Friday, March 14, 2025

Jenderal Belanda Mati di Aceh

JENDERAL Johannes Ludovicus Jakobus Hubertus Pel lahir di Maastricht, Belanda pada 10 Januari 1823. Dia merupakan pengganti Jenderal van Swieten untuk menjadi Gubernur Belanda di Aceh.

Wilayah kekuasaan Belanda di Aceh sempat meluas dari Kota Raja (Darud Dunya) hingga Krueng Raba.

Namun, Pel akhirnya mati di Bivak Tunga, Lamnyong, Aceh Besar pada 24 Februari 1876 pada usia 53 tahun.

Tentang kematiannya ini penuh misteri. Sumber Belanda secara samar-samar menyebut, Pel mati karena melemahnya konstitusi mereka di Aceh. Hal ini seperti ditulis Uitgave v Nijgn & Van Ditmar dalam buku De Atjeh Onlusten in 1896.

Tugas Schmidt dan Kolone Macan di Tangse

PASUKAN Kolone Macan Marsose di bawah komando Schmidt mendapat tugas untuk mengamankan wilayah Tangse dan memburu ulama Tiro pada 28 Februari 1910. Mereka diwajibkan membersihkan Tangse dari pejuang Aceh, khususnya para ulama Tiro seperti Teungku Chik Mayet dan Teungku Buket-- putra almarhum Teungku Saman Chik di Tiro, serta para pendukungnya.

Pasukan pimpinan Schmidt tersebut juga mendapat tugas untuk memburu Teuku Dagang Blang Jeurat alias Teuku di Tangse, pemimpin pasukan Aceh di kawasan Tangse, Kaway XII, bersama para pendukungnya seperti Pang Cut Ben dan Keuchik Ben Man.

Kolone Macan Marsose dengan memboyong 24 pekerja paksa dalam perjalanannya tersebut turut ditugaskan menyerang kelompok pasukan Petua Gam Masen yang dikenal memiliki pengaruh dari Masen (Pantai Barat Aceh). Petua Gam Masen dikenal kebal senjata dan juga seorang pawang harimau.

Aksi TPR Merebut Kutaraja

LASKAR Dewan Perjuangan Rakyat (DPR) di bawah pimpinan Husin Al Mujahid merebut Kutaraja (Banda Aceh) yang menjadi pusat pemerintahan Residen Aceh pada 3 Maret 1946. Perebutan ibu kota ini dilakukan Amir Husin Al Mujahid dalam rangka gerakan revolusi sosial yang dilakukan kalangan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) untuk menumpas kekuasaan para uleebalang--yang masa itu disebut kaum feodal.

Dikutip dari buku Memorandum tentang Peristiwa Pemberontakan DI TII di Atjeh terbitan TT I Bukit Barisan, sasaran utama kelompok Amir Husin Al Mujahid adalah merebut kekuasaan Residen Aceh dari tangan Teuku Nyak Arief dan militer dari tangan Syamaun Gaharu. Dalam gerakannya, Amir Husin Al Mujahid dan pasukannya melakukan konvoi dari Seulimuem, Aceh Besar, menuju Banda Aceh menggunakan 40 unit truk. Sebelumnya mereka melakukan konvoi dalam rangka unjuk kekuatan dari Idi, Lhokseumawe, Sigli hingga Seulimuem.

Sunday, March 9, 2025

Pembantaian di Gampong Pulot, Cot Jeumpa dan Krueng Kala Terungkap

APARAT keamanan mengeksekusi 10 orang warga di Krueng Kala, Aceh Besar pada 4 Maret 1955. Peristiwa ini terungkap setelah Achmad Chatib Ali atau sering disingkat Acha, seorang wartawan, menerbitkan laporan investigasinya berjudul "Bandjir Darah di Tanah Rentjong" di Koran Peristiwa edisi 3 Maret 1955 dan disusul dengan daftar korban pada edisi 10 Maret 1955. 

Pembantaian yang terjadi di Krueng Kala tersebut merupakan serangkaian peristiwa imbas penyerangan anggota Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) terhadap satu unit truk militer yang membawa 16 tentara dan beberapa drum minyak di jalur pendakian Gunong Paro. Penyerangan tersebut dipimpin oleh Pawang Leman.

Balas dendam untuk mencari kelompok Pawang Leman yang dilakukan tentara tersebut sebelumnya juga terjadi di Gampong Cot Jeumpa pada 28 Februari 1955. Dalam peristiwa itu sebanyak 64 warga dieksekusi. 

Sebelumnya pada 25 Februari 1955, tentara juga menembak 25 petani dari Gampong Pulot, Aceh Besar, karena geram tidak menemukan pasukan Pawang Leman.

