Sunday, October 12, 2014

Surat Kedua Diplomasi Politik Gubernur Sumatera Utara

SM Amin (tengah). @Repro
Teungku Daud Beureueh mengibarkan bendera perang setelah menganggap Indonesia menghianati Aceh. Ia pun mendeklarasikan gerakan Darul Islam di Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) pimpinan SM Kartosuwirjo.

Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo menyikapi deklarasi Daud Beureueh dengan senjata. Ia mengirimkan serdadu militer ke Tanoh Rencong untuk menumpas pemberontakan yang dianggap membahayakan Indonesia.

Berbagai upaya dan pendekatan dilakukan untuk mengamankan situasi Aceh saat itu secara pribadi oleh Mr. SM. Amin, yang menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara.

Pendekatan Politik Gubernur Sumatera Utara Meredam Konflik Aceh

Warga menyaksikan rumah yang dibakar TNI. @Repro
TENGKU Daud Beureueh memproklamasikan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan Imam Besar Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, 20 September 1953. Berbekal sebagai pemimpin sipil, agama dan militer di Aceh, Daud Beureueh dengan mudah mendapat pengikut. Apalagi Aceh yang sedianya menjadi daerah modal kemerdekaan bagi Indonesia malah dileburkan ke dalam Provinsi Sumatera Utara, tahun 1950.

Meredam pergolakan tersebut, Gubernur Sumatera Utara, Mr SM Amin merayu Tengku Daud Beureueh untuk turun gunung. Berbagai upaya dilakukan petinggi Sumatera Utara tersebut termasuk mengirimkan surat atas nama pribadi kepada komandan tertinggi Darul Islam di Aceh.

Berikut petikan surat pertama Mr. SM. Amin kepada Daud Beureueh seperti dikutip dari buku Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik Mr. SM. Amin karangan AH Gelanggang:

Tengku Daud Beureueh Dinobatkan Sebagai Wali Negara

Warga Aceh menunggu kedatangan Tengku Daud Beureueh.  @Repro
KONTAK politik antara Gubernur Sumatera Utara SM Amin dengan Teungku M. Daud Beureueuh sejak Desember 1955 membuat situasi Aceh memanas. Apalagi saat itu dua utusan Pemerintah Pusat yang dikirim Mohd. Hatta, Hasballah Daud dan Abdullah Arif turut datang ke Aceh untuk berbicara dengan pimpinan Darul Islam.

“Pemberontak Islam yang puluhan ribu banyaknya itu memperbicangkan persoalan tersebut sehingga menambah hangat politik di Aceh,” tulis AH Gelanggang dalam bukunya Rahasia Pemberontakan Aceh dan Kegagalan Politik Mr. SM Amin.

Di tengah memanasnya suasana politik di Aceh, Darul Islam memperingati ulang tahun kedua proklamasi Negara Islam Indonesia pada 21 September 1955. Saat itu, pemimpin tinggi DI/TII Aceh turut mengadakan konferensi di Batee Kureng.

Sembilan Poin Penting Rumusan Majelis Syura Amanah Konggres Batee Kureng

Anggota Negara Bagian Atjeh (NBA) NII. @Repro
Majelis Syura Negara Bahagian Atjeh, Negara Islam Indonesia, menggelar rapat pada 27 September 1955. Rapat ini sengaja digelar untuk meneruskan hasil Kongres Batee Kureng pada 23 September 1955.

Rapat ini kemudian memutuskan untuk menyetujui program politik Pemerintah Negara Bahagian Atjeh Kabinet Hasan Aly. Berdasarkan catatan AH Gelanggang dalam bukunya Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik Mr. SM Amin, menyebutkan ada sembilan poin keputusan yang dihasilkan rapat tersebut.

Sembilan poin ini adalah:

Saat Daud Beureueh Menabuh Genderang Perang Melawan Jakarta

Tengku Daud Beureueh bersama pasukan. @Repro
TENGKU Daud Beureueh memproklamasikan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan Imam Besar Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, 20 September 1953. Berbekal sebagai pemimpin sipil, agama dan militer di Aceh, Daud Beureueh dengan mudah mendapat pengikut.

Apalagi Aceh yang sedianya menjadi daerah modal kemerdekaan bagi Indonesia malah dileburkan ke dalam Provinsi Sumatera Utara, tahun 1950.

Sejarawan berkebangsaan Belanda, Cornelis Van Dijk, menyebutkan kekecewaan Daud Beureueh terhadap Jakarta semakin berat dengan beredarnya rumor tentang sebuah dokumen rahasia dari Jakarta. Dokumen itu disebut-sebut dikirim oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang isinya berupa perintah pembunuhan terhadap 300 tokoh masyarakat Aceh.

Wednesday, October 1, 2014

Ratu Nahrisyah; Pemilik Makam Indah di Samudera Pasee

Ratu Nahrisyah memimpin Kerajaan Samudera Pasai pada tahun1416-1428 M. Ia dikenal sebagai seorang yang arif dan bijaksana. Nahrisyah mangkat pada tanggal 17 Zulhijjah 831 H atau 1428 M.

Beberapa referensi menyebutkan Kerajaan Nakur pernah menyerang Pase pada 1470 M. Dalam pertempuran tersebut, suami Nahrisyah tewas. Ia pun kemudian bersumpah di hadapan rakyatnya.

“Siapapun yang dapat membunuh Raja Nakur, saya bersedia untuk menikah dengannya dan memerintah kerajaan ini bersama suami saya tersebut.”

Tuesday, August 5, 2014

Tipu Aceh, Tipu Meulaboh

TEUKU Umar Johan Pahlawan dikenal sebagai pejuang Aceh yang memiliki kemampuan menipu Belanda. Strategi yang ditetapkan Umar, mampu membuat Belanda terkecoh hingga akhirnya bisa merampas alat-alat perang untuk membantu pejuang Kerajaan Aceh Darussalam.

Siapa menyangka, selain Teuku Umar, praktik 'tipu-tipu' tersebut juga dilakoni oleh beberapa pejuang lainnya dari pesisir Barat Aceh. Seperti halnya strategi yang dilakoni Teuku Kejuruan Muda dan bawahannya saat menghadapi agresi Belanda.

Dikutip dari catatan H. Mohammad Said dalam bukunya berjudul Aceh Sepanjang Abad jilid kedua, saat itu Teuku Kejuruan Muda tidak mau bertekuk lutut di bawah bendera Belanda. Padahal, Teuku Tjhi' Meulaboh, ayah Teuku Kejuruan Muda telah menandatangani pengakuannya kepada Belanda.

