Sunday, November 19, 2017

Para Cuak dalam Agresi Militer Belanda di Aceh

Ilustrasi Perang Aceh
SULTAN DELI saat itu telah berganti. Kebijakan politik pun berubah dari menolak pengaruh asing dengan mengakui Belanda. Adalah Sultan Mahmud yang "berjasa besar" memberikan Belanda kekuasaan di Deli saat itu. 

Sultan Mahmud yang menggantikan Sultan Usman bersedia menandatangani perjanjian politik dengan Belanda pada 22 Agustus 1862. Dengan demikian, maka Belanda pun mendapat kesempatan menggunakan wilayah ini menjadi batu loncatan. Hal ini pula yang membuat kekuatan pertahanan Aceh terus terdesak.

Saturday, November 18, 2017

Dua Strategi Belanda Untuk Menghancurkan Aceh

BELANDA benar-benar kehilangan muka saat agresi pertama mereka terhadap Kesultanan Aceh Darussalam menemui kegagalan. Apalagi Belanda kehilangan seorang Jenderal dalam perang tersebut. Berbagai lobi internasional dilakukan Belanda untuk menaklukkan Aceh. Namun, upaya tersebut menemui kegagalan.

Sunday, April 9, 2017

Catatan Perjalanan Sjamsul Kahar Kala Mencari Mante

Saya mengagumi tulisan yang didaur ulang Serambi Indonesia terkait suku Mante. Ditulis Sjamsul Kahar sekitar 40 tahun lalu dengan judul "Mencari Jejak Mante di Pedalaman Aceh." Kini, tulisan itu berubah wujud menjadi: "Ekspedisi ke Masa Lampau." Diterbitkan Minggu, 9 April 2017.
Saya menganggap tulisan ini dapat menjadi referensi untuk catatan sejarah Aceh, karenanya saya memaksakan diri untuk menulis ulang catatan perjalanan Sjamsul Kahar dalam blog ini.

Saturday, August 20, 2016

Rentetan Kudeta Berdarah di Kerajaan Aceh Darussalam

SEPENINGGAL Sultan Alaidin Riayat Syah, kondisi politik di Kerajaan Aceh Darussalam berjalan tidak stabil. Sengketa kekuasaan untuk menduduki tahta terjadi, bahkan cenderung berakhir dengan kudeta berdarah.

Sultan pengganti Alaidin juga tidak lama berkuasa. Ada yang menjabat hanya 4 bulan, dan paling lama setahun. Mereka dilengserkan oleh pihak-pihak yang mengklaim sebagai penguasa sah--yang adalah juga berasal dari keluarga dekat.

Thursday, August 18, 2016

Mengenal Para Sultan Kerajaan Aceh Darussalam

JAMAK generasi awal Aceh mengetahui adanya sebuah kerajaan yang pernah berkuasa penuh di Selat Malaka. Kerajaan ini disegani lawan, baik sesama rumpun Melayu hingga bangsa Eropa. Kerajaan itu di kemudian hari disebut-disebut Aceh Darussalam dengan sultan termasyur Iskandar Muda.

Pun begitu, banyak generasi Aceh di era modern yang mulai awam dengan Kerajaan Aceh Darussalam. Padahal kerajaan ini pernah berjaya di abad 16 dan nyaris menguasai seluruh Malaysia dan Sumatera pada waktu itu. Pusat kekuasaan kerajaan ini berada di ujung utara Pulau Sumatera, dan merupakan bahagian paling utara dan paling barat dari kepulauan Nusantara. Di sebelah barat kerajaan ini terbentang Samudera Hindia, sementara di sebelah timur dan utara membujur Selat Malaka.

Monday, March 28, 2016

Alasan Belanda Menyerang Aceh

Pada dasarnya, Aceh adalah sebuah kerajaan yang berdaulat dan masih menguasai Selat Malaka. Kawasan ini merupakan jalur laut strategis untuk perdagangan di Nusantara.

--Boy Nashruddin Agus--

BELANDA telah menguasai nusantara. Namun tidak untuk Aceh. Kerajaan yang terletak di ujung pulau Sumatera ini seakan menjadi duri dalam daging untuk Belanda yang ingin menguasai Selat Malaka dan jazirah Tanah Melayu. Selama Kerajaan Aceh masih berdaulat, maka selama itu pula bayang-bayang campur tangan asing mengancam posisi Belanda di nusantara.

