"Bahwa adalah bagi baginda itu beberapa sifat kepujian dan perangai yang kebajikan lagi takut akan Allah dan senantiasa sembahyang lima waktu dan membaca kitabullah dan menyuruh orang berbuat kebajikan dan melarang orang berbuat kejahatan seperti yang diturunkan Allah kepada nabi kita Muhammad s.a.w. Dan terlalu sangat adil perihal memeriksai dan menghukumkan segala hamba Allah. Maka daripada berkat daulat dan sa'adat duli yang maha mulia itu jadi banyaklah segala hamba Allah yang salah dan sembahyang menuntut ilmu. Syahdan ialah yang sangat tawadhu'nya akan Allah subhanahu Wata'ala. Maka dianugerahi Allah akan dia lama menjunjung Khalifahnya dan pada masanyalah orang mendapat beberapa galian emas itu dan ialah yang mangeraskan syariat Nabi kita Muhammad s.a.w.”
Demikian Bustanussalatin menukilkan kisah Sultan pertama Aceh Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin yang menggantikan posisi Iskandar Tsani pada 1641. Bustanussalatin merupakan salah satu karya besar yang ditulis Nuruddin Ar Raniri, salah satu ulama besar Kerajaan Aceh Darussalam.
Ratu Tajul Alam Safiatuddin adalah putri kandung tertua Sultan Iskandar Muda yang lahir pada tahun 1612. Ia dinikahkan dengan Sultan Mughal, salah satu anak angkat Sultan Iskandar Muda yang kemudian bergelar Sultan Iskandar Tsani.
Berdasarkan catatan Bustanussalatin, diketahui Ratu Tajul Alam memerintah Kerajaan Aceh Darussalam hingga 34 tahun lamanya. Masa pemerintahannya diwarnai dengan berbagai masalah, salah satunya adalah gesekan perdagangan di Selat Malaka dengan Belanda yang telah menguasai Mataram dan Betawi. Di masanya memerintah juga banyak wilayah Aceh yang jatuh ke tangan Belanda seperti Minangkabau.
Friday, March 6, 2015
Cerita Ganja Aceh, Belanda dan Portugis
UPAYA penelitian ganja di Indonesia merupakan kemajuan dan sesuatu yang baik. Apalagi tumbuhan yang masuk dalam ranah narkotika ini sangat banyak tersebar di Aceh. Hal ini diungkapkan sejarawan Aceh, Rusdi Sufi, saat ditemui tim Lingkar Ganja Nusantara (LGN) di Kerkhoff, Banda Aceh, Jumat 26 September 2014 lalu.
Rusdi Sufi turut menceritakan asal usul ganja yang kini banyak tersebar di Aceh. Berdasarkan sejumlah referensi, katanya, ada dua pendapat soal penyebaran ganja di Aceh.
"Ada pendapat yang mengatakan bahwa ganja dibawa ke Aceh oleh para pelaut Eropa. Pendapat tersebut saat ini mendominasi opini publik terutama di media-meda sosial," ujar Rusdi Sufi, seperti dikutip Peter Dantovski dari LGN melalui siaran persnya, Selasa, 14 Oktober 2014.
Di sisi lain, katanya, ada juga yang berpendapat cannabis sativa merupakan tumbuhan asli Aceh. "Ada banyak versi yang mengatakan bahwa bangsa Aceh telah sejak sangat lampau memanfaatkan ganja sebagai bumbu masakan maupun sebagai obat," kata Rusdi Sufi.
Rusdi Sufi turut menceritakan asal usul ganja yang kini banyak tersebar di Aceh. Berdasarkan sejumlah referensi, katanya, ada dua pendapat soal penyebaran ganja di Aceh.
"Ada pendapat yang mengatakan bahwa ganja dibawa ke Aceh oleh para pelaut Eropa. Pendapat tersebut saat ini mendominasi opini publik terutama di media-meda sosial," ujar Rusdi Sufi, seperti dikutip Peter Dantovski dari LGN melalui siaran persnya, Selasa, 14 Oktober 2014.