Sepenggal Sejarah Perang di Pesisir Ulee Lheue

Bivak Belanda di Peunayong pada 1874
INI adalah cerita pahlawan Aceh yang namanya tidak seharum Teuku Umar, Panglima Polem, Cut Nyak Meutia, atau Cut Nyak Dhien. Namun perjuangannya di pesisir Aceh, tepatnya di Banda Aceh, cukup merepotkan Belanda. Namanya Teuku Hasan. Dia merupakan putra Teuku Paya, pejuang Aceh lainnya yang mengambil bagian memimpin pasukan di Pidie.

Teuku Hasan yang mendapat restu ayahnya mengambil bagian di Banda Aceh. Dia dipercaya mampu melakukan sabotase terhadap tangsi atau bivak Belanda di Ulee Lheue.

Kisah kepahlawan Teuku Hasan dicatat secara ringkas oleh sastrawan Aceh, Do Karim alias Abdul Karim. Perjuangan Teuku Hasan ini kemudian disalin ulang oleh H. Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad Jilid II.

Teuku Hasan membuat pertahanan di Lambada. Dia memimpin pasukan Aceh untuk berhadapan dengan van der Heijden yang telah menguasai Darud Dunia.

Blower, Berawal Dari Tanah Yahudi

Kerkhoff dengan latar belakang Museum Tsunami.
@Heri Juanda
PENGARUH budaya asing di Aceh sejak sebelum perang melawan Belanda masih kental hingga kini seperti penamaan nama-nama gampong. Sebut saja salah satunya gampong Sukaramai di Banda Aceh.

Secara umum, warga asli Banda Aceh akan kebingungan jika mendengar nama gampong Sukaramai. Padahal gampong ini terletak tepat di belakang Museum Tsunami Aceh dan komplek perkuburan Kherkof Belanda. Gampong ini masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh. Gampong Sukaramai berbatasan dengan gampong Punge Blang Cut, Punge Jurong, Seutui, serta Neusu.

Bagi penduduk asli Banda Aceh atau Aceh Besar, gampong ini kerap disebut dengan Blower meski di catatan administrasi pemerintahannya sering menabalkan Desa Sukaramai. Penyebutan Blower tidak terlepas dari sejarah sebelum Belanda menyerang Aceh.

Cara Orang Aceh Tempo Dulu Menamakan Sebuah Gampong

Alue Naga. @Heri Juanda
PENAMAAN suatu daerah di Aceh identik dengan mythologi, klenik serta berdasarkan topografi wilayah sebuah gampong. Seperti misalnya gampong Alue Naga di Kecamatan Syah Kuala Kota Banda Aceh dan Tapak Tuan di Aceh Selatan.

Jika diselisik berdasarkan pengertian bahasa Indonesia, Alue merupakan penyebutan orang Aceh untuk parit, kuala atau muara. Sementara Naga adalah nama hewan mythologi yang menyerupai ular dan memiliki tanduk. Hewan ini biasanya ada dalam cerita-cerita dongeng negeri China dan Eropa. Pertanyaannya apakah di muara atau parit tersebut dulunya tempat bersemayam seekor naga?

Menurut keterangan Geucik Gampong Alue Naga, Sayuti AR, nama Alue Naga diambil dari cerita legenda yang berkembang di gampong tersebut. Kabupaten Aceh Selatan dan Gampong Alue Naga Di Banda Aceh memiliki kesamaan legenda, begitu juga dengan Kabupaten Nagan Raya.

Sejarah Unik Nama Gampong di Aceh

Ilustrasi Taman Sari
MASYARAKAT Aceh memiliki budaya penyebutan nama daerah sesuai dengan kejadian atau peristiwa-peristiwa besar dan ketokohan seseorang. Nama daerah tersebut kemudian ditabalkan untuk gampong yang baru saja didiami dan tidak jarang masih dipakai hingga sekarang.

Nama-nama daerah atau gampong di Aceh tersebut terkadang terdengar unik, baik bagi pendatang maupun warga setempat. Lantas seperti apa nama-nama gampong tersebut?

Menyibak Sejarah Kota Tua Peunayong

Atraksi Barongsai di Peunayong. @Heri Juanda
PEUNAYONG ingar-bingar. Gendang bertalu-talu meliuk di antara riuh suara keramaian pasar yang ditingkahi derai simbal. Ada hiasan berwujud singa berwarna merah jambu berjingkrak-jingkrak, meloncat ke sana kemari mengikuti ritme irama gendang.
Hari itu, Jumat, 31 Januari 2014, memang tepat perayaan Imlek 2565. Ini hari yang keramat bagi etnis Tionghoa sehingga mereka merayakannya. Perayaan berpusat di belakang Vihara Budha Sakyamuni, Jalan Aneuk Galong Peunayong. Ke sinilah saya menyimak semburat kegembiraan di wajah-wajah berkulit putih yang bermata sipit itu.

Mereka gembira menikmati “singa” merah jambu yang sedang menari-nari di halaman belakang vihara. Itulah budaya barongsai —kesenian khas dari daratan China. Kesenian ini kerap dipertunjukkan saat hari-hari besar etnis China seperti perayaan Imlek 2565 Tahun Kuda, Jumat penutup Januari lalu.

Thursday, June 12, 2014

Mencari Jejak Kitab Tertua di Aceh

KITAB Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak, karangan Abu Ishak Al-Makarani Sulaiman Al-Pasy disebut-sebut sebagai kitab tertua yang pernah diterbitkan di Aceh. Di dalam kitab tersebut ada informasi yang menyebutkan bahwa Kerajaan Islam tertua di nusantara berada di Perlak. Namun banyak sejarawan dan kolektor manuskrip Aceh yang meragukan fakta adanya kitab tersebut. Kenapa?

"Kitab ini berasal dari masa Kerajaan Perlak sebelum Kerajaan Pasee berkembang. Dia terbilang sebagai salah satu kitab tertua di Aceh yang isinya membahas tentang struktur dan tata negara di Peureulak. Tapi bukti keberadaannya hingga sekarang belum ditemukan," ujar Kolektor Manuskrip Aceh, Tarmizi A. Hamid saat dijumpai oleh ATJEHPOSTcom, Selasa malam, 21 Mei 2014.

Kisah Otonomi Pasai dan Majapahit

PRAJURIT Hindu-Majapahit mengepung Samudera Pasai usai mendapat kabar putri yang hendak dinikahkan dengan Tun Abdul Jalil bunuh diri di Laut Jambo Aye. Penyerangan ini mendapatkan perlawanan dari pasukan Sultan Ahmad Permadala Permala. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam yang berakhir dengan kekalahan Pasai.