Dari tiga peristiwa tersebut, sebanyak 99 orang warga menjadi korban. Sebanyak 64 orang diantaranya yang berasal dari Cot Jeumpa dikubur dalam dua liang besar.

Laporan Dewan Delapan

DEWAN Delapan dari Penang melaporkan perkembangan politik internasional kepada Sultan Aceh melalui Panglima Polem Seri Muda Perkasa dan Panglima Sagi XXVI bergelar Panglima Setia Alam pada 20 Muharram 1291 Hijriah atau 9 Maret 1874 (Versi Ali Hasymi menyebut laporan itu disampaikan pada 8 Maret 1874).

Dalam laporannya, Ketua Dewan Delapan, Teuku Paya, menyebutkan bahwa perselisihan antara Kerajaan Aceh dengan Belanda telah menjadi perbincangan di negeri-negeri Eropa. Dewan Delapan bahkan menyebutkan akan adanya bantuan yang diterima Aceh dari Inggris di bawah kepemimpinan Ratu Victoria.

Mengutip Ali Hasjmy dalam buku "Penyebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda", disebutkan bahwa Dewan Delapan juga optimis akan ada campur tangan Eropa dalam perang melawan Belanda di Aceh. Diharapkan campur tangan dunia barat itu mampu membuat Belanda mengakhiri blokade laut di Aceh.

Selain itu, mengutip H M Said dalam buku Aceh Sepanjang Abad Jilid II, Dewan Delapan juga mengabarkan adanya pergantian jabatan Perdana Menteri Inggris dari Gladstone kepada Disraeli. Glandstone dicopot dari jabatannya lantaran terlalu memihak Belanda sehingga merugikan Aceh. Sementara Disraeli dianggap tidak akrab dengan Belanda.

Serangan 6 Maret 1907

BELANDA memang berhasil membuat Sultan Muhammad Daud Syah menyerahkan diri usai menangkap dua permaisuri dan putra mahkota, Tuanku Ibrahim. Namun, perlawanan orang-orang Aceh melawan Belanda belum usai, baik secara de facto maupun de jure.

Di lapangan, perang terus berlanjut meski tak lagi dipimpin secara terpusat di bawah bendera Kerajaan Aceh. Pejuang-pejuang Aceh bergerak sendiri-sendiri setelah panglima perang tertinggi ditangkap Belanda. 

Jika pada awal-awal pasukan Aceh memilih perang frontal, pada akhirnya mereka terpaksa memilih jalan hit and run alias bergerilya. Strategi inilah yang membuat Belanda sempat pusing, sebelum akhirnya mereka membentuk pasukan antigerilya bernama marsose.

Pun banyak pejuang Aceh yang gugur di tangan unit baru KNIL tersebut, khususnya Kolone Macan, tetapi tidak membuat para patriotik dengan serta merta angkat tangan dan menggantung senjata. Keuchik Seuman dan Pang Usoih, misalnya.

Dua sosok itu bersama pasukannya bahkan berani menyerang Belanda di ibu kota, Kutaraja, pada 6 Maret 1907. Serangan mendadak ini mengejutkan van Daalen di Kutaradja, pejabat Hindia Belanda di Batavia, dan bahkan petinggi Belanda di Den Haag. 

Identitas Teuku Raja Sabi Terungkap

TEUKU Raja Sabi alias Putra Rajawali, yang merupakan anak dari Cut Meutia, sempat berkelana usai ibunya syahid dalam peperangan melawan Belanda. Dalam pelariannya dari kejaran Belanda, seperti dicatat H. M Said dalam buku Aceh Sepanjang Abad Jilid II, Teuku Raja Sabi pernah menyambangi Panton Labu dan Simpang Ulim, serta beberapa daerah lain yang ada di Aceh.

Belanda memiliki kepentingan besar terhadap Teuku Raja Sabi untuk meredam perjuangan rakyat di wilayah Keureuto. Wilayah ini merupakan bekas daerah kekuasaan keluarga Teuku Raja Sabi yang pernah dipimpin oleh sang ayah, Teuku Chik Tunong dan Cut Meutia. Pada awalnya, Teuku Raja Sabi yang ikut bergerilya bersama Cut Meutia, menghilang setelah ibunya tersebut syahid di Pucok (hulu) Krueng Peuteo bersama Teungku Paya Bakong atau populer dikenal Teungku Mata Ie, Teungku Mat Saleh dan lima pengawalnya. Menurut Zakaria Ahmad dkk dalam buku "Cut Nyak Meutia", ketika pasukan Mosselman mengepung lokasi persembunyian para pejuang Aceh tersebut, Teuku Raja Sabi sedang memancing di sungai. Setelah kehilangan Cut Meutia, Teuku Raja Sabi yang masih belia terus bergerilya bersama sisa pasukan setianya seperti Pang Badon dan Pang Lotan. Hingga akhirnya, pasukan yang mengikuti Teuku Raja Sabi satu per satu gugur karena sergapan Belanda. Dia akhirnya tinggal seorang diri dan tetap memilih bergerilya di belantara Aceh.

