Monday, April 19, 2021

Hari Pang Nanggroe Syahid di Tengah Rawa

PANG Nanggroe yang mengawini janda Chik Tunong, Cut Meutia, telah menasbihkan dirinya untuk syahid melawan Belanda. Sejak keduanya menikah, Belanda kerap dibikin pusing hingga harus mengejarnya ke hutan belantara.

Sejak menggantikan peranan Chik Tunong sebagai suami Cut Meutia, Pang Nanggroe terus menerus melancarkan serangan kepada Belanda. Ia berhasil menyerang kereta api milik Belanda sebanyak dua kali, menembaki kereta api sebanyak lima kali, menyerang bivak Lhoksukon dua kali, dan penyerangan dengan klewang terhadap perwira Belanda sebanyak lima kali. Semua aksinya tersebut berhasil dilakukan dalam rentang waktu tiga bulan.

Ia juga berhasil merusak rel kereta api sebanyak 22 kali dan menyabotase tiang telepon sebagai jalur komunikasi Belanda sebanyak 54 kali, dalam waktu yang sama.

Pang Nanggroe juga berhasil mendarat dengan perahu lewat laut saat masuk ke institusi sipil Belanda di Idi untuk merampas senjata. Belanda kemudian menjulukinya sebagai Watergeus Aceh. Watergeus adalah julukan untuk perampas Den Briel dalam perang Belanda-Spanyol tahun 1572.

Seteru Dua Negeri Serumpun

DENGAN suara lantang, Presiden Soekarno menyerukan “Ganyang Malaysia” di hadapan puluhan ribu rakyat Yogyakarta, 23 September 1963. Massa menjadi histeris. Inilah percikan awal pertikaian antara Indonesia dengan Malaysia yang mencuat setelah sekian lama terpendam.

Pertikaian antar saudara serumpun itu dipicu oleh penolakan Indonesia terhadap pendirian Federasi Malaysia. Soekarno menilai, pembentukan Federasi Malaysia tak lebih dari salah satu bentuk persekongkolan kolonialis dan membahayakan Indonesia. Apalagi kala itu Indonesia baru saja mendeklarasikan kemerdekaannya.

Sementara Pramoedya Ananta Toer dalam pengantarnya untuk buku karya Greg Poulgrain The Genesis of Konfrontasi: Malaysia, Brunei, Indonesia 1945-1965 menyebut, konfrontasi sebagai upaya untuk membantu gerakan perjuangan antikolonialisme.

Pram menyebutkan Inggris kala itu tidak siap kehilangan sumber mata uang dari Malaya, sebutan lama untuk Malaysia. Inggris juga belum rela kehilangan sumber daya dari Singapura serta Kalimantan Utara atau Brunei Darussalam.

Kisah Pengkhianatan di Peperangan Samalanga

“MARI sobat, mari saudara/ Pergi perang di Samalanga/ Mari kumpul dan bersuara/ Lalu menyanyi bersama-sama// Satu nyanyian yang amat merdu/ Menghibur hati yang amat duka/ Hari ini kita di Meureudu/ Esok lusa jalan ke muka// Dari Meureudu jalan di sawah/ Itu jalan yang amat susah/ Tempo-tempolah liwat rawa/ Asal bisa dapat ke muka// Kalau jalan harus berdiam/Karna musuh berjaga-jaga/ Kalau dengar bunyi meriam/ Itu tandalah musuh ada// Sungguh musuh banyak sekali/ Ada berdiri di dalam benteng/ Harus kami berlari-lari/Waktu komandolah: Ataqeeren//…”

Inilah beberapa penggal syair yang diciptakan Iz Thenu, salah seorang pendeta Belanda yang bertugas membina rohani para prajurit pribumi berjudul “Samalanga”. Thenu yang lahir pada 14 September 1868 di Hutumuri, Ambon, itu terinspirasi pada peperangan Belanda yang susah payah dalam merebut Samalanga. Perang yang pelik lantaran turut menghadiahkan cinderamata bagi komandan militer Belanda, sekelas van der Heijden.

