinggangnya.
Namun tidak semua orang-orang
Aceh berpakaian lengkap dengan baju adat terutama masyarakat kelas bawah yang
bukan keluarga istana. Lantas bagaimana pakaian orang Aceh tempo dulu?
Mengenai gaya hidup dan adat
kebiasaan orang Aceh ini pernah ditulis oleh Denys Lombard dalam bukunya
Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda. Denys adalah salah satu peneliti sejarah
dari Prancis. Dalam tulisan yang diterbitkan pada 1967 ini, Denys Lombard telah
mencoba membuat suatu analisa terhadap sejarah Aceh tidak hanya berdasarkan
pada orientasi Eropa yang banyak dianut oleh sarjana Barat. Namun Lombard telah
mencobanya dengan melihat dari "dalam" yakni orientasi Asia.
Peranan Besar HM Zainuddin dalam Penulisan Sejarah Aceh
HM Zainuddin bukan saja seorang
penulis buku sejarah tapi juga seorang sastrawan. Karyanya yang begitu
monumental adalah roman berjudul Jeumpa Aceh yang sempat dicetak dalam bahasa
Sunda dan sangat laris di pasaran pada masanya.
Demikian disampaikan Budayawan
Aceh Nab Bahany AS saat menjadi salah satu narasumber di diskusi perdana
Masyarakat Pecinta Sejarah Aceh (Mapesa), yang dilaksanakan di aula BNPB Banda
Aceh, Sabtu, 14 Februari 2015.
"Beliau termasuk penulis di
Balai Pustaka seangkatan dengan Marah Rusli, pencipta roman Siti Nurbaya,"
kata Nab Bahany.
Selain itu, Nab Bahany juga
mengungkap ada dua buku sejarah milik HM Zainuddin yang belum sempat dicetak
karena dibawa banjir. Dua buku tersebut adalah Tarich Aceh dan Nusantara jilid
II dan buku Sastra Aceh Sepanjang Masa.
Riwayat Tuan Dikandang di Gampong Pande
WARGA Gampong Pande, Banda Aceh
menggelar Haul Tuan Dikandang ke 859 di Kompleks Makam Tuan Dikandang desa
setempat, Sabtu, 14 Februari 2015. Kegiatan ini dilaksanakan pukul 12.00
Wib dan dihadiri oleh sejumlah keturunan raja-raja Aceh.
"Ini Haul perdana Tuan
Dikandang yang kita gelar. Kegiatan ini murni inisiatif tokoh-tokoh masyarakat
Gampong Pande dengan tujuan untuk mengenang kembali kebesaran ulama Tuan
Dikandang," ujar Said Zulkarnain Alaydrus, Ketua Panitia Pelaksana Haul
Tuan Dikandang kepada ATJEHPOST.co.
Said Zulkarnain mengatakan Tuan
Dikandang merupakan ulama besar yang datang dari Baghdad bersama 500
pengawalnya. Sebelum bertandang ke Aceh, Tuan Dikandang yang memiliki nama
lengkap Al Makdum Abi Abdullah Syekh Abdurrauf Al Mulakab Tuan Dikandang ini
singgah di India selama setahun.
Cerita Hermansyah, 'Penjaga' Manuskrip Kuno di Aceh
SALAH satu dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar Raniriy, Banda Aceh, Hermansyah telah berhasil mendigitalisasi ribuan manuskrip kuno baik dari Aceh maupun luar Aceh. Teranyar, Herman mengaku berhasil mendigitalisasi naskah Mujarabat dan Astronomi koleksi Museum Aceh pada 15 Januari 2015 lalu.
"Kalau secara pribadi hanya
30 kitab yang sudah saya digitalisasi. Namun kalau secara jamak saya sudah
mendigitalisasi 4.000 kitab sejak 2010 yang didalamnya ada koleksi pribadi,
milik masyarakat, koleksi museum baik dari Aceh, Padang, Jakarta, Malaysia dan
Belanda," ujar Herman kepada ATJEHPOST.co, Selasa, 10 Februari 2015.