Sultan Ahmad melarikan diri ke suatu tempat yang jarak dari Pasai menempuh 15 hari perjalanan. Demikian Hikayat Raja-Raja Pasai mengisahkan penyerangan Majapahit terhadap kerajaan Islam di Aceh. Peristiwa ini juga tercatat dalam Kitab Negarakertagama, naskah kuno dari era Majapahit. Disebutkan, peristiwa itu terjadi tak lama setelah Gajah Mada diangkat sebagai Perdana Menteri Majapahit antara 1331 dan 1364.

Melacak Istana Pasai

“Ketika kami sampai di bandar itu, datanglah penduduk yang berada dalam perahu kecil, membawa buah-buahan dan ikan kepada kami di kapal. Bandar itu satu kota besar di pantai laut, dinamakan sarha. Di situ banyak rumah. Antara pantai dan kota itu jaraknya 4 mil.

Setelah itu wakil laksamana yang bernama Bahruz menulis surat kepada sultan memberitahukan kedatangan saya. Sultan menyuruh Amir Daulasah dan Kadi Syarif, Amir Sayid Shirazi, Tajuddin Isfahani dan para ulama lain menjemput saya. Mereka datang dengan membawa beberapa kuda dan kami pun menuju istana, yaitu Kota Sumutrah, satu kota besar yang indah berpagar kayu. Demikian pula rumah-rumahnya berpagar kayu.

Mencari Jejak Aceh di Brunei Darussalam

KESULTANAN Brunei Darussalam beberapa waktu lalu mengumumkan menjadi negara Asia Tenggara pertama yang bakal menerapkan hukum Islam di semua lini. Negara didominasi muslim melayu ini bakal meng-Islamkan pengadilannya. Mendenda dan menghukum penjara atas kejahatan-kejahatan seperti hamil di luar nikah, tidak salat Jumat, dan menyebarkan agama lain untuk fase awal.

Jika merujuk sejarah, berdasarkan catatan Tiongkok dan orang Arab menunjukkan kerajaan Brunei Darussalam awalnya berada di muara Sungai Brunei pada awal abad ke-7 atau ke-8. Kerajaan itu memiliki wilayah yang cukup luas meliputi Sabah, Brunei dan Sarawak yang berpusat di Brunei.

Perjuangan Teungku Tapa Bak Cerita Malem Diwa

“Dia merupakan tahanan di Aceh yang terpandang seperti wali dan seperti anak raja (pangeran).” Demikian judul berita seseorang yang melakap namanya sebagai Pembantu Betawi, KMPB (S. Ta’iat) dalam surat kabar Pewarta Deli pada 21 Nopember 1914 silam. 

Pernyataan tersebut merujuk kepada sosok pejuang Aceh yang di kemudian hari dijuluki Teungku Tapa. Masih bersandar pada tulisan tersebut, Pembantu Betawi memulai karangannya dengan mengulas secara panjang lebar kisah kematian Teungku Tapa di Keureuto (tertulis Kerti). Saat dirinya gugur, sehelai bendera beraksara Arab menutup jasadnya. Dia memakai pakaian sutera layaknya seorang hulubalang yang gagah perkasa dan mati di medan pertempuran.

Wednesday, June 4, 2014

Aksi Pasukan Aceh di Teluk Tambora

JENDERAL Karel van der Heijden diangkat menjadi Gubernur sekaligus Panglima di Banda Aceh menggantikan Jenderal A. J. R. Diemont yang sakit, Juni 1877. Heijden merupakan blasteran Belanda yang lahir di Betawi pada 1826. Karirnya di Indonesia dimulai dari pangkat sersan.

Pergantian pucuk pimpinan perang di Banda Aceh turut mengubah kebijakan-kebijakan Belanda di daerah ini. Mereka yang semula fokus di ibu kota kini mulai melirik daerah-daerah pesisir timur yang menjadi sekutu Kerajaan Aceh. Salah satunya adalah Samalanga.

"Zeker is het dat General van der Heijden zijn sukses ook hieraan tedanken had, dat bij ieder kampong die zich onwilling toonde, zonder pardon met den grond gelijk maakte. (Jelas bahwa sukses van der Heijden ialah dari caranya menghancurkan kampung-kampung yang kelihatan tidak mau tunduk, hingga rata dengan tanah," tulis Dr. J. Jakobs dalam bukunya tentang van der Heijden.

Pocut Meuligoe; Srikandi Aceh dari Samalanga

"HAAR haat tegen de Nederlanders was zoo groot, dat zij teneinde de weerbare mannen tot den krijgsdienst te verplichten, elke veldarbeid of straffe, van de gruwzaamste en onmenschelijke wreedheden, verbood. Voortdurend werden onze vijanden op Groot Atjeh door haar met geld, oorlogmaterieel en krijgers bijgestaan, waartoe ruimschoots in staat was.

In 1876 beproefde onze Regeering langs minnelijken weg Samalanga tot de erkenning harer opperheerschappij te brengen, doch berantwoordde die voorstellen door op onze oorlogschepen te vuren, en vergreep zich dermate, dat het in de nabijheid onzer vlag de brutalste zeerooverij pleegde".

"Kebenciannya terhadap Belanda sedemikian besar, terlihat dari perintahnya bahwa semua rakyat yang sudah sanggup berperang harus masuk berjuang, bahkan untuk keperluan itu sawah ladang harus ditinggalkan, dan kalau tidak bakal dihukum berat. Demikian pula ia (Pocut Mueligo) dengan terus mengirim bantuan dana, alat perang dan sukarelawan ke Aceh Besar demi membantu perjuangan Aceh di sana.

Wednesday, April 16, 2014

Jawaban Sultan Mahmud Syah Terkait Ultimatum Belanda

WAKIL Presiden Dewan Hindia Belanda, F.N. Nieuwenhuijzen sebagai Komisaris Pemerintah yang ditugaskan menjumpai Sultan Aceh merasa kecewa dengan tanggapan Sultan Mahmud Syah. Dalam surat menyurat mereka sebelum perang berkecamuk, keduanya tetap mempertahankan kedaulatan negara masing-masing.

Dikutip dari catatan H. Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad jilid pertama, Nieuwenhuijzen merasa kehilangan pegangan dikarenakan hasil pembicaraan melalui surat menyurat tersebut sama sekali tidak berhasil menakut-nakuti Aceh. Nieuwenhuijzen kemudian menyimpulkan, Aceh tidak akan menyerah begitu saja sebelum terjadi pertumpahan darah.