Perang di Samalanga itu kelak juga ditulis oleh C Nieuwenhuis dalam buku berjudul “De expeditie naar Samalanga“. Kemudian tulisannya diterjemahkan oleh Aboe Bakar ke dalam bahasa Indonesia, dan sumaterapost.com mendapat catatan tentang Perang Samalanga itu dari buku “Agresi Belanda ke Samalanga” yang dicetak ulang oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) Banda Aceh, tahun 2017 lalu.

Sejarah September: Kala Belanda Berniat Ajukan Resolusi Damai

BELANDA begitu gembira ketika Habib Abdurrahman memutuskan menyerah dengan sejumlah syarat. Mereka beranggapan, menyerahnya Habib menjadi pencapaian besar dalam melemahkan perjuangan perlawanan rakyat Aceh. Padahal kondisi di lapangan berbanding terbalik dengan harapan itu.

Hal tersebut dibuktikan dengan semakin gencarnya perlawanan yang dilakukan oleh pasukan Teungku Chik Di Tiro dan Teuku Umar di lapangan. Perlawanan yang benar-benar merepotkan Belanda hingga akhirnya terjadi konflik internal di pemerintahan mereka.

Konflik tersebut sebenarnya sudah dimulai sejak pemerintahan sipil diampu oleh Gubernur A Pruys van der Hoeven. Namun, kebijakan sosok tersebut kerap berbenturan dengan Gubernur Jenderal F Jacob yang sudah ditempatkan di Jakarta sejak April 1881.

September dalam Sepenggal Catatan Sejarah Aceh

PERANG Belanda di Aceh yang berlangsung pada tahun 1873 hingga 1904 menjadi catatan sejarah buruk bagi kolonial selama menancapkan kukunya di Tanah Melayu. Lebih 37 ribu serdadu Belanda dilaporkan tewas dalam perang bersamaan mewabahnya kolera di Tanah Rencong.

Belanda mengepung Aceh yang menjadi kerajaan terakhir di jazirah Melayu dari setiap lini. Blokade laut turut dilakukan guna mencegah Aceh mendapat bantuan dari luar. Militer negara Kincir Angin itu juga mengepung daratan Sumatra untuk mempersempit gerak perjuangan Sultan Aceh. Alhasil, Belanda baru berhasil menawan Sultan Aceh dan membuangnya ke Ambon setelah 31 tahun mendeklarasikan perang. Itu pun dilakukan dengan cara culas yang kemudian mendapat sorotan dari kalangan internasional.

Pertempuran Belanda di Aceh tersebut membuat kolonial merugi. Perang itu juga mengakibatkan Belanda frustasi sehingga menggelar kampanye bumi hangus dan genosida. Kejahatan perang yang hingga saat ini tidak pernah dibicarakan di Mahkamah Internasional.

Dalam perang melawan Kesultanan Aceh dan rakyatnya, Belanda sempat dibuat bingung dengan taktik hit and run, pasca penangkapan Sultan Aceh. Perang gerilya yang diterapkan oleh pasukan Aceh tersebut turut membuka mata kolonial tentang strategi militer baru, yang sebelumnya tidak pernah mereka saksikan. Alhasil, Belanda kemudian mau tidak mau terpaksa membentuk satu unit khusus pasukan anti-gerilya: Marsose. Unit tempur ini terdiri dari pasukan pribumi dari kerajaan-kerajaan yang telah takluk di bawah bendera Hindia Belanda.

6 Peristiwa Penting Sejarah Aceh pada 7 September

ENAM peristiwa besar yang menentukan nasib Kesultanan Aceh dalam perang melawan Belanda terjadi pada 7 September. Ke enam peristiwa itu dicatat dengan baik oleh H Mohammad Said dalam buku Aceh Sepanjang Abad Jilid 2 yang diterbitkan pada tahun 1991.

Ke enam peristiwa itu dapat dirunut mulai pada 7 September 1881.

Seperti diketahui, Belanda sebelum menyerang Kesultanan Aceh Darussalam telah memberlakukan blokade jalur laut. Alhasil Kesultanan Aceh Darussalam tidak dapat memperbarui senjata dalam menghadapi agresi itu. Namun, pada 7 September 1881, blokade pantai Aceh dibuka oleh Belanda khusus untuk kapal dagang Inggris.