Ia mengatakan salah satu kitab
yang sudah didigitalisasi adalah karangan kitab Durr al-Faraid Li Syarh
al-'Aqaid karangan Nuruddin Ar Raniry. "Kitab ini berisi tentang tauhid
dan tasawuf," ujar filologis lulusan UIN Syarif Hidayatullah ini.
11 Februari 1899: Teuku Umar Tewas di Ujong Kala
"Beungoh singoh geutanyoe
jep kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid (Besok pagi kita akan minum
kopi di Meulaboh atau aku akan gugur)."
Kalimat itu tertulis di tugu
Teuku Umar Meulaboh, diyakini sebagai kalimat terakhir yang diucapkannya
sebelum akhirnya tewas di tangan Garnizun Belanda pada 11 Februari 1899, 26
tahun setelah perang Aceh-Belanda dimulai sejak Maret 1873.
Teuku Umar lahir sekitar tahun
1854. Ayahnya adalah Teuku Mahmud dan ibunya seorang adik raja Meulaboh.
Leluhur Umar merupakan perantau dari Minangkabau yang datang ke Aceh pada abad
17.
Gelar Teuku diperoleh dari kakek
Umar yang bernama Nanta Cih sebagai penghargaan atas jasanya membantu Sultan
Alaiddin Syah dalam pertentangannya dengan Panglima Polim dan Sagi XXII. Dengan
bantuan Nanta Cih itu Sultan mendapat kemenangan dan Nanta Cih diberi gelar
Teuku yang diwariskan kepada anak-anak dan cucu-cucunya, antara lain Teuku
Umar.
6 Februari 1939; Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah Mangkat di Pengasingan
ACEH Lamuri Foundation (ALIF) akan menggelar Haul Sultanah Kamalat Syah dan Sultan Alaiddin Muhammad Dawod Syah pada Minggu, 8 Februari 2015. Kegiatan yang digagas bersama lembaga Sejarah Indatu Lamuria Aceh (SILA), Pamong/Penyuluh Budaya dan Duta Museum Aceh ini dilaksanakan di Museum Rumoh Aceh, sekitar pukul 09.30 Wib.
“Sultanah Kamalat Syah merupakan
pengganti Sultanah Zaqiatuddin Inayat Syah. Dia bertahta pada 1688,” ujar Ketua
Alif, Mawardi Usman, kepada ATJEHPOST.co.
Ada dua versi tentang asal-usul
Sultan Kamalat Syah. Pertama, Kamalat Syah adalah putri Raja Umar bin Sutan
Muda Muhammad Muhidudin sekaligus adik angkat dari Sultanah Zaqiatuddin Inayat
Syah. Kedua adalah anak angkat Ratu Sultanah Safiatuddin Syah.
Ia mengatakan di masa
kepemimpinan Sultan Kamalat Syah banyak mendapatkan kunjungan dari Persatuan
Dagang Perancis dan serikat dagang Inggris, dan East Indian Company.
5 Februari 1641; Mangkatnya Sultan Iskandar Tsani
SULTAN Iskandar Tsani Alauddin
Mughayat Syah merupakan Sultan Aceh ketiga belas. Dia merupakan sultan
pengganti setelah Iskandar Muda berkuasa.
Jika melihat dari silsilah
keluarganya, Sultan Iskandar Tsani adalah putera dari Sultan Pahang, Ahmad
Syah. Dia dibawa ke Aceh oleh Iskandar Muda saat Pahang berada di bawah bendera
Kerajaan Aceh Darussalam pada 1617.
Setelah dewasa, Sultan Iskandar
Tsani menikah dengan puteri tertua Sultan Iskandar Muda, yang kelak bergelar
Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin. Iskandar Tsani kemudian dipercaya menggantikan
kedudukan Sultan Iskandar Muda, saat sultan mangkat pada 16 Desember 1636.