Mengapa Belanda Getol Menyerang Aceh?

ACEH menjadi titik kelemahan Belanda sepanjang menyangkut Sumatera. Selama Kerajaan Aceh masih berdaulat, maka selama itu pula bayang-bayang campur tangan asing mengancam posisi Belanda di nusantara.

"Alasan sebenarnya Belanda ke Aceh adalah ingin menegakkan kekuasaannya di seluruh wilayah nusantara (pax Netherlanica) dan Aceh merupakan wilayah terakhir yang belum dikuasai," ujar Ketua Jurusan Sejarah FKIP Unsyiah, Drs. Mawardi Umar, M.Hum, MA, seperti dilansir ATJEHPOSTcom, Rabu 26 Maret 2014, menyikapi ikhwal serangan Belanda terhadap Kerajaan Aceh.

Menurutnya, tidak ada alasan lain yang menyebabkan kedua negara ini berperang selain ambisi Belanda untuk menaklukkan Sumatera sepenuhnya.

Rangkaian Surat Aceh dan Belanda Sebelum Perang

HASRAT Belanda menguasai Sumatera secara penuh dan menjadikan Aceh sebagai daerah taklukkan sama sekali tidak terbendung lagi. Mereka mengadakan sidang Dewan Hindia Belanda sesuai dengan instruksi kawat dari Menteri Jajahan van de Putte, Loudon pada 21 Februari 1873.

Hasil sidang memutuskan Belanda menyerang Aceh. Loudon kemudian mengirimkan telegram kepada Netherland yang bunyinya:

“Telah bersidang Dewan Hindia Belanda di bawah pimpinan saya sendiri. Turut hadir Jenderal dan Laksamana, semuanya menyepakati usul saya untuk mengirim secepat mungkin komisaris dengan empat batalyon serdadu ke Aceh dengan ancaman supaya menerima kedaulatan kita atau perang. Kita harus mem-fait-accompli kan Amerika. Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda adalah orangnya dan meminta supaya ketentuan Menteri tanggal 24 Agustus 1859 dihapuskan. Diminta supaya mengirim lagi dua buah kapal di samping yang sudah hendak dikirim menurut telegram tuan, Kapal perang “Koopman” masih belum bisa dipakai. Keadaan marine menyedihkan.”

Pembantaian Kuta Reh

PEPERANGAN Belanda di Aceh berlangsung dalam rentang waktu yang lama. Strategi peperangan hit and run yang dilakukan pasukan Aceh mengajarkan Belanda untuk membentuk unit pasukan khusus anti gerilya. Namanya Marchaussee.

Pasukan ini bertugas menyisir seluruh hutan rimba raya yang ada di Aceh. Mereka terdiri dari orang Ambon, Minahasa dan dipimpin oleh sersan Belanda. Pemilihan Bumiputera dalam unit ini sengaja dilakukan untuk melacak jejak pasukan Aceh di dalam hutan. Pasukan ini dikenal bengis dan tidak menghormati hukum perang. Bahkan, pemimpin pasukan Aceh yang dikenal lihai dalam strategi peperangan sekelas Teuku Umar berhasil dijebak oleh satuan khusus bentukan Jenderal Van Heutz ini.

Saat Kemala Menjadi Ibukota

KONDISI Sultan Mahmud Syah kian memburuk akibat wabah kolera yang dibawa Belanda ke daratan Aceh. Dia mangkat dalam kekuasaan singkatnya sebagai raja. Pucuk pimpinan berganti pada Tuanku Mohammad Dawot Syah yang masih berusia tujuh tahun.

Kedudukan Tuanku Mohammad Dawot Syah sebagai Sultan Aceh dikukuhkan di Masjid Indrapuri, dan didampingi oleh Dewan Pemangku yang diketuai oleh Tuanku Hasyim. Semenjak itu, Sultan Aceh memerintahkan tiga tokoh Aceh bertanggung jawab menjalankan roda pemerintahan. Mereka adalah Teungku Syekh Saman Di Tiro yang menjadi menteri perang, Teuku Umar sebagai Laksamana (wazirulbahri), dan Panglima Nyak Makam sebagai panglima urusan Aceh bagian timur.

Perintah Perang Aceh

PERNYATAAN Perang Belanda terhadap Aceh pada 1873 disikapi secara serius oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Setelah menerima laporan secara terperinci dari Balai Siasat Kerajaan (Kepala Intelijen Negara), Sultan Alaidin Mahmud Syah langsung menggelar rapat akbar bersama seluruh pejabat istana dan pemuka negeri Aceh. Sultan juga turut mengambil sumpah setia seluruh penduduk negeri menghadapi agresi Belanda tersebut.

Merujuk catatan Ali Hasjmy dalam bukunya Peranan Islam Dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, menuliskan secara panjang lebar persiapan-persiapan yang dilakukan Kerajaan Aceh menghadapi serangan Belanda. Menurut Hasjmy, menghadapi ancaman dari luar negeri tersebut Sultan Aceh turut membentuk sebuah pemerintahan yang baru, yaitu Kabinet Perang. Inti pemerintahan baru ini terdiri dari tiga orang, sementara posisi sultan tetap sebagai kepala negara.

Thursday, February 27, 2014

Pertempuran Masjid Raya

Masjid Raya Baiturrahman 1890 | Foto: KITLV
Banda Aceh, Kamis, 26 Desember 1873. Sedikitya 12 ribu marinir Belanda berhasil merebut Peunayong. Harga yang harus dibayar Belanda yaitu sekaratnya Kolonel GBT Wiggers van Kerchem, pemimpin tertinggi kedua pasukan pendaratan Belanda, terkena sasaran peluru pasukan Aceh. Perang terus berkecamuk. Desingan peluru hilir mudik disahut dentuman meriam dari Peukan Aceh dan Masjid Raya. Belanda panik.

Beberapa Bumi Putera dari Jawa dikerahkan untuk menggali parit-parit perlindungan sepanjang 560 meter, di sekitar Peunayong. Sabtu, 27 Desember 1873, kubu pertahanan tersebut berhasil dibuat sebagai bunker perlindungan. Secepatnya Belanda menurunkan barisan artilerinya untuk membalas tembakan meriam pasukan Kerajaan Aceh. Di sisi selatan bivak Peunayong dan sebelah kanan Krueng Aceh, budak-budak Belanda masih bekerja menumpuk karung goni sebagai kubu pertahanan.