Sejak blokade tersebut dibuka, kekejaman Belanda yang dipimpin oleh van der Heijden dalam perang di Aceh mulai tersiar ke luar negeri. Pers menyindir prilaku tak manusiawi Belanda serta menyebut bahwa di Aceh ada “kayser” yang menggunakan "macht boven recht” dan sebagainya.

Setelah publikasi meluas, Kejaksaan Agung Belanda di Betawi mengutus Direktur Penjara Belanda, Stibbe. Dia ditugaskan untuk menyelidiki tahanan perang yang kemudian laporannya disampaikan kepada parket.

Sunday, April 18, 2021

Ketika Panglima Aceh Berdamai dengan Musuh

PERANG telah menciptakan banyak pertumpahan darah. Perang juga turut melahirkan yatim dan para janda korban konflik di antara kubu yang bertikai. Tidak ada yang menyenangkan dari sebuah perperangan, meskipun terkadang jalan itu harus ditempuh untuk menegakkan kedaulatan di tanah sendiri. Langkah itu pula yang pernah ditempuh Sultan Aceh untuk mengantisipasi gangguan-gangguan Belanda di wilayah kedaulatannya.

Damai adalah jalan lain bagi kedua belah pihak yang bertikai untuk saling merangkul. Terkadang damai merupakan jalan terbaik bagi sebagian pihak untuk kembali saling menghormati dan bersatu membangun negeri.

Akan tetapi, pengertian damai tidak sama dengan menyerah kalah. Pihak yang berdamai akan saling menghargai antara satu sama lain. Pihak yang berdamai juga akan mengeksekusi setiap janji yang telah dideklarasikan.

Damai juga tidak dapat diartikan dengan membuat salah satu kubu yang pernah bertikai, bak anak kecil linglung karena kehilangan ibunya di keramaian. Jika pun itu terjadi, artinya salah satu kubu telah mengacuhkan makna damai sebenarnya.

Wednesday, April 3, 2019

Orangutan Hope Akhirnya Divonis Buta

Hope mengalami kebutaan karena terkena
peluru di dua bola matanya | Foto: YEL-SOCP
NYAWA HOPE, orangutan yang ditembus 74 peluru senapan angin di Subulussalam, Aceh, berhasil diselamatkan. Namun, dua bola matanya tak lagi bisa dipergunakan. Orangutan Sumatera dewasa ini divonis buta dan terpaksa menjalani sisa hidupnya di fasilitas Orangutan Haven–yang saat ini masih dalam proses pembangunan.

“Hope tidak akan dapat dilepasliarkan lagi di alam, mengingat kondisinya yang buta total di kedua matanya akibat peluru,” ungkap Supervisor Rehabilitasi dan Reintroduksi untuk YEL-SOCP, drh Citrakasih Nente, Senin, 18 Maret 2019.

Hope merupakan Orangutan Sumatera yang berhasil diselamatkan petugas dari Desa Bunga Tanjung Kecamatan Sultan Daulat, Minggu 10 Maret 2019 lalu. Kendati selamat, tetapi Hope harus kehilangan anaknya yang baru berusia satu bulan karena malnutrisi.

Kondisi Hope begitu tragis. Selain bahunya patah terbuka, di sekujur tubuhnya juga terdapat 74 peluru. Tak hanya itu, kantong udara (air sac) Hope juga robek.

Detik-detik Tanpa Listrik di Hotel Kyriad Muraya

Manajemen Kyriad membakar tali tambang yang membentuk angka 60+ pada malam peringatan Earth Hours | Foto: Boy Nashruddin Agus
RUANG lobi Hotel Kyriad Muraya Banda Aceh mendadak gelap. Hanya cahaya dari lampu jalan dan penerangan dari bangunan sekitar yang mencoba menerobos ke seisi ruangan. Tak hanya di lobi, kondisi serupa juga terjadi di lantai dua bangunan hotel berbintang empat tersebut. Beruntung, beberapa lilin telah ditata rapi di atas meja dari lobi hingga ke lantai dua, tempat para tamu bersantai sembari menatap wajah kota.

Kondisi gelap seperti ini disebutkan hanya terjadi selama 60 menit. Pasalnya, hotel yang memiliki 126 kamar tersebut turut serta melakukan pemadaman listrik dalam rangka memperingati “Earth Hour” yang diperingati setiap Sabtu terakhir bulan Maret, setiap tahunnya. Pihak Hotel Kyriad Muraya bahkan ikut membakar tali tambang berbentuk “60+” dalam kampanye tersebut.