Di sisi lain, katanya, ada juga yang berpendapat cannabis sativa merupakan tumbuhan asli Aceh. "Ada banyak versi yang mengatakan bahwa bangsa Aceh telah sejak sangat lampau memanfaatkan ganja sebagai bumbu masakan maupun sebagai obat," kata Rusdi Sufi.
Saat Habib Abdurrahman Menyerah pada Belanda
BELANDA terus menerus mengirimkan serdadunya dalam skala besar untuk menumbangkan kedaulatan Kerajaan Aceh Darussalam. Keberhasilan Belanda merebut Darud Dunia tidak serta merta membuat Aceh takluk. Banyak perlawanan terus bergelora di Aceh Besar, Pedir, Pasai, Daya, dan Meulaboh.
Van Der Heijden memperluas wilayahnya dengan menyerbu Seuneulop, Aneuk Bate, markas Panglima Polem di Aneuk Galong dan terakhir markas Habib Abdurrahman di Montasik.
"Walaupun Montasik jatuh, perlawanan diteruskan. Dalam mempertahankan tempat-tempat mereka pihak Aceh tidak mundur begitu saja walaupun menghadapi kekuatan jauh lebih besar," tulis Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad.
Van Der Heijden memperluas wilayahnya dengan menyerbu Seuneulop, Aneuk Bate, markas Panglima Polem di Aneuk Galong dan terakhir markas Habib Abdurrahman di Montasik.
"Walaupun Montasik jatuh, perlawanan diteruskan. Dalam mempertahankan tempat-tempat mereka pihak Aceh tidak mundur begitu saja walaupun menghadapi kekuatan jauh lebih besar," tulis Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad.
Wednesday, December 17, 2014
Van Daalen Larang Pers Beritakan Perang Aceh
TIGA puluh empat tahun peperangan Belanda di Aceh telah menyebabkan banyaknya korban yang tewas di kedua belah pihak. Belanda yang ingin menguasai Sumatera secara utuh terus menerus mendatangkan bala tentaranya ke Aceh hingga berhasil merebut Darud Donya dan menangkap Sultan Aceh terakhir, Muhammad Daud Syah.
Namun invasi militer yang dilakukan Belanda kerap berujung masalah bagi negeri Kincir Angin tersebut. Penguasa di tanah jajahan pun sering bertindak di luar instruksi Amsterdam yang mengakibatkan kerugian secara moral dan materiil bagi negara tersebut.
Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad, menyebutkan banyak peristiwa yang tidak biasa terjadi di Aceh dengan mudah dapat dipergunakan oleh para pejuang untuk memperhebat semangat penduduk. Bahkan, van Daalen, salah satu perwira militer di Kutaraja (Banda Aceh) diisukan akan dipecat karena tidak mampu mematahkan perlawanan pasukan Aceh.
Namun invasi militer yang dilakukan Belanda kerap berujung masalah bagi negeri Kincir Angin tersebut. Penguasa di tanah jajahan pun sering bertindak di luar instruksi Amsterdam yang mengakibatkan kerugian secara moral dan materiil bagi negara tersebut.
Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad, menyebutkan banyak peristiwa yang tidak biasa terjadi di Aceh dengan mudah dapat dipergunakan oleh para pejuang untuk memperhebat semangat penduduk. Bahkan, van Daalen, salah satu perwira militer di Kutaraja (Banda Aceh) diisukan akan dipecat karena tidak mampu mematahkan perlawanan pasukan Aceh.
Saat Teuku Umar Ditantang Perang Tengku Fakinah
SALAH satu pejuang perempuan Aceh pernah menantang Teuku Umar Johan Pahlawan untuk berperang. Penyebabnya adalah membelotnya Teuku Umar ke kubu Belanda. Pejuang perempuan ini dikenal sebagai panglima perang Sukey Fakinah.