Sumpah Kerajaan Aceh

Ilustrasi | Foto: KITLV
“…kita hanya seorang miskin dan muda, dan kita sebagai juga Gubernemen Hindia Belanda, berada di bawah perlindungan Tuhan yang maha kuasa…”

Pernyataan ini merupakan jawaban Sultan Alaiddin Mahmud Syah terhadap ultimatum Belanda yang bersikukuh menyerang kedaulatan Aceh. Surat pernyataan perang oleh Belanda itu ditulis pada 26 Maret 1873, dan disampaikan kepada Sultan Aceh pada 1 April 1873. Pernyataan perang itu antara lain berbunyi. “Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Hindia Belanda, ia atas nama Pemerintah, menyatakan perang kepada Sulthan Aceh..”

Thursday, January 16, 2014

Menuntut perdagangan bebas



19 FEBRUARI, kapal perang Pegasus berlabuh di Teluk Bubun yang terlindung di bagian selatan Teunom membawa rombongan utusan Inggris William Maxwell. Dia didampingi pedagang Khoo Tiangpoh dan Said Puteh, tokoh Aceh di perantauan. 

Mereka disambut oleh Teuku Yit di Bubun sebagai utusan raja. Setelah mencapai kata sepakat, Maxwell bersama Kapten Bickford melayari Sungai Teunom menuju ke hulu pada 9 Maret untuk bertemu raja.

Kehadiran utusan Inggris ini disambut meriah oleh penduduk setempat. Teuku Yit kepada Maxwell mengatakan seharusnya Inggris datang ke Aceh dan dipastikan akan disambut baik oleh masyarakat dengan mengibarkan bendera Britania. Namun Maxwell tidak merespon pernyataan Teuku Yit dan langsung mengalihkan pembicaraan mengenai pembebasan awak kapal yang sudah disandera selama empat bulan. 

Saturday, January 11, 2014

Melindungi Raja Teunom

Ilustrasi
OPERASI militer yang dilakukan Belanda sama sekali tidak berhasil membebaskan awak kapal SS Nisero dari Teuku Imam (Baca: Diplomasi Inggris untuk SS Nisero). Padahal Belanda telah membakar semua desa dan kebun lada termasuk kampung utama tempat awak-kapal ditahan yang sudah dipindahkan ke pedalaman hulu sungai.

Sementara Teuku Imam telah menyingkir ke Keumala yang menjadi markas perlawanan Aceh pimpinan Chik di Tiro yang telah mengirimkan 300 pasukan bersenjata lengkap untuk membantu pertahanan Teunom. Setelah Belanda melancarkan operasi militer, Teuku Imam mengirim surat kepada Tuanku Hasyim yang mengingatkan jangan menyerahkan awak kapal Nisero kepada musuh. Sebaliknya, rawat sandera ini dengan baik untuk kepentingan perang.

Berbagai cara telah dilakukan Residen van Langen untuk melepaskan para awak kapal. Tetapi penguasa Teunom ini justru semakin galak. Van Langen menggunakan musuh Teuku Imam, yakni Raja Itam dari Meulaboh yang dibekali senjata dari Belanda untuk menaklukan Teunom. Tetapi gagal.

Diplomasi Inggris untuk SS Nisero



Ilustrasi

PEMBERITAAN peristiwa Kapal Nisero menjadi berita dunia yang baru diterima di Penang pada 22 November dan menghiasi halaman utama media di Eropa (Baca: Pembalasan Teunom). Kejadian ini menimbulkan reaksi di London dan memusingkan pemerintah Belanda di Den Haag. 

Pihak Belanda di Aceh melakukan berbagai cara untuk melepaskan para awak kapal, tetapi Teuku Imam sangat lihai hingga semua cara yang dilakukan gagal. Nama Teuku Imam dari Teunom mencuat di pentas internasional.

Peristiwa tersebut memicu tindakan dari Gubernur Strait Settlement Sir Frederick Weld dengan mengirimkan kapal perang Pegasus di bawah komando Kapten Bickford, 22 November. Pegasus tiba di Ulee Lheue pada 26 November 1883. 

Pembalasan Teunom


The crew of SS Nisero. @malaysiaflyingherald.wordpress.com
KAPAL uap SS Nisero milik Inggris berlayar di lepas pantai barat sekitar Teunom Aceh Barat, 8 November 1883. Kapal yang dinahkodai oleh Kapten Woodhouse dalam perjalanan kembali ke Inggris ini membawa ratusan karung gula dari pelabuhan Surabaya. Malam belum lagi larut ketika kapal dihantam badai dan hujan keras serta gelombang menyeret bahtera ini ke daratan. Nahkoda bersama 29 anak buah kapal kandas di muara sungai dekat Panga, sekitar 40 mil bagian utara Meulaboh.
 
Kondisi ini dimanfaatkan dengan baik oleh Teuku Imam Muda. Dia menjarah isi kapal uap SS Nisero dan menyandera awak kapalnya. Sedikitnya, 18 warga Inggris menjadi tahanan, selebihnya merupakan warga Belanda, Jerman, Italia, Amerika, Norwegia dan China. Teuku Imam Muda merupakan salah satu tokoh di Teunom yang dikenal memiliki harga diri tinggi, kemauan keras dan saleh. Dia dihormati oleh penduduk setempat sebagai pemimpin di daerah tersebut. 

Saturday, December 28, 2013

Hancurnya Markas Seulimum

SETELAH Sultan Muhammad Syah mangkat pada Januari 1874, Aceh kehilangan figur kepemimpinan. Sedangkan Tuanku Daud saat itu masih 10 tahun. Perlawanan melawan Belanda hanya dilakukan oleh kelompok pejuang Aceh secara terpisah.

Kondisi ini dimanfaatkan dengan baik oleh Habib Abdurachman al Zahir. Di Aceh Besar, Habib menjadi pemersatu bagi kerajaan-kerajaan kecil untuk perjuangan Aceh.

Konsolidasi langsung dilakukan oleh Habib selama dua tahun lamanya sejak ia tiba di Aceh Besar pada Juli 1876. Beberapa panglima sagoe memberikannya wewenang untuk mengatur strategi melawan Belanda. Di antaranya, Panglima Polem, Teuku Muda Baet, Imuem Lueng Bata, dan Teuku Paya serta dua raja kecil seperti Raja Gigieng dan Teungku Pakeh dari Pidie.

Beaulieu: There are great plenties but...