“Ini merupakan salah satu bentuk kepedulian kita terhadap pemanasan global, sehingga dengan satu jam mematikan listrik di seluruh gedung ini sangat berkontribusi pada pencegahan pemanasan global,” kata General Manager Hotel Kyriad Muraya, Bambang Pramusinto, di sela-sela kegiatan, Sabtu, 30 Maret 2019.

Menurut Bambang, pihaknya turut mengimbau seluruh tamu di hotel tersebut untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan Earth Hour tersebut dengan mematikan lampu di kamar masing-masing. Kegiatan ini menjadi kali kedua bagi Kyriad Muraya dalam kampanye 60 menit tanpa listrik yang dilaksanakan serentak di seluruh dunia.

Kisah Satu Biduk Dua Nahkoda di MAA

RUANG berpintu kaca itu terbuka. Ada satu unit pelamin berwarna kuning dipadupadan merah di dalamnya. Di pelaminan tersebut terletak sebuah tulisan: Aceh Singkil. Sementara di depannya, satu set meja kerja berwarna coklat muda tertata rapi bersamaan dengan sejumlah berkas di atasnya. Inilah pemandangan sekilas ruang kerja Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) yang terlihat pada Selasa, 19 Maret 2019 pagi.

Ruangan itu terlihat kosong. Tidak ada seorang pun ada di sana kala popularitas.com menyambangi ke lokasi. Informasi yang diterima dari petugas keamanan MAA, diketahui Plt Ketua MAA Saidan Nafi sedang menggelar rapat tertutup dengan seseorang. “Ada rapat di lantai atas. Cuma berdua saja,” kata petugas keamanan tersebut tanpa mau memberitahukan nama.

Dia juga memberitahukan bahwa Badruzzaman Ismail juga telah berkantor. “Dia berkantor di ruang bawah,” kata pria itu lagi.

Seperti diketahui, beberapa waktu lalu Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Aceh Nova Iriansyah melantik Saidan Nafi sebagai Plt Ketua MAA. Pelantikan tersebut belakangan menuai polemik. Apalagi MAA baru saja melangsungkan Musyawarah Besar (Mubes) dan memilih kembali Badruzzaman Ismail sebagai ketua.

Saturday, January 5, 2019

Menilik Sejarah Ringkas Gedung Bank Indonesia di Aceh

GEDUNG Bank Indonesia (BI) Perwakilan Aceh yang terletak di Jalan Cut Mutia Kota Banda Aceh dinilai layak menjadi salah satu situs sejarah. Berada di tepian Krueng Aceh, gedung megah bercat putih tersebut dibangun pada 2 Desember 1918 oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Biro arsitek terkemuka di Hindia Belanda, N.V. Architecten-Ingenieurs Bureau Hulswit en Fermont te Weltevreden en Ed. Cuypers te Amsterdam prakarsa Eduard Cuypers (1859-1927) dan Marius J. Hulswit bersama A.A. Fermont pada 1910, menjadi perancang yang memenangkan proyek tersebut. Gedung ini semula berfungsi sebagai De Javasche Bank, milik pemerintah Hindia Belanda.

De Javasche Bank sendiri didirikan pada 29 Desember 1826 oleh Raja Willem I, dan baru beroperasi penuh pada 24 Januari 1828.

Belasan Air Terjun Indah Ini Ada di Aceh

AIR terjun memiliki pesona tersendiri yang mampu memikat para wisatawan baik domestik hingga mancanegara. Lokasinya yang berada di pedalaman dengan suguhan keindahan panorama alam menjadi nilai tambah destinasi wisata ini.

Selain itu, air terjun yang menjadi bagian dari hilir dan hulu sebuah sungai juga menjanjikan kesegaran dan kesejukan bagi wisatawan. Jadi tak mengherankan jika keberadaan air terjun di sebuah lokasi seakan menjadi magnet bagi para manusia.