Fakta ini diperjelas dalam keterangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, James Loudon. Dikutip dari catatan Harry Kawilarang dalam bukunya Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki, menyebutkan, saat itu, Loudon berpesan kepada van de Putte Nieuwenhuijsen pada 25 Februari 1873.

Monumen Maimun Saleh Si Penerbang Dari Aceh

Monumen ini merupakan wujud terima kasih Angkatan Udara Republik Indonesia kepada masyarakat Aceh.

--Boy Nashruddin Agus--

TT-1216 masih terlihat gagah. Badannya masih utuh. Sepasang amunisi, peluru ledak dan detonator juga terlihat nangkring di kiri dan kanan sayapnya. Pesawat tempur Hawk 200 milik TNI Angkatan Udara (AU) tersebut terlihat hebat bercokol di atas beton di Simpang Aneuk Galong, Kecamatan Sukamakmur, Sibreh, Aceh Besar. Saban harinya, Hawk 200 ini diam seribu bahasa menyaksikan moda transportasi darat hilir mudik di jalan Banda Aceh-Medan.

Saturday, December 5, 2015

Crimea, Saat Aceh Membantu Turki Melawan Russia

PENEMBAKAN jet tempur Rusia yang diklaim terbang di atas wilayah udara Turki di perbatasan Suriah memicu ketegangan diantara kedua belah pihak. Turki yang merupakan anggota NATO mengaku mereka telah melakukan hal tersebut untuk melindungi kedaulatan negaranya. Sementara Russia mengklaim, pesawat tempur mereka tidak melewati perbatasan Turki dan masih berada di Suriah.

Jika menilik catatan sejarah, konflik antara Turki dengan Russia bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, pada tahun 1853, pernah terjadi perang besar antara Turki Usmani dengan beberapa negara melawan Rusia. Perang itu dikenal dengan perang Crimea. Perang panjang ini menelan korban ratusan ribu tentara dari kedua belah pihak.

Thursday, August 27, 2015

Mereka Merintis Angkatan Perang Indonesia di Aceh

“Saya menamakan barisan kami ini API, kependekan dari Angkatan Pemuda Indonesia, tetapi yang secara akronimnya juga bisa berarti Angkatan Perang Indonesia. Saya ingat, waktu itu sudah pukul 04.00 dinihari. Teuku Hamid Azwar dan saya bekerja keras, tidak kenal lelah. Secara mendetail, ia membuat analisa mengenai kemampuan personil yang ada. Hasil analisa kami malam itu menghasilkan formasi sementara. Said Ali punya pengetahuan cukup banyak mengenai senjata, ia dicalonkan untuk memegang bidang persenjataan.”

Demikian salah satu penggalan kalimat Sjamaun Gaharu dalam buku “Sjamaun Gaharu; Cuplikan Perjuangan di Daerah Modal” yang ditulis oleh Ramadhan KH. Sjamaun merupakan salah satu tokoh Aceh yang terlibat langsung dalam perang memperebutkan kemerdekaan Indonesia. Dia juga kemudian menjadi salah satu pejabat militer berpengaruh di Aceh.

Sjamaun Gaharu yang awalnya adalah seorang guru di Taman Siswa kemudian berperan aktif dalam mewujudkan Angkatan Perang Indonesia. Hal ini dicatat dengan baik oleh Ramadhan KH dalam autobiografi Sjamaun Gaharu yang diterbitkan pada 1995 lalu.

Kenapa Ada Lambaro yang Disebut Kaphee?

GAMPONG ini menjadi sentral perdagangan Kabupaten Aceh Besar. Lokasinya strategis dan dilintasi jalur Banda Aceh-Medan. Namanya Lambaro Kaphee (kafir). Letaknya hanya berjarak delapan kilometer dari Banda Aceh.

Lambaro Kaphee menjadi sentra perdagangan dan dinilai sebagai ibukota kedua Aceh Besar. Saban harinya, sayur dan buah dari berbagai penjuru Aceh transit di Lambaro Kaphee. Daerah ini tunduk di wilayah administratif Ingin Jaya. Banyak jalur alternatif yang bisa ditempuh menuju daerah ini. Misalnya dari Medan-Banda Aceh atau sebaliknya, dari Bandara SIM Blang Bintang, dan Lampeuneurut menuju pesisir barat Aceh.