ORANG Aceh dikenal angkuh dan enggan menjadi petani kendati alam Aceh begitu subur sehingga ribuan hektar tanah terbengkalai begitu saja. Setidaknya inilah yang dicatat oleh Beaulieu, seorang pelayar dari Prancis yang datang ke Aceh seperti yang ditulis oleh Denys Lombard dalam bukunya Kerajaan Aceh; Zaman Sultan Iskandar Muda.

“Tanahnya baik sekali, dapat menghasilkan segala macam padi-padian dan buah-buahan, ada rerumputan yang bagus sekali, tempat merumput banyak kerbau yang dipakai mengolah (membajak) tanah, menarik bajak dan muatan,” kata Beaulieu.

Masih dalam catatan Denys Lombard, Beaulieu mengatakan di Aceh biri-biri (domba) tidak begitu cocok hidup di alam Aceh namun sangat bagus untuk sapi, kuda serta unggas. Pelaut-pelaut berjiwa petani yang datang dari Benua Eropa kesal melihat tanah itu tidak digarap. “Yang mereka tanam hanyalah padi… dan hanya sedikit sayuran…”

Friday, December 27, 2013

Homen Cavaleiro Aceh

”Mada ada ngantarai daripada dua raja itu suatu sungai, setengah kepada raja Makota Alam, setengah kepada raja Dar ul-Kamal.” Begitulah Hikayat Aceh menggambarkan awal mulanya pembentukan Kerajaan Aceh.

Kedua penguasa pemukiman--Meukuta Alam dan Darul Kamal--tersebut mengawinkan anak mereka sebagai tonggak dasar penggabungan wilayah. Hal ini berbuah pada perluasan kedua wilayah yang kemudian dipimpin oleh seorang raja dari Makota Alam. Dua wilayah yang bergabung ini, kemudian dinamakan dengan Aceh Darussalam.

Meskipun begitu, kedua penduduk pemukiman ini masih belum dipastikan asal daerah mereka sebenarnya. Karena, berdasarkan kesaksian Snouch Hougronje, ia pernah mendengar seorang ulama kharismatik Aceh, Teungku Kutakarang yang menyebutkan Aceh lahir dari percampuran orang Arab, Parsi dan Turki. Namun, di Pasai selaku daerah bagian Aceh didapati pada mulanya dihuni oleh orang Bengali yang jumlahnya mayoritas.

Pasai dalam kenangan Ma Huan

MA Huan seorang Muslim dan ahli bahasa-bahasa asing telah membuat catatan yang rapi tentang kesan-kesan perjalanannya ke Pasai saat menyertai lawatan Cheng Ho ke Aceh. Tulisan tersebut berjudul: Ying Yai Sheng-Lan dan telah diterbitkan pada 1416 M. 

Tulisan ini menyebutkan kesan-kesan perjalanan Ma Huan ke 19 negeri dari 1405 hingga 1407. Berikut kesan Ma Huan saat lawatannya ke Pasai:

"Negeri ini terletak di perlintasan yang lebar dari perdagangan menuju ka Barat. Jika kapal bertolak dari Malaka mengambil arah ke barat dan berlayar dengan angin timur yang sedap, sesudah lima hari lima malam akan tiba di suatu kampung, di tepi pantai. Namanya Ta-luman. Berlabuh di sini dan pergi lagi ke tenggara kira-kira tiga mil maka sampailah ke tempat tersebut.

Friday, December 13, 2013

Sejarah Bandar Khalifah


Pusat pemerintahan Aceh Timur di Idi. @Heri Juanda/The Atjeh Times
Aceh Timur terus berbenah menjadi salah satu daerah maju di Aceh dan mengembalikan kejayaan sejarah Bandar Khalifah.

BEBERAPA kendaraan roda empat dan sepeda motor lalu lalang di Jalan Banda Aceh Medan, tepatnya di pusat Kota Peureulak, Sabtu dua pekan lalu. Hari itu, matahari masih tepat berada di atas kepala. The Atjeh Times menyusuri jalan kota Bandar Khalifah tersebut dan menemukan setidaknya ada dua warung kopi yang menyediakan fasilitas wifi.

“Beginilah Peureulak, tidak kolot dan sudah ada (warung kopi) wifi seperti di Banda Aceh,” ujar Faisal Zakaria, salah satu pemuda Aceh Timur kepada The Atjeh Times.

Menurutnya, kondisi Peureulak sebagai salah satu kota di Aceh Timur kian bangkit meski pun perlahan. Kota tersebut tidak kalah dalam segi pembangunan dibandingkan Idi yang menjadi pusat pemerintahan Aceh Timur saat ini.

Peureulak merupakan salah satu kota tua di Aceh. Kawasan ini terkenal dengan sejarahnya yang gemilang di Dunia Islam Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Kota ini dikenal dengan sebutan Bandar Khalifah di era kejayaannya dengan pusat pemerintahan berada di Gampong Paya Meuligoe.

Friday, December 6, 2013

Perang Belanda di Aceh

Film Cut Nyak Dhien yang diperankan oleh Christine Hakim
PRAJURIT Kerajaan Aceh Darussalam menenggelamkan setiap kapal berbendera Belanda saat melewati daerah kekuasaannya. Hal ini dilakukan usai negeri Kincir Angin tersebut mengkhianati perjanjian Siak. Peperangan ini berlangsung hingga tiga tahap.

Pada 13 Oktober 1880, setelah berhasil merebut Istana (Dalam-Kraton), Belanda menyatakan perang frontal yang terjadi di Aceh berakhir. Padahal masih banyak pejuang Aceh yang bergerilya saat itu.

Konflik antar negara ini mulanya dipicu oleh sikap Belanda saat menduduki Siak akibat perjanjian yang ditandatangani pada 1858. Isi perjanjian ini yaitu Sultan Ismail menyerahkan Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda. Padahal daerah-daerah ini sudah berada di bawah kekuasaan Aceh sejak kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.

Cheng Ho; Perekat Aceh-Tionghoa

Peta perjalanan Cheng Ho
CHENG Ho adalah seorang kasim Muslim yang menjadi orang kepercayaan Kaisar Yongle dari Tiongkok (berkuasa tahun 1403-1424), kaisar ketiga dari Dinasti Ming. Nama aslinya adalah Ma He, juga dikenal dengan sebutan Ma Sanbao, berasal dari provinsi Yunnan.

Ketika pasukan Ming menaklukkan Yunnan, Cheng Ho ditangkap dan kemudian dijadikan orang kasim. Ia adalah seorang bersuku Hui, suku bangsa yang secara fisik mirip dengan suku Han, namun beragama Islam.