Siapa Malahayati?

"...𝑩𝑨𝑯𝑼 𝑫𝒂𝒗𝒊𝒔 𝒅𝒊𝒕𝒆𝒑𝒖𝒌. 𝑺𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒌𝒐𝒎𝒊𝒔𝒂𝒓𝒊𝒔 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒖𝒎𝒖𝒎𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒂𝒅𝒂 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝑪𝒊𝒏𝒂 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒌𝒂𝒑𝒕𝒆𝒏𝒏𝒚𝒂. 𝑩𝒖𝒕𝒖𝒉 𝒃𝒆𝒃𝒆𝒓𝒂𝒑𝒂 𝒔𝒂𝒂𝒕 𝒔𝒆𝒃𝒆𝒍𝒖𝒎 𝒅𝒊𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒄𝒂𝒑𝒂𝒊 𝒉𝒂𝒍𝒖𝒂𝒏. 𝑫𝒊𝒂 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔 𝒎𝒆𝒏𝒅𝒐𝒓𝒐𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒈𝒊𝒕𝒖 𝒃𝒂𝒏𝒚𝒂𝒌 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒂𝒏 𝒉𝒂𝒎𝒑𝒊𝒓 𝒕𝒆𝒓𝒋𝒂𝒕𝒖𝒉 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒄𝒆𝒍𝒂𝒏𝒂 𝒑𝒂𝒏𝒋𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒑𝒂𝒕𝒖 𝒃𝒐𝒕 𝒍𝒖𝒎𝒑𝒖𝒓 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒊𝒏𝒈𝒈𝒊. 𝑫𝒊 𝒔𝒂𝒏𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒅𝒊𝒓𝒊 𝑳𝒐𝒏𝒈 𝑷𝒊 - 𝑳𝒐𝒏𝒈 𝑷𝒊 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒆𝒏𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒑𝒂𝒌𝒂𝒊𝒂𝒏 𝒃𝒊𝒓𝒖, 𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒎𝒆𝒋𝒂 𝒄𝒐𝒌𝒍𝒂𝒕 𝒕𝒖𝒂 - 𝒘𝒂𝒋𝒂𝒉𝒏𝒚𝒂 𝒔𝒆𝒕𝒆𝒏𝒈𝒂𝒉 𝒕𝒆𝒓𝒔𝒆𝒎𝒃𝒖𝒏𝒚𝒊 𝒅𝒊 𝒃𝒂𝒘𝒂𝒉 𝒕𝒐𝒑𝒊 𝒓𝒖𝒏𝒄𝒊𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒔𝒂𝒓."


Begitulah sepenggal kisah yang dicatat oleh Marie van Zeggelen dalam bukunya Oude Glorie. Dalam buku ini pula, Marie mencatat tentang kisah terbunuhnya Cornelis de Houtman, seorang kapten dari kapal Belanda ketika menyambangi Kesultanan Aceh Darussalam.

Marie mengisahkan peristiwa tersebut terjadi di masa Sultan Alauddin memerintah Kerajaan Aceh. Namun, dari catatan itu, Marie van Zeggelen turut menambahkan bahwa, Sultan Muhammad Syah--yang merupakan anak Sultan Alauddin--adalah penguasa sebenarnya di kerajaan tersebut.

Tak hanya itu, Marie van Zeggelen turut membubuhkan nama seorang laksamana wanita bernama Hayati. Perempuan tersebut merupakan pendukung setia Sultan Alauddin.

Marie van Zeggelen juga turut mengisahkan bahwa Hayati-lah yang langsung memimpin penyerangan terhadap kapal de Leeuwin dan menangkap kapten kapal Frederick de Houtman. Sementara kapten Cornelis de Houtman dan keluarganya tewas di kapal 'de Leeuw'.

Sunday, December 29, 2024

"Mengapa Harus Sejarah?"

"Mengapa harus sejarah?"

Begitulah anak laki-laki saya bertanya ketika dia melirik apa yang saya kerjakan dalam beberapa hari terakhir ini. Pertanyaan itu muncul begitu saja, tidak berdasarkan pesanan ibunya atau orang lain. Dia hanya penasaran, mengapa ayahnya begitu menyukai sejarah, membaca tulisan sejarah atau gemar menulis tentang sejarah.