Kondisi Lambaro Kaphee yang strategis inilah membuat daerah tersebut diperebutkan semenjak masa kesultanan Aceh. Salah satunya ketika perang Belanda di Aceh pada abad 19.

Monday, August 10, 2015

Saat Sultan Aceh Hendak Menyerang Belanda di Tanah Jawa

KEKUATAN Belanda yang meluas setelah berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan di Jawa dan sebagian Sumatera membuat Sultan Manshur Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam geram. Sultan yang dalam beberapa referensi sejarah disebutkan berkuasa pada 1850-an ini kemudian mengirimkan surat kepada Kekhalifahan Turki Utsmany.

Dalam surat tersebut, Sultan Manshur Syah meminta izin Kekhalifahan Turky di bawah kepemimpinan Sultan Abdul Majid Khan ibnul Marhum Sultan Mahmud Khan untuk menyerang Belanda yang sudah menguasai Batavia (Jakarta).

….Ampun Tuanku sembah ampun, ampun beribu kali ampun, patik anak amas Tuanku, Sultan Manshur Syah ibnul Marhum Sultan Jauharul ‘Alam Syah memohon ampun ke bawah qadam Duli Hadarat yang maha mulia, yaitu Sultan Abdul Majid Khan ibnul Marhum Sultan Mahmud Khan. Syahdan, patik beri maklumlah ke bawah qadam Duli Hadarat, adapun karena patik sekarang ini sangatlah masygul (?) dan serta kesukaran karena sebab Negeri Jawa dan Negeri Bugis dan Negeri Bali dan Negeri Borneo dan Negeri Palembang dan Negeri Minangkabau sudahlah dihukumkan oleh orang Belanda, dan sangatlah susah segala orang yang Muslim, lagi sangatlah kekurangan daripada agama Islam karena sebab keras orang kafir Belanda itu.

Menakar Struktur Bangunan Kuta Di Anjong; Benteng Atau Kuta?

TULISAN ini merupakan tinjauan awal tentang struktur Kuta Di Anjong sebagai hasil observasi yang dilakukan pada Minggu 3 Mei 2015 yang lalu. Rekonstruksi bentuk dan fungsi struktur bangunannya akan dibandingkan dengan pembahasan sekilas perbentengan masa Kesultanan Aceh di kawasan yang sama, Ladong-Krueng Raya.

Langkah ini ditempuh dengan pertimbangan bahwa struktur diperkirakan berasal dari periode yang sama berdasarkan gaya bangunan dan teknologi. Sebagai tinjauan awal diharapkan ada tindak lanjut penelitian arkeologi lebih sistematis untuk mendapatkan bahan-bahan baru yang dapat menjelaskan bentuk dan fungsinya.

Penamaan struktur sebagai Kuta Di Anjong berasal dari penyebutan yang dikenal masyarakat setempat. Saat tulisan ini disusun, belum ditemukan sumber-sumber historis yang dapat dihubungkan dan dapat menjelaskan keberadaannya struktur yang disebut ‘kuta’ tersebut.

Friday, March 20, 2015

Pakaian Orang Aceh Tempo Dulu


SAAT membaca sejarah Aceh abad 16 hingga abad 18 bagaimana bayangan Anda tentang pakaian yang dikenakan penduduknya saat itu? Beberapa orang justru secara spontan akan menjawab pakaian tradisional Aceh adalah kupiah meukutob, kain songket, baju dan celana berwarna hitam yang terbuat dari kain blacu atau jenis kain lainnya. Selain itu, pakaian orang Aceh juga dilengkapi dengan rencong di pinggangnya.

Namun tidak semua orang-orang Aceh berpakaian lengkap dengan baju adat terutama masyarakat kelas bawah yang bukan keluarga istana. Lantas bagaimana pakaian orang Aceh tempo dulu?

Mengenai gaya hidup dan adat kebiasaan orang Aceh ini pernah ditulis oleh Denys Lombard dalam bukunya Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda. Denys adalah salah satu peneliti sejarah dari Prancis. Dalam tulisan yang diterbitkan pada 1967 ini, Denys Lombard telah mencoba membuat suatu analisa terhadap sejarah Aceh tidak hanya berdasarkan pada orientasi Eropa yang banyak dianut oleh sarjana Barat. Namun Lombard telah mencobanya dengan melihat dari "dalam" yakni orientasi Asia.