Tuesday, March 10, 2015
Benteng Batee Iliek dan Pertempuran Terakhir Teungku Cik Pante Geulima
TEUNGKU Cik Pante Geulima Syekh Ismail bin Yakub tanpa komando dari Kerajaan Aceh Darussalam langsung membentuk pelatihan belanegara sebelum Belanda mengeluarkan ultimatum pada 26 Maret 1873. Dayah Pante Geulima yang telah memiliki hampir seribu santri langsung berubah menjadi kamp pelatihan militer. Setelah peperangan meletus antara Kerajaan Aceh Darussalam dengan Belanda, Teungku Cik Pante Geulima bersama satu balang (batalion) sekitar seribu orang, berangkat ke Aceh Besar untuk mempertahankan Krueng Daroy. Di sana, ia mendirikan kuta reuntang dengan tujuh buah kubu yang sambng menyambung, dengan kubu induk bernama Kuta Bu. (Baca: Teungku Cik Pante Geulima; Panglima Perang di Kuta Reuntang).
Meskipun ibu kota Kerajaan Aceh Darussalam dapat direbut musuh, tapi keberadaan Teungku Cik Pante Geulima di kuta reuntang kerap merepotkan Belanda. Kuta reuntang sama sekali tidak bisa ditembus Belanda selama di bawah kepemimpinan Teungku Cik Pante Geulima. Setelah 3,5 bulan memimpin daerah Krueng Daroy akhirnya Teungku Cik Pante Geulima ditarik kembali ke Pidie oleh Laksamana Teuku Raja Muda Cut Latif. Ia kemudian diutus ke Tanah Batak dan Karo untuk melakukan diplomasi politik dengan raja-raja setempat termasuk dengan Sisingamangaraja XII. (Baca: Peranan Teungku Cik Pante Geulima di Daerah Sisingamangaraja).
Meskipun ibu kota Kerajaan Aceh Darussalam dapat direbut musuh, tapi keberadaan Teungku Cik Pante Geulima di kuta reuntang kerap merepotkan Belanda. Kuta reuntang sama sekali tidak bisa ditembus Belanda selama di bawah kepemimpinan Teungku Cik Pante Geulima. Setelah 3,5 bulan memimpin daerah Krueng Daroy akhirnya Teungku Cik Pante Geulima ditarik kembali ke Pidie oleh Laksamana Teuku Raja Muda Cut Latif. Ia kemudian diutus ke Tanah Batak dan Karo untuk melakukan diplomasi politik dengan raja-raja setempat termasuk dengan Sisingamangaraja XII. (Baca: Peranan Teungku Cik Pante Geulima di Daerah Sisingamangaraja).
Peranan Teungku Cik Pante Geulima di Daerah Sisingamangaraja
SEJAK Belanda mengganggu kedaulatan Kerajaan Aceh Darussalam, pimpinan Dayah Cik Pante Geulima, Syekh Ismail bin Yakub ikut memperkuat barisan militer di Aceh Besar. Ia dipercaya sebagai panglima perang kuta reuntang di Daerah Krueng Daroy selama 3,5 tahun. Keberadaannya di daerah tersebut terus mengancam posisi Belanda yang telah menguasai ibu kota. (Baca: Teungku Cik Pante Geulima; Panglima Perang di Kuta Reuntang)
Pihak Kerajaan Aceh Darussalam telah memperkirakan peperangan menghadapi Belanda akan berlangsung lama. Karenanya, Teungku Cik Pante Geulima Syekh Ismail bin Yakub mendapat mandat mengunjungi Tanah Batak dan Tanah Karo untuk perlawanan menghadapi Belanda. Tugas tersebut dilaksanakan Syekh Ismail dengan mengikutsertakan 400 pasukannya ke wilayah Batak Karo. Di dalam pasukan tersebut terdapat ulama, juru dakwah, dan ahli peperangan. Setiba di wilayah Batak dan Karo, Syekh Ismail bin Yakub mengadakan kontak dengan pemimpin-pemimpin setempat. Salah satunya dengan Pahlawan Batak, Sisingamangaraja XII.
Pihak Kerajaan Aceh Darussalam telah memperkirakan peperangan menghadapi Belanda akan berlangsung lama. Karenanya, Teungku Cik Pante Geulima Syekh Ismail bin Yakub mendapat mandat mengunjungi Tanah Batak dan Tanah Karo untuk perlawanan menghadapi Belanda. Tugas tersebut dilaksanakan Syekh Ismail dengan mengikutsertakan 400 pasukannya ke wilayah Batak Karo. Di dalam pasukan tersebut terdapat ulama, juru dakwah, dan ahli peperangan. Setiba di wilayah Batak dan Karo, Syekh Ismail bin Yakub mengadakan kontak dengan pemimpin-pemimpin setempat. Salah satunya dengan Pahlawan Batak, Sisingamangaraja XII.