Sedari kecil, anak laki-laki saya memang kadung mempertanyakan buku-buku yang ada di rak bertema tentang sejarah. Saya menjelaskan sebisanya ketika usianya begitu belia.

Kini, pertanyaan itu kembali keluar dari putra tertua saya di usianya yang sudah menginjak sepuluh tahun.

"Ayah lagi baca sejarah apa?" Tanya anak saya di lain waktu ketika saya sedang membaca buku.

"Ayah sedang menulis tentang sejarah apa? Abang mau tahu," selidik putra tertua saya yang tak jarang kritis tentang apa yang saya kerjakan, sembari terus memainkan tongkat dari gagang sapu di tangannya.

Wednesday, February 7, 2024

Peristiwa Februari dalam Lintasan Sejarah Aceh

KEMARIN, 3 Februari 2024, bertepatan dengan peristiwa tragis yang pernah terjadi pada 25 tahun lalu di Aceh Timur. Puluhan jenazah warga Aceh ditemukan di Sungai (Krueng) Arakundo yang letaknya sekitar 23 kilometer sebelah barat Idi Cut. 

Berdasarkan data Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) jumlah jenazah yang ditemukan mencapai 58 orang. Masih berdasarkan catatan KontraS, jenazah yang ditemukan tersebut dimasukkan ke dalam goni dan diikat dengan batu. 

Dari keterangan saksi mata yang dihimpun KontraS, para korban merupakan warga yang mengikuti ceramah di Aceh Timur. Ceramah tersebut dihentikan oleh TNI karena dituding menjadi media Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk ajang propaganda pada 3 Februari 1999 lalu. Saksi mata turut menyebut sempat terdengar suara rentetan tembakan pasca penghentian kegiatan ceramah malam itu.

Peristiwa yang kelak disebut tragedi Arakundo itu merupakan satu dari sekian banyak kejadian yang terjadi pada bulan Februari, berdasarkan catatan sejarah panjang daerah ini.

Pada bulan yang sama, rentang waktu berabad-abad sebelumnya, tepat pada 15 Februari 1641, juga terjadi peristiwa yang kelak dicatat dalam sejarah. Pada tanggal itu, H. M Zainuddin dalam buku Tarich Aceh dan Nusantara Jilid 1 mencatat, Sultan Iskandar Tsani Ala'addin Mughayat Syah mangkat secara tiba-tiba di istana Sultan Aceh. 

Tidak diketahui penyebab mangkatnya sang pemimpin pengganti Sultan Iskandar Muda tersebut. Namun, berdasarkan catatan H. M. Zainuddin, di masa pemerintahan Iskandar Tsani terjadi polemik antara pengikut Syekh Nuruddin Ar Raniry dengan Hamzah Fansuri. 

Sejarah Panjang Aceh di Bulan Januari

JANUARI
dalam tahun Masehi menyimpan banyak peristiwa penting yang kelak menjadi sejarah perjalanan Aceh menjadi seperti sekarang. Pada Januari, peristiwa demi peristiwa yang mengubah wajah Aceh pada masa lalu menjadi seperti sekarang kemudian dicatat oleh militer Belanda selama genderang perang ditabuh di atas kapal perang.

Catatan militer Belanda itu selanjutnya turut menjadi rujukan berbagai peristiwa yang ditulis sejarawan pasca kemerdekaan Indonesia. Sejarah ini belum tentu benar, akan tetapi dapat menjadi panduan sementara untuk mengetahui apa yang terjadi di Aceh pada masa lalu.

Generasi muda Aceh perlu berpikir kritis dalam menyikapi catatan sejarah daerah yang bersandar pada catatan "pemenang perang". Penelitian ilmiah dan kajian-kajian kritis untuk menganalisa sebuah peristiwa juga diperlukan agar sejarah Aceh tidak menjadi dongeng, atau dongeng malah menjadi sejarah.

***

Wednesday, December 27, 2023

Desember dalam Catatan Panjang Sejarah Aceh

ACEH memiliki sejarah panjang di bulan Desember jika merujuk pada penanggalan tahun berdasarkan perhitungan kalender Masehi. Beberapa peristiwa yang tak bisa dilupakan begitu saja terjadi pada akhir tahun, sejak beberapa dekade hingga hitungan abad. Apa saja itu?

Dari penelusuran singkat penulis, terdapat beberapa kejadian yang terkadang mengubah jalannya sejarah Aceh di masa kini. Kejadian-kejadian tersebut antaranya berkaitan dengan peristiwa duka maupun aktivitas yang berkaitan dengan politik ideologi kedaerahan.