Namanya Tengku Fakinah, istri Tengku Ahmad, seorang ulama di Lampucok, Aceh Besar. Saat peperangan dengan Belanda, Tengku Ahmad syahid di medan perang. Hal inilah yang menjadi pemicu keterlibatan Tengku Fakinah dalam perang sabil.
Merujuk catatan sejarah yang ditulis Ali Hasjmy dalam bukunya Wanita Aceh dalam Pemerintahan dan Peperangan, disebutkan Tengku Fakinah pernah mengirim surat kepada Cut Nyak Dhien.
Namanya Tengku Fakinah, istri Tengku Ahmad, seorang ulama di Lampucok, Aceh Besar. Saat peperangan dengan Belanda, Tengku Ahmad syahid di medan perang. Hal inilah yang menjadi pemicu keterlibatan Tengku Fakinah dalam perang sabil.
Merujuk catatan sejarah yang ditulis Ali Hasjmy dalam bukunya Wanita Aceh dalam Pemerintahan dan Peperangan, disebutkan Tengku Fakinah pernah mengirim surat kepada Cut Nyak Dhien.
Mencari Makam Ratu Inayat Zakiatuddin Syah
SEDIKITNYA ada enam nisan berada dalam kompleks Makam Meuh II, di Kompleks Gedung Juang, Banda Aceh. Nisan-nisan tersebut merupakan milik keluarga Kerajaan Aceh Darussalam.
Di bawah nisan ini berbaring jasad-jasad tokoh penting Aceh masa dulu. Di antaranya adalah Putri Raja Anak Raja Bangka Hulu, Sultan Alauddin Mahmudsyah (1760-1764), Raja Perempuan Darussalam, dan Tuanku Zainal Abidin.
Amatan ATJEHPOST.co di lokasi, Jumat, 3 Oktober 2014, tiga di antara nisan-nisan tersebut memiliki konstruksi berbeda. Bangunan nisan ini lebih besar di bandingkan yang lainnya. Keseluruhan nisan ini berada dalam satu pagar yang luasnya seukuran lapangan tenis.
Di bawah nisan ini berbaring jasad-jasad tokoh penting Aceh masa dulu. Di antaranya adalah Putri Raja Anak Raja Bangka Hulu, Sultan Alauddin Mahmudsyah (1760-1764), Raja Perempuan Darussalam, dan Tuanku Zainal Abidin.
Amatan ATJEHPOST.co di lokasi, Jumat, 3 Oktober 2014, tiga di antara nisan-nisan tersebut memiliki konstruksi berbeda. Bangunan nisan ini lebih besar di bandingkan yang lainnya. Keseluruhan nisan ini berada dalam satu pagar yang luasnya seukuran lapangan tenis.
Sunday, October 26, 2014
Menyibak Ranah Legenda di Ujung Sumatera
"The golden age of Acheh in which the mohammedan law prevailed or in wich the Adat Meukuta Alam may be regarded as the fundamental law of the kingdom, belongs to the realm of legend." (Masa keemasan Aceh, hukum Islam berlaku atau disebut dengan Adat Meukuta Alam. Hukum ini mungkin dianggap sebagai hukum dasar kerajaan, milik ranah legenda).
Begitulah peneliti Belanda Snouck Hougronje menyebut tentang era Kerajaan Aceh dalam bukunya The Achehnese yang versi terjemahannya terbit pada 1906. Namun, pernyataan Snouck terbantah oleh sebuah penelitian yang dilakukan peneliti Perancis Denys Lombard berjudul Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Lahir di Perancis pada 1938, Lombard sudah lama memendam rasa penasaran akan nama besar Sultan Iskandar Muda. Pada 1967, setelah menelusuri sejumlah catatan sejarah tentang Aceh dan Iskandar Muda, ia menyelesaikan penelitiannya. Lombard menyelisik sejumlah dokumen, buku-buku lawas, hingga manuskrip yang tersimpan di sejumlah museum di luar negeri.