Teungku Cik Pante Geulima; Panglima Perang di Kuta Reuntang
DIA merupakan salah satu pejuang yang berjasa dalam perang di benteng Aceh, Kuta Batee Iliek melawan Belanda. Namanya terkenal pada masa perang kolonial, tapi terlupakan dalam catatan sejarah kepahlawanan Indonesia.
“Jenderal K. Van der Heijden, panglima agresor, yang dipaksa atasannya memimpin penyerbuan terhadap benteng Aceh, Kuta Batee Iliek, harus menyerahkan matanya kepada pelor pahlawan-pahlawan Aceh hatta buta, namun Kuta Batee Iliek, salah satu benteng Aceh yang hebat tidak dapat direbutnya. Sehingga dia dicopot dari jabatannya dan diserahkan kepada Jenderal Mayor YB van Heutsz. Salah seorang di antara pahlawan Kuta Batee Iliek yang terkenal adalah Tengku Haji Ismail bin Yakub,” tulis Ali Hasjmy dalam bukunya: Ulama Aceh, Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangun Tamaddun Bangsa.
Haji Ismail bin Yakub merupakan anak Teungku Cik Pante Geulima Yakub. Garis keturunannya yang panjang bermuara kepada Sultan Aceh Saiyiddil Mukamil.
Ali Hasjmy merunut silsilah Haji Teungku Haji Ismail bin Teungku Cik Pante Geulima Yakub bin Teungku di Bale Abdurrahman bin Teungku Muhammad Said bin Teungku Darah Puteh bin Teungku Tok Setia bin Teungku Yakub bin Meurah Puteh bin Meurah Abdullah bin Saiyiddil Mukammil. Leluhur Haji Ismail, yang memiliki nama sama dengan ayahnya, Yakub, memilih jalan berbeda seperti ayah dan kakeknya yang bergelar Meurah. Ia lebih mencintai pendidikan daripada kekuasaan yang kemudian mendirikan Dayah Pante Geulima. Sejak itu semua leluhur Ismail yang memimpin dayah dikenal sebagai Teungku Cik Pante Geulima. Ismail lahir di Pante Geulima, Meureudu, sekitar tahun 1838 atau 1253/1254 Hijriah.
“Jenderal K. Van der Heijden, panglima agresor, yang dipaksa atasannya memimpin penyerbuan terhadap benteng Aceh, Kuta Batee Iliek, harus menyerahkan matanya kepada pelor pahlawan-pahlawan Aceh hatta buta, namun Kuta Batee Iliek, salah satu benteng Aceh yang hebat tidak dapat direbutnya. Sehingga dia dicopot dari jabatannya dan diserahkan kepada Jenderal Mayor YB van Heutsz. Salah seorang di antara pahlawan Kuta Batee Iliek yang terkenal adalah Tengku Haji Ismail bin Yakub,” tulis Ali Hasjmy dalam bukunya: Ulama Aceh, Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangun Tamaddun Bangsa.
Haji Ismail bin Yakub merupakan anak Teungku Cik Pante Geulima Yakub. Garis keturunannya yang panjang bermuara kepada Sultan Aceh Saiyiddil Mukamil.
Ali Hasjmy merunut silsilah Haji Teungku Haji Ismail bin Teungku Cik Pante Geulima Yakub bin Teungku di Bale Abdurrahman bin Teungku Muhammad Said bin Teungku Darah Puteh bin Teungku Tok Setia bin Teungku Yakub bin Meurah Puteh bin Meurah Abdullah bin Saiyiddil Mukammil. Leluhur Haji Ismail, yang memiliki nama sama dengan ayahnya, Yakub, memilih jalan berbeda seperti ayah dan kakeknya yang bergelar Meurah. Ia lebih mencintai pendidikan daripada kekuasaan yang kemudian mendirikan Dayah Pante Geulima. Sejak itu semua leluhur Ismail yang memimpin dayah dikenal sebagai Teungku Cik Pante Geulima. Ismail lahir di Pante Geulima, Meureudu, sekitar tahun 1838 atau 1253/1254 Hijriah.