Di Aceh, terdapat sejumlah air terjun yang kebanyakan masih "perawan". Beberapa air terjun ini bahkan ada yang baru ditemukan dengan kondisi jalan menuju lokasi masih terbilang menantang. Seperti halnya beberapa air terjun berikut ini:

Krakatoa: The Last Days, Kisah Tentang Letusan Gunung Krakatau 1883

BENCANA alam smong (tsunami) yang merenggut ratusan nyawa di Lampung dan Banten menyentak dunia. Apalagi, ie beuna (tsunami) yang datang tanpa diawali lindu tersebut justru dipicu oleh erupsi Gunung Anak Krakatau, yang berada di Selat Sunda.

Padahal, pada 1883 lalu, bencana serupa pernah terjadi. Saat itu, Gunung Krakatau yang memiliki tiga kawah tersebut meletus. Dampak yang ditimbulkan disebut-sebut lebih besar dan turut mempengaruhi iklim global.

Erupsi Gunung Krakatau pada 1883 juga berdampak tsunami. Tidak sedikit yang menjadi korban. Ratusan desa juga dilaporkan hilang terdampak bencana. Saat itu, Indonesia masih dijajah Hindia Belanda. Dan kejadian meletusnya Gunung Krakatau ini tercatat dengan baik dalam literatur Belanda dan dunia.

Surga Tersembunyi Lut Kucak dan Ide Ngopi di 'Atas Awan'

MASYARAKAT setempat menyebutnya dengan Lut Kucak. Letaknya berada di ketinggian 1.900-2.000 meter di atas ketinggian laut. Lut Kucak merupakan sebuah danau yang dikelilingi hutan lindung dengan wilayah administratif berada di Kecamatan Bukit, Bener Meriah, Aceh.

Lut Kucak, yang dalam bahasa Gayo berarti Laut Kecil, merupakan potensi wisata menjanjikan untuk Bener Meriah. Namun, sayangnya potensi wisata ini belum mendapat perhatian serius dari pemerintah setempat dalam beberapa tahun terakhir. Alhasil, Lut Kucak yang menawan kini menjadi tandus. Banyak warga menebang pepohonan menuju akses Lut Kucak untuk lahan pertanian. Kini, lereng menuju Lut Kucak tidak seindah dulu. Kita hanya mendapati lahan pertanian warga yang ditanami berbagai jenis sayuran seperti kol, sawi, wortel dan lain-lain.

Lut Kucak dekat dengan Burni Telong, sebuah gunung berapi aktif di Bener Meriah yang menjadi landmark dataran tinggi Gayo. Lut Kucak ini juga berada di punggung Pondok Sayur, salah satu desa yang adalah tempat tinggal Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Bener Meriah, Tengku Sarkawi.

Menjaga Asa Penggagas IFA di Teluk Balohan

Freediving Sabang Competition 2018 | Dok IFA
SALAH satu titik yang berada di teluk Balohan Sabang menjadi destinasi baru untuk freediving internasional. Lokasi ini disebut-sebut memiliki kedalaman 140 meter, yang membuat para freediver mancanegara tertarik melirik Balohan. Selain memiliki kedalaman yang cocok untuk lokasi freediving, Balohan juga dikenal sebagai perairan yang teduh, terlindungi dan aman bagi para penyelam.

Galih Jatnika, salah satu freediver Indonesia mengakui "kehebatan" teluk Balohan yang dinilai memiliki kelebihan tersendiri untuk lokasi freediving. "Airnya hangat, nggak ada arus dan sangat bisa (untuk pemula), yang jelas nggak ada arus, permukaannya tenang dan aman untuk sekolah freediving," kata Galih saat ditemui di lokasi perhelatan Sabang International Freediving Competition (SIFC) 2018, Balohan, Kamis (08/11/2018) kemarin.

Banyak pihak yang merekomendasikan teluk Balohan dijadikan sebagai lokasi permanen untuk freediving. Alih-alih sekadar kegiatan tentatif pada bulan-bulan tertentu, Indonesia Freediving Association (IFA) bahkan sedang giat-giatnya memperjuangkan teluk Balohan sebagai tempat belajar sekaligus menjadi lokasi untuk mengambil sertifikasi bagi para freedivers di Indonesia, khususnya kawasan Sumatera. Hal ini setidaknya disampaikan Stanley Sradaputta selaku penggagas IFA, yang digadang-gadang bakal menjadi induk organisasi freediving Indonesia.