Dalam Ming Shi (Sejarah Dinasti Ming) tak terdapat banyak keterangan yang menyinggung tentang asal-usul Cheng Ho. Cuma disebutkan bahwa dia berasal dari Provinsi Yunnan, dikenal sebagai kasim (abdi) San Bao.

Catatan Penting Sejarah Aceh

Pembantaian warga Gayo oleh Marsose Belanda. @troppen
SECARA historis disebutkan bahwa Aceh dulunya berbentuk kerajaan, berdaulat, dan tidak tun­duk apalagi takluk di bawah kekuasaan asing.

Beda dengan kini, Aceh hanya menjadi bagian dari se­buah wilayah yang disebut provinsi. Aceh kini adalah Aceh yang takluk pada pemerintahan sentralistik, mes­ki dulu ia sebagai daerah yang berdaulat dengan send­irinya.

Mencermati hasil penelitian Denys Lombard, membu­ka kembali cakrawala masyarakat pembaca terhadap Aceh masa lalu sembari menikmati Aceh masa kini.

Buku setebal 408 halaman itu merupakan disertasi ilmiah Lombard terhadap sejarah Aceh sepanjang za­man Sultan Iskandar Muda. Asumsi awal bahwa Aceh masa Iskandar Muda adalah sebuah kuasa berdaulat dan makmur menjadikan Lombard tertarik mengada­kan penelitian tentang Aceh.

Tonggak Awal Berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam

Peta Kerajaan Aceh tempo dulu
KERAJAAN Aceh lahir dari penggabungan dua buah kota pemukiman besar di Aceh Besar. Hal ini ditulis dalam Hikayat Aceh, halaman 72. Kedua kota pemukiman ini yaitu Meukuta Alam dan Darul Kamal. Kedua kota ini, berdasarkan hikayat tersebut dipisahkan oleh satu aliran sungai.

Mada ada ngantarai daripada dua raja itu suatu sungai. Setengah kepada raja Makota Alam, setengah kepada raja Dar ul-Kamal,” tulis hikayat tersebut.

Kedua penguasa pemukiman selanjutnya mengawinkan anak mereka sebagai tonggak dasar penggabungan wilayah. Perkawinan itu berujung pada perluasan kedua kawasan yang kemudian dipimpin oleh seorang raja dari Meukuta Alam. Dua kerajaan yang bergabung ini kemudian dinamakan dengan Aceh Darussalam. Sayangnya tidak ada catatan sama sekali mengenai tanggal pasti penggabungan dua wilayah ini.

Perjalanan Cinta Cut Meutia di Tengah Genderang Perang

Ilustrasi orang Aceh tempo dulu
“…Dengan gelora berahi seorang wanita yang hangat dan penuh gairah, ia melangkah ke atas ranjang peraduan pengantin, kehangatan dan kegairahan yang lebih berkobar dibandingkan dengan wanita-wanita di mana pun. Dan dengan gelora nafsu seperti itu pulalah ia melangkah ke medan pertempuran untuk bertarung. Ia tidak merasa takut mendampingi suaminya dan mengiringi pasukan-pasukan melakukan pertempuran di mana-mana. Ia keluar-masuk hutan belantara dengan menelan serba aneka kesulitan, kepahitan dan penderitaan. Sementara itu, pasukan-pasukan marsose mengintainya ke mana ia pergi…” tulis Zentgraaf dalam bukunya berjudul Atjeh ‘melukis’ sosok Cut Meutia.

Cut Meutia merupakan putri Teuku Ben Daud yang lahir di tahun 1880, tepat setelah tiga tahun pecah perang antara Kerajaan Aceh melawan Belanda. Dia merupakan keturunan Tok Bineh Blang, seorang bangsawan yang juga ulama dan mempunyai hubungan erat dengan Istana Darud Dunia.

Tengku Fakinah; Panglima Perang dan Ulama Aceh Besar

Ilustrasi
SEPUCUK surat tiba ke dalam genggaman Cut Nyak Dhien. Surat itu ditulis dalam bahasa Aceh yang indah namun sangat menyayat hati dan perasaan Cut Nyak.

Surat itu berasal dari sahabatnya Tengku Fakinah. Dia merupakan Panglima Sukey (Resimen) Fakinah. Resimen ini memiliki empat balang (batalion) yang di dalamnya merupakan kumpulan pendekar-pendekar wanita tangguh. Balang ini tak pernah menyerah melawan Belanda.

Berdasarkan catatan Ali Hasymi dalam bukunya Wanita Aceh menyebutkan penggalan isi surat itu yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

"... Saya harap kepada Cut Nyak agar menyuruh suaminya, Teuku Umar, untuk memerangi wanita-wanita yang telah siap menanti di Kuta Lamdiran (markas Sukey Fakinah), sehingga akan dikatakan orang bahwa dia adalah panglima berani, Johan Pahlawan seperti yang digelarkan oleh musuh kita Belanda..." tulis Tengku Fakinah.

Jejak Istana di Tepi Kuala Naga

KERAJAAN Aceh Darussalam dibangun di atas puing Kerajaan Indra Purba. Keterangan itu diperoleh setelah ditemukannya batu-batu nisan di Gampong Pande, Banda Aceh.

Di antaranya seperti yang terukir di nisan Sultan Firman Syah cucu dari Sultan Johan Syah. Di batu itu dituliskan keterangan bahwa Banda Aceh adalah ibukota Kerajaan Aceh Darussalam yang dibangun pada Jum'at, 1 Ramadhan 601 H atau 22 April 1205. Ibukota Banda Aceh ini dibangun oleh Sultan Johan Syah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Indra Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri.

Keterangan lain mengenai Kesultanan Aceh Darussalam juga dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan milik Sultan Ali Mughayat Syah. Di nisan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yang berada di Kandang XII Banda Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada 7 Agustus 1530.

Istana Darud Dunia Berdasarkan Cerita Penjelajah Eropa

ZAMAN keemasan Aceh di bawah Kesultanan Iskandar Muda bukanlah sebuah dongeng seperti yang disebutkan Snouck Hougronje.
===============================
“The golden age of Acheh in which the mohammedan law prevailed or in wich the Adat Meukuta Alam may be regarded as the fundamental law of the kingdom, belongs to the realm of legend.” ("Masa keemasan Aceh di mana hukum Islam berlaku atau di yang dengan Adat Meukuta Alam bisa dianggap sebagai hukum dasar kerajaan, adalah milik ranah legenda.")