Peranan Besar HM Zainuddin dalam Penulisan Sejarah Aceh



HM Zainuddin bukan saja seorang penulis buku sejarah tapi juga seorang sastrawan. Karyanya yang begitu monumental adalah roman berjudul Jeumpa Aceh yang sempat dicetak dalam bahasa Sunda dan sangat laris di pasaran pada masanya.

Demikian disampaikan Budayawan Aceh Nab Bahany AS saat menjadi salah satu narasumber di diskusi perdana Masyarakat Pecinta Sejarah Aceh (Mapesa), yang dilaksanakan di aula BNPB Banda Aceh, Sabtu, 14 Februari 2015.

"Beliau termasuk penulis di Balai Pustaka seangkatan dengan Marah Rusli, pencipta roman Siti Nurbaya," kata Nab Bahany.

Selain itu, Nab Bahany juga mengungkap ada dua buku sejarah milik HM Zainuddin yang belum sempat dicetak karena dibawa banjir. Dua buku tersebut adalah Tarich Aceh dan Nusantara jilid II dan buku Sastra Aceh Sepanjang Masa.

Riwayat Tuan Dikandang di Gampong Pande



WARGA Gampong Pande, Banda Aceh menggelar Haul Tuan Dikandang ke 859 di Kompleks Makam Tuan Dikandang desa setempat, Sabtu, 14 Februari 2015. Kegiatan ini dilaksanakan pukul 12.00 Wib dan dihadiri oleh sejumlah keturunan raja-raja Aceh.

"Ini Haul perdana Tuan Dikandang yang kita gelar. Kegiatan ini murni inisiatif tokoh-tokoh masyarakat Gampong Pande dengan tujuan untuk mengenang kembali kebesaran ulama Tuan Dikandang," ujar Said Zulkarnain Alaydrus, Ketua Panitia Pelaksana Haul Tuan Dikandang kepada ATJEHPOST.co.

Said Zulkarnain mengatakan Tuan Dikandang merupakan ulama besar yang datang dari Baghdad bersama 500 pengawalnya. Sebelum bertandang ke Aceh, Tuan Dikandang yang memiliki nama lengkap Al Makdum Abi Abdullah Syekh Abdurrauf Al Mulakab Tuan Dikandang ini singgah di India selama setahun.

Cerita Hermansyah, 'Penjaga' Manuskrip Kuno di Aceh


SALAH satu dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar Raniriy, Banda Aceh, Hermansyah telah berhasil mendigitalisasi ribuan manuskrip kuno baik dari Aceh maupun luar Aceh. Teranyar, Herman mengaku berhasil mendigitalisasi naskah Mujarabat dan Astronomi koleksi Museum Aceh pada 15 Januari 2015 lalu.

"Kalau secara pribadi hanya 30 kitab yang sudah saya digitalisasi. Namun kalau secara jamak saya sudah mendigitalisasi 4.000 kitab sejak 2010 yang didalamnya ada koleksi pribadi, milik masyarakat, koleksi museum baik dari Aceh, Padang, Jakarta, Malaysia dan Belanda," ujar Herman kepada ATJEHPOST.co, Selasa, 10 Februari 2015.

Ia mengatakan salah satu kitab yang sudah didigitalisasi adalah karangan kitab Durr al-Faraid Li Syarh al-'Aqaid karangan Nuruddin Ar Raniry. "Kitab ini berisi tentang tauhid dan tasawuf," ujar filologis lulusan UIN Syarif Hidayatullah ini.

11 Februari 1899: Teuku Umar Tewas di Ujong Kala



"Beungoh singoh geutanyoe jep kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid (Besok pagi kita akan minum kopi di Meulaboh atau aku akan gugur)."

Kalimat itu tertulis di tugu Teuku Umar Meulaboh, diyakini sebagai kalimat terakhir yang diucapkannya sebelum akhirnya tewas di tangan Garnizun Belanda pada 11 Februari 1899, 26 tahun setelah perang Aceh-Belanda dimulai sejak Maret 1873.

Teuku Umar lahir sekitar tahun 1854. Ayahnya adalah Teuku Mahmud dan ibunya seorang adik raja Meulaboh. Leluhur Umar merupakan perantau dari Minangkabau yang datang ke Aceh pada abad 17.