Begitulah peneliti Belanda Snouck Hougronje menyebut tentang era Kerajaan Aceh dalam bukunya The Achehnese yang versi terjemahannya terbit pada 1906. Namun, pernyataan Snouck terbantah oleh sebuah penelitian yang dilakukan peneliti Perancis Denys Lombard berjudul Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Lahir di Perancis pada 1938, Lombard sudah lama memendam rasa penasaran akan nama besar Sultan Iskandar Muda. Pada 1967, setelah menelusuri sejumlah catatan sejarah tentang Aceh dan Iskandar Muda, ia menyelesaikan penelitiannya. Lombard menyelisik sejumlah dokumen, buku-buku lawas, hingga manuskrip yang tersimpan di sejumlah museum di luar negeri.
Sunday, October 12, 2014
2 Oktober 1925; Ajaran Ahmadiyah Masuk ke Aceh Selatan
Masjid Ahmadiyah di Lahore. @tropenmuseum.com |
Pria ini merupakan sahabat dekat petinggi Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad. Ia lahir di Rabwah, Pakistan, pada tahun 1893. Tuan Rahmat Ali merupakan "mubalig" pertama Ahmadiyah yang diutus ke Indonesia dari Qadian.
Ia dikenal sebagai 'Sang Penabur Benih Ahmadiyah' di Indonesia. Pria ini merupakan lulusan pertama dari Madrasah Ahmadiyah di Qadian pada 1917. Ia kemudian menjadi guru Bahasa Arab dan Agama pada Ta'limul Islam High School (setingkat SMA) di Qadian.
Tuan Rahmat Ali kemudian dipindahkan ke Departemen Pertabligan (Nazarat Da'wat-o-Tabligh) pada 1924. Setahun kemudian pria ini dikirim ke Indonesia menjadi "mubalig" hingga April 1950.
Bendera Merah Putih Pertama Kali Berkibar di Langsa
Pengibaran Bendera Merah Putih era Proklamasi Indonesia |
Gerakan ini berhasil diatasi otoritas militer Indonesia pada 1 Oktober 1965. Sejak itu, pemerintah Orde Baru menetapkan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Sementara di Aceh, khususnya warga Langsa memiliki makna penting pada tanggal 1 Oktober. Pasalnya, pada 1 Oktober 1945, warga Langsa pertama kali mengibarkan bendera Merah Putih dan mengakui kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945.
27 September 1954; Hasan Tiro Ditahan Imigrasi New York
Hasan Tiro |
Hasan Tiro, yang oleh Wakil Perdana Menteri Sjafruddin Prawiranegara disebut sebagai "pemuda yang pendiam tetapi memberi kesan cerdas dan cukup lincah" tiba-tiba mengguncang dunia politik Indonesia pada 1 September 1954. Penyebabnya, tak lain sepucuk surat yang disebarnya di berbagai surat kabar, dari New York hingga Indonesia. Saat itu, Hasan Tiro yang kelahiran 25 September 1925, berusia 29 tahun.
Menantu Teungku Daud Beureueh, M.Nur El Ibrahimy, dalam bukunya Tgk.M.Daud Beureueh, Peranannya dalam Pergolakan di Aceh, menulis satu bab khusus tentang peran diplomasi yang dimainkan Hasan Tiro di Amerika untuk mendukung "Republik Islam Indonesia" yang di Aceh dipelopori Daud Beureueh.
Pang Nanggroe; Watergeus from Aceh
Pejuang Aceh. @Repro Atjeh Galery |
Sejak menggantikan peranan Chik Tunong sebagai suami Cut Meutia, Pang Nanggroe terus menerus melancarkan serangan kepada Belanda. Ia berhasil menyerang kereta api milik Belanda sebanyak dua kali, menembaki kereta api sebanyak lima kali, menyerang bivak Lhoksukon dua kali, dan penyerangan dengan klewang terhadap perwira Belanda sebanyak lima kali. Semua aksinya tersebut berhasil dilakukan dalam rentang waktu tiga bulan.
