GENERASI Aceh dalam beberapa dekade terakhir nyaris kehilangan identitas lantaran lupa dengan sejarah bangsanya sendiri yang pernah berjaya di masa lalu. Pengetahuan tersebut hampir saja tercerabut hingga ke akar-akarnya akibat perang yang berkepanjangan dan musnahnya ribuan kitab di beberapa dayah tradisional, pada abad 18 hingga abad 19 Masehi. Beruntung pasca Indonesia merdeka, beberapa tokoh kembali membuka identitas Aceh yang sempat tenggelam meskipun dibutuhkan banyak sekali penelitian mendalam untuk dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Di antara para tokoh itu adalah Ali Hasjmy mantan Gubernur Aceh, Tgk Abdullah Ujong Rimba, Hasan Tiro sang deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM), HM Zainuddin, dan H M Said.
Selain tokoh-tokoh tersebut ada pula Isa Sulaiman, Gade Ismail, T Ibrahim Alfian, dan Rusdi Sufi yang semasa hidup pernah tercatat sebagai akademisi Universitas Syiah Kuala. Begitu pula dengan TA Talsya dan H Harun Keuchik Leumik yang karya-karyanya identik dengan wawasan masa lalu.
Namun sederet tokoh tersebut kini telah kembali menghadap Sang Khalik. Ada yang meninggal karena faktor usia, sakit serta ada juga yang menjadi korban gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 lalu.
Meskipun para sejarawan tersebut telah meninggal, akan tetapi karya-karyanya yang sedikit banyak telah mengungkap siapa Aceh di mata dunia di abad pertengahan, masih dapat ditemukan dan dikonsumsi generasi muda saat ini. Walaupun banyak karya-karya sejarah itu perlu diluruskan, dikaji secara mendalam atau dibuktikan secara ilmiah agar dapat diadopsi di bangku pendidikan serta tidak lari dari fakta atau peristiwa masa lalu yang cenderung berubah karena kondisi politik dalam negeri atau global.
Mereka-mereka yang telah pergi itu turut meninggalkan “pondasi sejarah” untuk dapat digali lagi oleh generasi muda Aceh masa depan. Kepergian mereka merupakan pukulan besar bagi Aceh, meskipun kemudian ada yang memberanikan diri meneruskan tongkat estafet untuk menjaga, meneruskan, dan meneliti sejarah Aceh secara lebih mendalam.
Diantara para perawat ingatan itu ada yang berasal dari akademisi dan memiliki latarbelakang ilmu sejarah, antropologi, sosiologi atau arkeologi dari bangku kuliah, tetapi ada juga yang berasal dari masyarakat biasa, kolektor dan bahkan wartawan.