Pepustakaan Tanoh Abee
"PERPUSTAKAAN (kutubkhanah) ini
milik pribadi keturunan Teungku Chiek Tanoh Abee Al Fairusy Al Bagdady. Di
dalam perpustakaan ini banyak tersimpan manuskrip-manuskrip tentang Islam,
sejarah dan kebudayaan Aceh dari abad 16 hingga abad 19 M."
Demikian isi pamplet Pustaka
Tanoh Abee yang dipancang di depan gerbang kompleks perpustakaan tertua di Asia
Tenggara tersebut. Pustaka ini terletak di Blang Krieng atau Gampong Seuneubok,
Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar.
Di dalam kompleks ini terdapat
dua gedung permanen bantuan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) yang
dibangun medio 2009 lalu. Salah satu bangunan permanen ini langsung menyambut
tamu yang datang dari pintu gerbang utama. Kondisinya kurang terurus lantaran
pembangunan yang disebut-sebut asal jadi.
Teuku Umar Berbalik Arah Melawan Belanda karena Kecewa?
TANTANGAN perang dari Teungku Fakinah, pemimpin sukey (resimen) perempuan Kerajaan Aceh Darussalam bukan satu-satunya alasan Teuku Umar kembali melawan Belanda. Setelah pengkhianatannya terhadap kerajaan, Umar yang diberi julukan Johan Pahlawan dan mendapat kedudukan sebagai panglima besar oleh Belanda tersebut ternyata memendam rasa kecewa. Adalah H Mohammad Said yang mencatat kekecewaan Teuku Umar tersebut dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad jilid II.
Meninggalnya Teungku Ma'at Sang Ulama Tiro
Ilustrasi |
Tongkat estafet jabatan Wali Nanggroe yang diberikan kepada keluarga Tiro menjadi salah satu penyebab tingginya perlawanan Aceh terhadap Belanda. Meskipun Belanda telah menangkap Sultan Aceh terakhir, Sultan Muhammad Dawood namun pejuang Aceh tidak berhenti melakukan perang gerilya. Sejak meninggalnya Syekh Muhammad Saman di Tiro pada 1891, jabatan Wali Nanggroe dipikul oleh anak-anak dan cucunya.
Semasa perang melawan Belanda, jabatan Wali Nanggroe terakhir dijabat oleh Tengku Chik di Tiro Muaz bin Muhammad Amin. Ia merupakan salah satu pemuda yang baru berusia 16 tahun. Teungku Ma'at merupakan nama lain Syeh Ma'at bin Muhammad Amin alias Teungku Chik di Tiro Muaz bin Muhammad Amin merupakan Wali Nanggroe ke tujuh di Aceh yang diangkat pada 1911 setelah meninggalnya Teungku Mahyeddin di Tiro.
Monday, March 9, 2015
Meninggalnya Cut Nyak di Pengasingan
Ilustrasi film Cut Nyak Dhien yang diperankan Christine Hakim |
Saat Cut Nyak Dhien diasingkan dari tanah kelahirannya, Aceh, ke Sumedang, penguasa daerah saat itu berada di tangan Pangeran Aria Suriaatmaja. Kondisi Cut Nyak yang telah renta membuat Pangeran menugaskan seorang ulama Masjid Agung Sumedang, KH Sanusi, merawat istri Teungku Ibrahim Lamnga dan Teuku Umar tersebut. Namun saat itu rumah KH Sanusi sedang diperbaiki dan untuk sementara waktu Cut Nyak Dhien dititipkan selama tiga minggu di rumah H. Ilyas.
Setelah rumah KH Sanusi diperbaiki, baru dibawa kembali ke rumah KH Sanusi. Cut Nyak berada di bawah perawatan KH Sanusi selama setahun karena ulama Masjid Agung tersebut meninggal. Selanjutnya, anak KH Sanusi, H Husna, meneruskan perawatan Cut Nyak Dhien hingga pahlawan asal Aceh itu meninggal dunia pada 6 November 1908. Ibu Perbu lantas dimakamkan di kompleks makam keluarga H Husna, di Gunung Puyuh, Desa Sukajaya, Sumedang Selatan.