Berbagai rujukan kejadian yang kini menjadi sejarah tersebut dimulai dari tanggal 23 Desember 1389 Masehi atau bertepatan dengan hari Jum'at, 14 Zulhijjah 791 Hijriah. Pada hari itu, berabad-abad lampau, seorang sultanah dari Kerajaan Sumatrah (Pasai) bernama Sultanah Al' Ala mangkat. Dia merupakan putri Sultan Malikuzzahir (Malik at Thahir) yang memimpin Kerajaan Sumatrah.

Penanggalan mangkatnya sang sultanah itu terukir dengan jelas di batu nisan yang kelak ditemukan di kompleks pemakaman para raja di Peut Ploh Peuet, Gampong Minyek Tujoh, Kemukiman Ara, Aceh Utara. Hal itu kemudian dicatat dengan runut oleh H. Mohammad Said, dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad Jilid I.

Sejarah lain yang terjadi pada akhir tahun Masehi adalah terkait permintaan maaf pimpinan Dinasti Oranje kepada Sultan Aceh. Bertanggal 11 Desember 1600 Masehi, Prince Maurist de Nassau yang memimpin Dinasti Oranje di Belanda mengirim utusan ke Aceh. 

Tuesday, April 4, 2023

Paya Reubee dalam Catatan Sejarah Aceh

Ilustrasi pasukan Marsose dalam formasi bertahan. Sumber foto: KITLV/Tropen Museum

PAYA Reubee menjadi tempat strategis  bagi Belanda untuk memenangkan perang di sebagian kawasan Pidie. Lokasi dengan bentang alam berawa ini berada di suatu bagian yang tercatat masuk dalam V Mukim Reubee--yang di dalamnya berdiri beberapa perkampungan penduduk seperti Gampong Reubee, Beuah, Hagoh, dan Peudaya. Keseluruhan pemukiman penduduk ini bercokol tak jauh dari rawa yang menjadi tempat penting bagi pejuang Aceh melakukan serangan-serangan gerilya terhadap patroli Belanda.

Paya Reubee juga menjadi basis para pejuang untuk melakukan sabotase terhadap pelintasan kereta api jalur Sigli dan Padang Tiji. Belanda yang sudah menguasai beberapa titik daratan milik Sultan Aceh sudah lama berhajat untuk menghancurkan pertahanan pejuang di rawa-rawa ini. 

Keberadaan markas para pejuang Aceh di Paya Reubee turut mendapat sokongan dari penduduk setempat. Mereka mendapat perbekalan dan informasi terkait kedatangan musuh. Hal inilah yang membuat Belanda sukar sekali menaklukkan Paya Reubee yang wilayahnya sulit untuk dilalui tanpa harus diketahui oleh lawan tersebut.

Namun, Belanda berhasil mengumpulkan informasi terkait keberadaan para pejuang Aceh di sekitar Paya Reubee berkat bantuan seorang imam mukim. Sosok yang tidak disebutkan namanya ini digambarkan sebagai seseorang yang opportunis sehingga berhasil mengecoh kedua kubu yang bertikai. Di satu sisi, sosok ini membantu para pejuang Aceh melawan Belanda. Namun, di sisi lain, sosok imum mukim tersebut telah bersumpah setia kepada Belanda seperti dicatat H. M. Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad.

Dari informasi yang disodorkan imum mukim itulah Belanda akhirnya mengepung Paya Reubee pada 20 Januari 1901. Berkekuatan dua kompi prajurit KNIL di-back up Marsose, Belanda menggunting pertahanan pejuang Aceh di Paya Reubee. Satu kompi pasukan Belanda dipimpin Kapten L.J. Schroder, sementara kompi lainnya dipimpin oleh Kapten D.A. de Voogt.

Pertempuran di Paya Reubee berlangsung alot. Butuh sehari bagi Belanda untuk menembus pertahanan pejuang Aceh di lokasi ini. Setelah mengerahkan kekuatannya, pasukan Aceh berhasil dipukul mundur. Selain itu, pertempuran ini juga merenggut nyawa beberapa pimpinan pejuang sepeti Pang Lam Beurah, Teungku Mak Usen Pendaya dan Pang Gemito.

"Ulama Teungku Di Krueng yang memimpin perlawanan totalnya ketika itu mendapat luka-luka, tapi dapat diselamatkan dari sergapan Belanda," tulis H. M Said.

Belanda merayakan kemenangannya hari itu. Namun, kegembiraan itu hanya berlangsung sesaat lantaran pejuang Aceh yang telah mengevakuasi Teungku Di Krueng kembali menyerang pada malam harinya. Dalam pertempuran di gelap malam itu, Belanda harus mundur dengan membakar pondok-pondok serta bangunan pertahanan pejuang Aceh yang ada di Paya Reubee.