Setidaknya keagungan masa  pemerintahan Iskandar Muda dapat digambarkan oleh Denys Lombard dalam bukunya Kerajaan Aceh. Menurut Lombard, Aceh pada masa itu merupakan sebuah negara dengan sistem perkotaan bukan negara pertanian. Aceh sama halnya dengan negara-negara Asia pada umumnya.

Para Perempuan di Sekeliling Sultan

Ilustrasi Sultanah Sri Ratu Safiatuddin
ATURAN Kerajaan Aceh masa Sultan Iskandar Muda jauh berbeda dengan aturan-aturan yang ada di kerajaan-kerajaan Eropa. Hal ini disampaikan Kapten Jendral Beaulieu, salah satu utusan Raja Louis XIII dari Prancis yang datang ke Aceh pada tahun 1620 M.

Beaulieu merupakan satu-satunya bangsa asing yang berhasil masuk ke dalam istana Darud Dunia dan meneliti banyak hal. Berdasarkan cerita dia dalam buku Kerajaan Aceh karya Denys Lombard menyebutkan, Sultan Aceh memiliki 3.000 perempuan dalam istananya.

Perempuan-perempuan tersebut, merupakan satu-satunya penduduk perempuan yang ada di dalam istana. Tidak ada laki-laki yang boleh masuk jauh lebih dalam istana Kerajaan Aceh.

Wednesday, December 4, 2013

Indatu



Lokasi eskavasi Loyang Mandale. @The Atjeh
Penemuan manusia pra sejarah di situs Loyang Mandale membuka tabir asal mula bangsa Gayo. Inikah indatu bangsa Aceh?


LOYANG Mendale terlihat sepi berada di sisi tebing berbatu. Gua ini berbentuk ceruk yang melengkung ke dalam tebing di kawasan Danau Lut Tawar. Ada beberapa jenis pohon seperti kopi, jambu dan rumpun bambu tumbuh di sana.

Beberapa lubang bekas galian terdapat di dalam gua atau di sisi barat Danau Lut Tawar. Lubang-lubang tersebut dipagari kawat berduri dengan tiang-tiang bambu. Di sinilah ditemukan kerangka pra sejarah yang diduga sebagai nenek moyang orang Gayo. 

Penemuan kerangka pra sejarah tersebut berawal dari penelitian Tim Balai Arkeologi Medan yang dipimpin oleh Ketut Wiradnyana pada 2007 lalu. Survei dilakukan di sejumlah titik yang dianggap memiliki potensi peninggalan sejarah.

Saturday, November 30, 2013

Politik Elizabeth di Aceh

Kekuasaan Sultan Aceh yang menguasai perdagangan lada di Pulau Sumatera akhirnya sampai juga ke telinga pembesar di Kerajaan Inggris. Kabar ini disebarkan oleh John Davis, seorang juru mudi Inggris yang masuk dinas de Houtman bersaudara pada waktu pelayaran Zelandia pertama.

Dikutip dari catatan Sir James Lancaster yang diterbitkan pada tahun 1940 oleh W Foster dalam bukunya Voyages of Sir James Lancaster; mengisahkan Kompeni Hindia Timur Inggris lalu mengirim kapal-kapal ke laut selatan pada 1601 usai mendengar kabar tersebut.

Friday, November 29, 2013

Berdiplomasi dengan Paris



Kerajaan Aceh sejak lama telah menjalin hubungan dengan sejumlah negara luar, seperti Inggris, Prancis, Amerika, Belanda, Turki, China dan beberapa negara di Asia lainnya. Di masa Aceh dipimpin Sultan Iskandar Muda Johan Berdaulat, daerah ini juga mengikat hubungan dengan negara-negara besar Eropa. Satu diantaranya yaitu negara Prancis.

Kerajaan Aceh yang kaya akan hasil bumi, menarik hati pembesar-pembesar atau raja-raja dari Eropa untuk menjalin hubungan diplomatis. Seperti halnya yang dilakukan oleh Raja Louis XIII lewat perantaranya de Beaulieu. Mereka saling mengirimkan surat dan mengikat kerjasama di bidang perdagangan. Sayangnya, surat-surat yang ditujukan Raja Perancis ini raib dan tidak tahu kemana. 

Dalam buku Kerajaan Aceh karya Denys Lombard hanya melampirkan surat balasan dari Sultan Iskandar Muda yang berisi tentang hubungan dagang antara Aceh dan Perancis pada masa itu.

Mengenang Iskandar Muda

Peringatan HAUL Sultan Iskandar Muda
di Banda Aceh. @Heri Juanda
PULUHAN pria memakai baju putih duduk melingkari makam Sultan Iskandar Muda di Gedung Juang, Banda Aceh, Kamis 27 Desember 2012 lalu.  Beberapa diantaranya memakai baju kemeja berwarna sembarang. Mereka terlihat kusyuk merapal kalam ilahi melalui samadiyah memperingati Haul Sultan Iskandar Muda ke 367.

Samadiyah tersebut dimulai dan dipimpin oleh Teungku Muhammad Rizal dari Pesantren Ulee Titi Lambaro pada pukul 10.35 WIB. Terlihat diantara peserta samadiyah ini Tuanku Raja Yusuf keturunan dari Sultan Alaidin Dawwood Syah, Raja Ubit Ashabul Yamin Panglima Polem dari generasi Raja Pakeh, Said Muslem al Bahsin cucu dari Mufti Kerajaan Aceh. Selain itu juga ada perwakilan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh serta Disbudpar Kota Banda Aceh.

Tuesday, November 5, 2013

Berziarah ke Makam Pocut Baren

Jaraknya sekitar dua jam perjalanan jika ditempuh dari Meulaboh. Tak ada petunjuk jalan maupun penjaga makam yang bisa menceritakan sejarah Pocut.
=====================================================
Makam Pocut Baren di Desa Tungkop,
Sungai Mas Aceh Barat. @Darmansyah
KOMPLEK makam seluas 500 meter bujur sangkar itu dipagari besi. Letaknya di atas gunung di kawasan Desa Tungkop Kecamatan Sungai Mas, Aceh Barat. Tepat di depan pintu masuk komplek tertulis: Makam Pahlawan Pocut Baren.

Kawasan komplek makam ini ditumbuhi pepohonan yang rimbun. Saat The Atjeh Times berkunjung pada Kamis 15 Agustus 2013 lalu, suasana sekitar komplek makam terasa sejuk dan mampu melepaskan penat selama perjalanan ke lokasi.