Gelar Teuku diperoleh dari kakek Umar yang bernama Nanta Cih sebagai penghargaan atas jasanya membantu Sultan Alaiddin Syah dalam pertentangannya dengan Panglima Polim dan Sagi XXII. Dengan bantuan Nanta Cih itu Sultan mendapat kemenangan dan Nanta Cih diberi gelar Teuku yang diwariskan kepada anak-anak dan cucu-cucunya, antara lain Teuku Umar.

6 Februari 1939; Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah Mangkat di Pengasingan


ACEH Lamuri Foundation (ALIF) akan menggelar Haul Sultanah Kamalat Syah dan Sultan Alaiddin Muhammad Dawod Syah pada Minggu, 8 Februari 2015. Kegiatan yang digagas bersama lembaga Sejarah Indatu Lamuria Aceh (SILA), Pamong/Penyuluh Budaya dan Duta Museum Aceh ini dilaksanakan di Museum Rumoh Aceh, sekitar pukul 09.30 Wib.

“Sultanah Kamalat Syah merupakan pengganti Sultanah Zaqiatuddin Inayat Syah. Dia bertahta pada 1688,” ujar Ketua Alif, Mawardi Usman, kepada ATJEHPOST.co.

Ada dua versi tentang asal-usul Sultan Kamalat Syah. Pertama, Kamalat Syah adalah putri Raja Umar bin Sutan Muda Muhammad Muhidudin sekaligus adik angkat dari Sultanah Zaqiatuddin Inayat Syah. Kedua adalah anak angkat Ratu Sultanah Safiatuddin Syah.

Ia mengatakan di masa kepemimpinan Sultan Kamalat Syah banyak mendapatkan kunjungan dari Persatuan Dagang Perancis dan serikat dagang Inggris, dan East Indian Company.

5 Februari 1641; Mangkatnya Sultan Iskandar Tsani



SULTAN Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah merupakan Sultan Aceh ketiga belas. Dia merupakan sultan pengganti setelah Iskandar Muda berkuasa.

Jika melihat dari silsilah keluarganya, Sultan Iskandar Tsani adalah putera dari Sultan Pahang, Ahmad Syah. Dia dibawa ke Aceh oleh Iskandar Muda saat Pahang berada di bawah bendera Kerajaan Aceh Darussalam pada 1617.

Setelah dewasa, Sultan Iskandar Tsani menikah dengan puteri tertua Sultan Iskandar Muda, yang kelak bergelar Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin. Iskandar Tsani kemudian dipercaya menggantikan kedudukan Sultan Iskandar Muda, saat sultan mangkat pada 16 Desember 1636.

Tuesday, March 10, 2015

Benteng Batee Iliek dan Pertempuran Terakhir Teungku Cik Pante Geulima

TEUNGKU Cik Pante Geulima Syekh Ismail bin Yakub tanpa komando dari Kerajaan Aceh Darussalam langsung membentuk pelatihan belanegara sebelum Belanda mengeluarkan ultimatum pada 26 Maret 1873. Dayah Pante Geulima yang telah memiliki hampir seribu santri langsung berubah menjadi kamp pelatihan militer. Setelah peperangan meletus antara Kerajaan Aceh Darussalam dengan Belanda, Teungku Cik Pante Geulima bersama satu balang (batalion) sekitar seribu orang, berangkat ke Aceh Besar untuk mempertahankan Krueng Daroy. Di sana, ia mendirikan kuta reuntang dengan tujuh buah kubu yang sambng menyambung, dengan kubu induk bernama Kuta Bu. (Baca: Teungku Cik Pante Geulima; Panglima Perang di Kuta Reuntang). 

Meskipun ibu kota Kerajaan Aceh Darussalam dapat direbut musuh, tapi keberadaan Teungku Cik Pante Geulima di kuta reuntang kerap merepotkan Belanda. Kuta reuntang sama sekali tidak bisa ditembus Belanda selama di bawah kepemimpinan Teungku Cik Pante Geulima. Setelah 3,5 bulan memimpin daerah Krueng Daroy akhirnya Teungku Cik Pante Geulima ditarik kembali ke Pidie oleh Laksamana Teuku Raja Muda Cut Latif. Ia kemudian diutus ke Tanah Batak dan Karo untuk melakukan diplomasi politik dengan raja-raja setempat termasuk dengan Sisingamangaraja XII. (Baca: Peranan Teungku Cik Pante Geulima di Daerah Sisingamangaraja).