Kejahatan Perang Belanda dalam Ekspedisi Gayotocht van Daalen

Korban pembantaian Belanda di perkampungan Aceh selama ekspedisi militer di bawah kepemimpinan van Daalen di sepanjang Dataran Tinggi Gayo, Tanah Alas, dan Batak. Foto: KITLV/Tropen Museum

Belanda yang baru beberapa tahun membentuk Korps Marechaussee te Voet alias Marsose--unit anti-gerilya yang terdiri dari para relawan KNIL untuk memburu Sultan Aceh, turut melancarkan ekspedisi ke dataran tinggi Gayo. Dalam rangka eskpedisi militer tersebut, Belanda di bawah komando van Daalen menyisir dan menyapu perkampungan yang ada di sepanjang jalur ekspedisi sepanjang Tanah Gayo, Alas, hingga mencapai Tanah Batak dan wilayah Sisingamangaraja.

Pada 4 April 1904, ekspedisi militer Belanda mencapai Kampung Badak dan terlibat pertempuran dengan masyarakat setempat. Sebanyak 93 orang laki-laki dari kampung tersebut tewas dalam pertempuran tak seimbang tersebut. Selain itu, sebanyak 29 orang perempuan dan anak-anak juga ikut dibunuh dalam ekspedisi yang belakangan dikenal dengan istilah Gayotocht tersebut.

Rangkaian ekspedisi militer Belanda di pedalaman Aceh tersebut berujung pada pembantaian penduduk setempat. Selain di Kampung Badak, Surat Kabar Deli Courant menyebutkan, dalam peristiwa ekspedisi di salah satu desa di Gayo, ratusan warga dibantai dan menyebabkan korban tewas terdiri 313 pria, 189 wanita, dan 59 anak-anak. Aksi pembantaian berlanjut ke wilayah Suku Alas di Aceh Tenggara (berdasarkan peta administrasi wilayah Aceh saat ini). 

Pembantaian yang dilakukan Belanda dan paling diingat hingga sekarang adalah peristiwa di Benteng Kuta Reh. Pembantaian massal yang dilakukan Belanda di desa ini disebutkan menjadi salah satu catatan buruk ekspedisi militer negeri Kincir Angin itu di Aceh. Aksi pembantaian ini bahkan disebut merupakan salah satu kejahatan perang Belanda selain kasus Rawa Gede. Namun, sayangnya hingga saat ini, Belanda tidak menyampaikan permintaan maaf atas kasus pembunuhan besar-besaran di Kuta Reh tersebut.

Serangan Belanda ke Kuta Reh berlangsung pada 14 Juni 1904 dan telah merenggut 313 orang pria dari penduduk setempat. Selain itu, sebanyak 248 wanita dan akan-anak juga dibunuh secara sadis. Jenazah para penduduk kemudian ditumpuk dan diabadikan dalam sebuah foto yang kelak menjadi pengingat tentang kekejaman Belanda selama berperang di Aceh. Selain membunuh penduduk Kuta Reh, Belanda juga menawan 20 orang perempuan dan 61 anak-anak. Sementara kaum pria tidak ada yang selamat dalam serangan tersebut. Penyerangan ke Kuta Reh juga turut membuat Belanda kehilangan lima personil prajuritnya yang tewas dan sebanyak 14 lainnya luka-luka.

Belanda Menginvasi Kesultanan Aceh

Kondisi Ulee Lheue, Banda Aceh, pada suatu masa

Kondisi Ulee Lheue, Banda Aceh, pada suatu masa. Sumber foto: KITLV/Tropen Museum


“…kita hanya seorang miskin dan muda, dan kita sebagai juga Gubernemen Hindia Belanda, berada di bawah perlindungan Tuhan yang maha kuasa…”

Pernyataan ini merupakan jawaban Sultan Alaiddin Mahmud Syah terhadap ultimatum Belanda yang bersikukuh menyerang kedaulatan Aceh. Surat pernyataan perang oleh Belanda itu ditulis pada 26 Maret 1873, dan disampaikan kepada Sultan Aceh pada 1 April 1873.

Pernyataan perang itu antara lain berbunyi, “…dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Hindia Belanda, ia atas nama Pemerintah, menyatakan perang kepada Sulthan Aceh…”

Beberapa kali Belanda menyurati Sultan Aceh dan sekian kalinya pula mendapatkan jawaban yang mengecewakan. Salah satu bunyi surat Sultan Aceh Tuanku Mahmud Syah adalah seperti di tulisan pembuka, di atas.