Setelah Keureutoe Dipimpin Pang Nanggroe
RUMPUT setinggi lutut orang dewasa tumbuh subur di sekeliling Kompleks Makam Pang Nanggroe dan Pang Lateh yang terletak di Desa Pante, Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara. Jika musim penghujan, lantai makam biasanya tergenang air karena bumbung kanan makam yang terlalu kecil.
Pemerintah Kabupaten Aceh Utara telah memugar kompleks makam ini pada 1992 lalu. Sebelumnya, cungkup makam hanya terbuat dari papan dan seng. Kini cungkup makam dua pahlawan Aceh tersebut telah disulap dengan bangunan permanen dan dilengkapi pagar besi berwarna biru. Pagar juga diberi jaring oleh juru kunci agar tidak masuk hewan ternak yang banyak berseliweran di areal makam. Di depan dan belakang kedua makam itu juga terdapat beberapa kuburan lainnya. Di belakang kompleks makam tersebut ada pabrik padi.
Makam ini diapit lokasi bongkar muat SPSI Lhoksukon Express serta rumah warga di sisi kanan dan kirinya. Lokasi makam mudah dijangkau. Jaraknya tak jauh dari pusat pertokoan Kota Lhoksukon. Jalan masuknya melewati kantor pos setempat. Sedikit belokan ke arah kiri tanggul sekitar 50 meter dari kantor pos. Kompleks makam Pang Nanggroe dan Pang Lateh tidak banyak berubah dari tahun ke tahun. Hanya saja, kini di sekitar jalan masuk makam telah dipagar bambu oleh warga setempat untuk ditanami pohon cabai. Sedangkan di depan kompleks juga terlihat berjejer kandang ayam milik warga.
Pemerintah Kabupaten Aceh Utara telah memugar kompleks makam ini pada 1992 lalu. Sebelumnya, cungkup makam hanya terbuat dari papan dan seng. Kini cungkup makam dua pahlawan Aceh tersebut telah disulap dengan bangunan permanen dan dilengkapi pagar besi berwarna biru. Pagar juga diberi jaring oleh juru kunci agar tidak masuk hewan ternak yang banyak berseliweran di areal makam. Di depan dan belakang kedua makam itu juga terdapat beberapa kuburan lainnya. Di belakang kompleks makam tersebut ada pabrik padi.
Makam ini diapit lokasi bongkar muat SPSI Lhoksukon Express serta rumah warga di sisi kanan dan kirinya. Lokasi makam mudah dijangkau. Jaraknya tak jauh dari pusat pertokoan Kota Lhoksukon. Jalan masuknya melewati kantor pos setempat. Sedikit belokan ke arah kiri tanggul sekitar 50 meter dari kantor pos. Kompleks makam Pang Nanggroe dan Pang Lateh tidak banyak berubah dari tahun ke tahun. Hanya saja, kini di sekitar jalan masuk makam telah dipagar bambu oleh warga setempat untuk ditanami pohon cabai. Sedangkan di depan kompleks juga terlihat berjejer kandang ayam milik warga.
Sunday, March 8, 2015
Napak Tilas Cut Meutia
Ilustrasi |
Menuju makam pahlawan nasional tersebut membutuhkan perjuang ekstra. Selain Buket Pineung Rhuek, tantangan lainnya juga menanti di Gunung Alue Capli, Gunong Angkop, Bukit Cinta dan Gunong Tutue Peut sebelum mencapai Gunong Lipeh.
Informasi yang ditelusuri ATJEHPOST diketahui jarak makam istri Pang Nanggroe ini sekitar 32 kilometer dari pusat kota. Bahkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Utara memasukkan makam Cut Nyak Meutia sebagai salah satu objek kategori wisata minat khusus.
Perjalanan menuju ke daerah tersebut terbilang sulit. Selain jauh, kondisi jalan juga rusak parah dan belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Hanya wisatawan yang memiliki jiwa petualangan mampu menuju lokasi peristirahatan terakhir ibu Putra Rajawali tersebut.
Subscribe to:
Posts (Atom)