Surga Kuntul di Lambada Lhok

Ilustrasi kuntul | Foto: Irfan M Nur
TIGA ekor kuntul merenggangkan sayapnya. Membelah langit dengan tatapan tajam ke depan. Namun, lehernya tidak lurus tegak seperti burung-burung lainnya melainkan membentuk huruf S seperti dalam abjad latin yang kita kenal selama ini. Bulu ekor kuntul yang sangat-sangat pendek, berwarna putih kemudian ditekuk ke bawah. Selaras dengan dua sayapnya yang membentang lebar yang sedikit ditekuk ke depan untuk menghalau angin.

Tubuh kuntul yang semula tajam menukik tiba-tiba berhenti di satu titik di udara, kemudian melakukan manuver berputar-putar di atas rimbunan pohon bakau. Ketiga ekor kuntul itu kemudian bertengger di salah satu pucuk bakau yang disambut kawanan burung berparuh runcing, berkaki dan berleher panjang lainnya.

Friday, August 31, 2018

Mencari Jejak Jepang di Bukit Anoi Itam

ADA tiga struktur yang saya lihat di kawasan itu. Struktur ini lebih mirip lubang dibandingkan kamar. Setiap lubang memiliki satu pintu untuk masuk dan keluar. Selebihnya adalah ruang kosong berukuran 1,5x1,5 meter.

Struktur-struktur ini juga dilengkapi dengan satu lubang bentuk persegi panjang. Dari balik lubang, kita dapat melihat hamparan laut di sekitar Anoi Itam. Ya, Anoi Itam wilayah timur Pulau Weh, Aceh. Benteng ini berada tepat di jalan Ujong Kareung.

Struktur-struktur ini belakangan disebut Benteng Anoi Itam. Padahal, di masa pembuatannya, struktur-struktur ini merupakan gudang senjata tentara Jepang. Selain itu, struktur ini juga dimanfaatkan sebagai pos militer pemantau jalur Selat Malaka di masa perang Pasifik.

Informasi yang saya telusuri dari situs resmi dinas kebudayaan menyebutkan benteng ini dibangun antara tahun 1942-1945.

Mapesa Temukan Tembok Diduga Bekas Istana Kerajaan Aceh Darussalam

MASYARAKAT Peduli Sejarah Aceh (Mapesa) menemukan jejak reruntuhan yang diduga bekas tembok istana Darud Donya di kawasan Krueng Daroy, Banda Aceh.

Jejak tersebut berupa batu persegi sepanjang kurang lebih 60-80 centimeter yang bersusun sepanjang aliran sungai tersebut.

"Sejauh ini baru dugaan," ungkap Ketua Mapesa, Mizuar Mahdi, Minggu (12/8/2018).

Dia mengatakan dugaan susunan batu tersebut sebagai bekas tembok istana Darud Donya, diperkuat dengan gambar dan peta yang pernah dibuat Belanda di abad-19.

"Material yang terlihat tampaknya benar. Ini adalah bagian-bagian dari bekas struktur Dalam (istana) Sultan," kata Mizuar lagi, tanpa menyebutkan seberapa panjang tembok tersebut.

Sunday, November 19, 2017

Para Cuak dalam Agresi Militer Belanda di Aceh

Ilustrasi Perang Aceh
SULTAN DELI saat itu telah berganti. Kebijakan politik pun berubah dari menolak pengaruh asing dengan mengakui Belanda. Adalah Sultan Mahmud yang "berjasa besar" memberikan Belanda kekuasaan di Deli saat itu. 

Sultan Mahmud yang menggantikan Sultan Usman bersedia menandatangani perjanjian politik dengan Belanda pada 22 Agustus 1862. Dengan demikian, maka Belanda pun mendapat kesempatan menggunakan wilayah ini menjadi batu loncatan. Hal ini pula yang membuat kekuatan pertahanan Aceh terus terdesak.

Saturday, November 18, 2017

Dua Strategi Belanda Untuk Menghancurkan Aceh

BELANDA benar-benar kehilangan muka saat agresi pertama mereka terhadap Kesultanan Aceh Darussalam menemui kegagalan. Apalagi Belanda kehilangan seorang Jenderal dalam perang tersebut. Berbagai lobi internasional dilakukan Belanda untuk menaklukkan Aceh. Namun, upaya tersebut menemui kegagalan.