Hingga akhirnya, Komisaris Pemerintah Belanda, Niewehhuijzen memerintahkan kapal perang Citadel van Antwerpen untuk memborbardir dan mendaratkan pasukannya di Ulee Lheue sejak 26 Maret 1873.

Belanda memerangi Aceh bersandar pada Perjanjian Traktrat Sumatra yang di dalamnya menentukan negara Kincir Angin itu bebas untuk memperluas kendali mereka atas seluruh pulau Sumatera. Belanda, dalam Traktat Sumatra, juga tidak berkewajiban untuk menghormati independensi dan integritas Kerajaan Aceh sebagaimana tercantum dalam “London Treaty” 1842. Traktat ini merupakan perjanjian Belanda dengan Great Britain atau Inggris Raya pada tahun 1871.

Thursday, December 8, 2022

9 Desember 1873: Agresi Militer Belanda Kedua di Aceh


KEMATIAN
Jenderal JHR Kohler mengundang tekad besar bagi Belanda untuk memerangi Aceh. Rasa malu yang tidak terperi dan menjadi sorotan Eropa pada masa itu, membuat Belanda tidak main-main untuk menyerbu Aceh. Agresi militer kedua Belanda di Aceh kali ini dipimpin seorang pahlawan perang, Letnan Jenderal J van Swieten. Dia merupakan seorang pensiunan pasukan Hindia Belanda yang terpaksa diaktifkan kembali untuk memerangi Sultan Aceh.

J van Swieten didatangkan dari negeri Belanda pada 9 Juni 1873. Dia turut dibantu oleh Mayor Jenderal G.M Verspijck dalam menaklukkan Aceh.

Dalam agresi tersebut, Belanda memboyong angkatan perang dari Jawa, yang terdiri dari 18 unit kapal perang uap, tujuh unit kapal uap angkatan laut, 12 buah barkas, dan dua unit kapal patroli bersenjata.

Selain itu, Belanda juga memboyong 22 unit kapal pengangkut dengan alat-alat pendaratan seperti enam unit barkas uap, dua rakit besi, dua rakit kayu, sekitar 80 sekoci ditambah beberapa unit sekoci kayu dan sekoci angkatan laut. Belanda juga mengirimkan sejumlah besar kapal tongkang ke perairan Aceh.

Agresi Belanda ke dua di Aceh dihitung sejak mereka mendarat di Gampong Leu’u, dekat Kuala Gigieng, Aceh Besar, pada 9 Desember 1873.

Monday, June 14, 2021

15 Juni; Pang Nanggroe Menyerang Bivak Keude Bawang Idi

Ilustrasi marsose Belanda
SATU orang Belanda tewas sementara delapan lainnya luka-luka akibat serangan mendadak ke bivak yang dilakukan Pang Nanggroe bersama 20 prajuritnya, di kawasan Keude Bawang, Idi, pada 15 Juni 1907. Selain korban tewas dan luka-luka, Belanda juga kehilangan satu pucuk senapan. 

Serangan itu sungguh tidak disangka-sangka oleh Belanda. Pasukan Pang Nanggroe yang hanya bersenjatakan pedang dan senjata tajam lainnya mampu menerabas bivak, menghancurkan pertahanan, dan mengoyak-ngoyak moral prajurit Belanda.

"Bayangkan kembali betapa ramainya buah mulut mengejek-ngejek kita di keude-keude," kata Zentgraaff.

Serangan yang dilakukan oleh Pang Nanggroe itu tidak berselang lama setelah kematian Teuku Ben Pira, saudara laki-laki Cut Meutia. Teuku Ben Pira merupakan pemimpin gerilyawan sepeninggal Teuku Chi' di Tunong yang tewas dihukum tembak oleh Belanda. Sisa pasukan Teuku Ben Pira dan Teuku Chi' di Tunong belakangan bergabung di bawah kepemimpinan Pang Nanggore. 

Gabungan pasukan tersebut melahirkan perlawanan sengit di lapangan. Pang Nanggroe mendapat bantuan dari Pang Lateh dalam memimpin pasukan Aceh yang tersisa di wilayah keuleebalangan Keureuto. 

Penaklukkan Konstantinopel

MEHMED II lahir pada 30 Maret 1432. Secara luas dia dikenal sebagai Muhammad al Fatih dan merupakan penguasa ketujuh pada Kekhalifahan Turki Utsmaniyah.

Popularitasnya dibangun dengan berhasil menaklukkan Konstantinopel, ibu kota kekaisaran Romawi Timur alias Bizantium. Al Fatih yang berarti 'Sang Penakluk' adalah gelar yang disandang Mehmed II seorang putra Sultan Murad II Han, dari ibu Hüma Hatun, seorang budak-selir.