Ia juga berhasil merusak rel kereta api sebanyak 22 kali dan menyabotase tiang telepon sebagai jalur komunikasi Belanda sebanyak 54 kali, dalam waktu yang sama.
Sejarah Aceh 26 September; Dari Medali Kehormatan Hingga Gugurnya Pahlawan
@atjehgalery/facebook |
Berdasarkan penelusuran ATJEHPOST.co, ada beberapa peristiwa yang terjadi bertepatan pada 26 September sejak era kerajaan hingga saat ini. Dari sekian banyak rentetan peristiwa tersebut, ada tiga peristiwa sejarah yang berhasil dirangkum redaksi seperti di bawah ini: 1. Van der Heijden menjadi Mayor Jenderal pada 26 September 1878
Van der Heijden menjadi Mayor Jenderal pada 26 September 1878
Van der Heijden merupakan Gubernur Militer Belanda di Aceh yang bertugas menumpas perlawanan Kerajaan Aceh Darussalam. Salah satu catatan sejarah tulisan H Mohammad Said berjudul Aceh Sepanjang Abad menuliskan Belanda memberikan kehormatan kepada van der Heijden dengan menaikkan pangkat menjadi Mayor Jenderal, pada 26 September 1878.
Genderang Perang Daud Beureueh
“Kamoe keumeung peubuet buet.”
Inilah kalimat pertama yang disampaikan Ayah Gani saat bertandang ke Jakarta ketika menemui M. Nur El Ibrahimy sebelum meletusnya “Peristiwa Berdarah” di Aceh pada 21 September 1953. Selain Ayah Gani dan M. Nur El Ibrahimy, hadir dalam pertemuan tersebut Ali Muhammad dan Mohammad Amin Basyah. Ayah Gani turut mengajak M. Nur El Ibrahimy untuk ikut mendukung gerakan tersebut.
“Tidak perlu Teungku pulang ke Aceh,” katanya. “Cukup tinggal di Jakarta saja,” kata Ayah Gani.
“Kapan gerakan itu akan dimulai?” tanya M. Nur El Ibrahimy.
“Pokoknya tak lama lagi, sebab rakyat Aceh dewasa ini ibarat buah di pohon yang sudah cukup matang, jika tidak segera dipetik akan kematangan dan akan jatuh sendiri nanti,” ujar Ayah Gani.
“Bagaimana tentang persenjataan, pembiayaan, dan sumber bantuan selanjutnya apalagi jika gerakan itu memakan waktu yang lama?”
Maklumat Daud Beureueh Mendirikan Darul Islam di Aceh
Pasukan Darul Islam. @Repro |
Kekesalan Daud Beureueh juga memuncak saat berkembangnya isu PM Ali Sastroamidjojo ingin menghabisi 300 nyawa tokoh-tokoh di Aceh dalam daftar hitam. Akhirnya Gubernur Militer Aceh ini mendeklarasikan daerah tersebut tunduk di bawah pemerintahan Negara Islam Indonesia pimpinan SM Kartosoewirdjo.
Surat Kedua Diplomasi Politik Gubernur Sumatera Utara
SM Amin (tengah). @Repro |
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo menyikapi deklarasi Daud Beureueh dengan senjata. Ia mengirimkan serdadu militer ke Tanoh Rencong untuk menumpas pemberontakan yang dianggap membahayakan Indonesia.
Berbagai upaya dan pendekatan dilakukan untuk mengamankan situasi Aceh saat itu secara pribadi oleh Mr. SM. Amin, yang menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara.
Pendekatan Politik Gubernur Sumatera Utara Meredam Konflik Aceh
Warga menyaksikan rumah yang dibakar TNI. @Repro |
Meredam pergolakan tersebut, Gubernur Sumatera Utara, Mr SM Amin merayu Tengku Daud Beureueh untuk turun gunung. Berbagai upaya dilakukan petinggi Sumatera Utara tersebut termasuk mengirimkan surat atas nama pribadi kepada komandan tertinggi Darul Islam di Aceh.
Berikut petikan surat pertama Mr. SM. Amin kepada Daud Beureueh seperti dikutip dari buku Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik Mr. SM. Amin karangan AH Gelanggang:
Tengku Daud Beureueh Dinobatkan Sebagai Wali Negara
Warga Aceh menunggu kedatangan Tengku Daud Beureueh. | @Repro |
“Pemberontak Islam yang puluhan ribu banyaknya itu memperbicangkan persoalan tersebut sehingga menambah hangat politik di Aceh,” tulis AH Gelanggang dalam bukunya Rahasia Pemberontakan Aceh dan Kegagalan Politik Mr. SM Amin.
Di tengah memanasnya suasana politik di Aceh, Darul Islam memperingati ulang tahun kedua proklamasi Negara Islam Indonesia pada 21 September 1955. Saat itu, pemimpin tinggi DI/TII Aceh turut mengadakan konferensi di Batee Kureng.
Sembilan Poin Penting Rumusan Majelis Syura Amanah Konggres Batee Kureng
Anggota Negara Bagian Atjeh (NBA) NII. @Repro |
Rapat ini kemudian memutuskan untuk menyetujui program politik Pemerintah Negara Bahagian Atjeh Kabinet Hasan Aly. Berdasarkan catatan AH Gelanggang dalam bukunya Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik Mr. SM Amin, menyebutkan ada sembilan poin keputusan yang dihasilkan rapat tersebut.
Sembilan poin ini adalah:
Saat Daud Beureueh Menabuh Genderang Perang Melawan Jakarta
Tengku Daud Beureueh bersama pasukan. @Repro |
Apalagi Aceh yang sedianya menjadi daerah modal kemerdekaan bagi Indonesia malah dileburkan ke dalam Provinsi Sumatera Utara, tahun 1950.
Sejarawan berkebangsaan Belanda, Cornelis Van Dijk, menyebutkan kekecewaan Daud Beureueh terhadap Jakarta semakin berat dengan beredarnya rumor tentang sebuah dokumen rahasia dari Jakarta. Dokumen itu disebut-sebut dikirim oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang isinya berupa perintah pembunuhan terhadap 300 tokoh masyarakat Aceh.
Wednesday, October 1, 2014
Ratu Nahrisyah; Pemilik Makam Indah di Samudera Pasee
Ratu Nahrisyah memimpin Kerajaan Samudera Pasai pada tahun1416-1428 M. Ia dikenal sebagai seorang yang arif dan bijaksana. Nahrisyah mangkat pada tanggal 17 Zulhijjah 831 H atau 1428 M.
Beberapa referensi menyebutkan Kerajaan Nakur pernah menyerang Pase pada 1470 M. Dalam pertempuran tersebut, suami Nahrisyah tewas. Ia pun kemudian bersumpah di hadapan rakyatnya.
“Siapapun yang dapat membunuh Raja Nakur, saya bersedia untuk menikah dengannya dan memerintah kerajaan ini bersama suami saya tersebut.”
Beberapa referensi menyebutkan Kerajaan Nakur pernah menyerang Pase pada 1470 M. Dalam pertempuran tersebut, suami Nahrisyah tewas. Ia pun kemudian bersumpah di hadapan rakyatnya.
“Siapapun yang dapat membunuh Raja Nakur, saya bersedia untuk menikah dengannya dan memerintah kerajaan ini bersama suami saya tersebut.”
Subscribe to:
Posts (Atom)