Sunday, May 9, 2021

Jejak Gubernur Belanda di Aceh (2)

Sumber: KITLV

KEGANASAN van der Heijden selaku pemimpin sipil dan militer di Aceh menjadi sorotan oleh kalangan internal Belanda. Sikapnya yang tidak beradab dalam menghadapi Aceh bahkan disebut sebagai prilaku bar-bar. Hal inilah yang membuat Belanda mempertimbangkan kembali posisi van der Heijden sebagai penguasa tertinggi di Aceh.

Dr Julius Jacobs dalam buku “Het Familie en kampongleven in Groot Atjeh” bahkan memaparkan fakta-fakta memalukan yang dilakukan oleh Belanda di bawah kepemimpinan Heijden. Dia meminta parlemen Belanda tidak melupakan keganasan yang dilakukan oleh tentara mereka di Aceh tersebut.

Tentang kebrutalan Belanda ini, Dr Jacobs mengaku melihatnya sendiri di lapangan ketika berada di Aceh.

“… Men spreke niet van oorlogsrecht, zools mij zoo dikwijls is voorgeworpen. Oorlogrecht is het iemand neer te schieten, die met een klewang of donderbus in de hand op ons toetreedt of in onze handen valt; doch het is geen oorlogsrecht wanneer een grijsaad en een jongen van 12 jaar, die op de sawah werkzaam en beiden ongewapen zijn, worden neergeschoten (seseorang tidak dapat berbicara tentang hukum perang, seperti yang sering disampaikan kepada saya. Merupakan hak perang untuk menembak seseorang yang mendekati atau menyerang kita dengan klewang atau blunderbuss di tangan, tetapi bukan hukum perang ketika seorang tua bangka dan seorang anak laki-laki berusia 12 tahun yang sedang bekerja di sawah, tanpa senjata, ditembak begitu saja,” tulis Dr Jacobs menyorot keganasan van der Heijden.

Tentu saja van der Heijden yang menghadapi sidang militer membantah semua tuduhan atas dirinya, termasuk aksi pembongkaran makam para Sultan Aceh. Dia mengatakan kebijakan serupa juga dilakukan oleh para Gubernur Belanda di Aceh sebelum dia berkuasa. (Baca: Jejak Gubernur Belanda di Aceh).

Tuesday, May 4, 2021

Jejak Gubernur Belanda di Aceh

“…kita hanya seorang miskin dan muda, dan kita sebagai juga Gubernemen Hindia Belanda, berada di bawah perlindungan Tuhan yang maha kuasa…”

Pernyataan ini merupakan jawaban Sultan Alaiddin Mahmud Syah terhadap ultimatum Belanda yang bersikukuh menyerang kedaulatan Aceh. Surat pernyataan perang oleh Belanda itu ditulis pada 26 Maret 1873, dan disampaikan kepada Sultan Aceh pada 1 April 1873.

Pernyataan perang itu antara lain berbunyi. “Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Hindia Belanda, ia atas nama Pemerintah, menyatakan perang kepada Sulthan Aceh..”

Beberapa kali imperialis tersebut menyurati Sultan Aceh dan sekian kalinya pula mendapatkan jawaban yang mengecewakan. Hingga akhirnya, Komisaris Pemerintah Belanda, Niewehhuijzen memerintahkan kapal perang Citadel van Antwerpen untuk memborbardir dan mendaratkan pasukannya di Ulee Lheue sejak 26 Maret 1873.

Perang berlangsung sengit hingga 31 tahun lamanya. Sejak deklarasi perang ditabuh dari kapal Citadel, Belanda baru berhasil menangkap Sultan Aceh Tuanku Muhammad Daud Syah pada 15 Januari 1903. Penangkapan itu pun dilakukan secara culas, yaitu dengan menawan permaisuri dan putra mahkota terlebih dahulu.

Alhasil, Sultan Aceh bersedia datang menemui Belanda dengan bertelanjang kaki–isyarat bahwasanya Tuanku Muhammad Daud Syah hanyalah seorang rakyat biasa. Belanda tidak paham akan hal itu dan dengan tergesa-gesa mengumumkan bahwa Sultan Aceh telah kalah perang. Padahal, di lapangan, situasi pertempuran masih terjadi hingga 39 tahun selanjutnya. Komando perang telah diambil alih oleh para ulama secara estafet. (Baca: Januari dalam Sepenggal Catatan Sejarah Aceh)

Selama perang puluhan tahun itu, Belanda turut membentuk sistem pemerintahan resmi di Aceh. Sistem pemerintahan ini pernah dijabat oleh sipil dan militer, yang belakangan disebut Gubernur.