Tuesday, March 10, 2015

Benteng Batee Iliek dan Pertempuran Terakhir Teungku Cik Pante Geulima

TEUNGKU Cik Pante Geulima Syekh Ismail bin Yakub tanpa komando dari Kerajaan Aceh Darussalam langsung membentuk pelatihan belanegara sebelum Belanda mengeluarkan ultimatum pada 26 Maret 1873. Dayah Pante Geulima yang telah memiliki hampir seribu santri langsung berubah menjadi kamp pelatihan militer. Setelah peperangan meletus antara Kerajaan Aceh Darussalam dengan Belanda, Teungku Cik Pante Geulima bersama satu balang (batalion) sekitar seribu orang, berangkat ke Aceh Besar untuk mempertahankan Krueng Daroy. Di sana, ia mendirikan kuta reuntang dengan tujuh buah kubu yang sambng menyambung, dengan kubu induk bernama Kuta Bu. (Baca: Teungku Cik Pante Geulima; Panglima Perang di Kuta Reuntang). 

Meskipun ibu kota Kerajaan Aceh Darussalam dapat direbut musuh, tapi keberadaan Teungku Cik Pante Geulima di kuta reuntang kerap merepotkan Belanda. Kuta reuntang sama sekali tidak bisa ditembus Belanda selama di bawah kepemimpinan Teungku Cik Pante Geulima. Setelah 3,5 bulan memimpin daerah Krueng Daroy akhirnya Teungku Cik Pante Geulima ditarik kembali ke Pidie oleh Laksamana Teuku Raja Muda Cut Latif. Ia kemudian diutus ke Tanah Batak dan Karo untuk melakukan diplomasi politik dengan raja-raja setempat termasuk dengan Sisingamangaraja XII. (Baca: Peranan Teungku Cik Pante Geulima di Daerah Sisingamangaraja). 

Peranan Teungku Cik Pante Geulima di Daerah Sisingamangaraja

SEJAK Belanda mengganggu kedaulatan Kerajaan Aceh Darussalam, pimpinan Dayah Cik Pante Geulima, Syekh Ismail bin Yakub ikut memperkuat barisan militer di Aceh Besar. Ia dipercaya sebagai panglima perang kuta reuntang di Daerah Krueng Daroy selama 3,5 tahun. Keberadaannya di daerah tersebut terus mengancam posisi Belanda yang telah menguasai ibu kota. (Baca: Teungku Cik Pante Geulima; Panglima Perang di Kuta Reuntang

Pihak Kerajaan Aceh Darussalam telah memperkirakan peperangan menghadapi Belanda akan berlangsung lama. Karenanya, Teungku Cik Pante Geulima Syekh Ismail bin Yakub mendapat mandat mengunjungi Tanah Batak dan Tanah Karo untuk perlawanan menghadapi Belanda. Tugas tersebut dilaksanakan Syekh Ismail dengan mengikutsertakan 400 pasukannya ke wilayah Batak Karo. Di dalam pasukan tersebut terdapat ulama, juru dakwah, dan ahli peperangan. Setiba di wilayah Batak dan Karo, Syekh Ismail bin Yakub mengadakan kontak dengan pemimpin-pemimpin setempat. Salah satunya dengan Pahlawan Batak, Sisingamangaraja XII.

Teungku Cik Pante Geulima; Panglima Perang di Kuta Reuntang

DIA merupakan salah satu pejuang yang berjasa dalam perang di benteng Aceh, Kuta Batee Iliek melawan Belanda. Namanya terkenal pada masa perang kolonial, tapi terlupakan dalam catatan sejarah kepahlawanan Indonesia.

“Jenderal K. Van der Heijden, panglima agresor, yang dipaksa atasannya memimpin penyerbuan terhadap benteng Aceh, Kuta Batee Iliek, harus menyerahkan matanya kepada pelor pahlawan-pahlawan Aceh hatta buta, namun Kuta Batee Iliek, salah satu benteng Aceh yang hebat tidak dapat direbutnya. Sehingga dia dicopot dari jabatannya dan diserahkan kepada Jenderal Mayor YB van Heutsz. Salah seorang di antara pahlawan Kuta Batee Iliek yang terkenal adalah Tengku Haji Ismail bin Yakub,” tulis Ali Hasjmy dalam bukunya: Ulama Aceh, Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangun Tamaddun Bangsa.

Haji Ismail bin Yakub merupakan anak Teungku Cik Pante Geulima Yakub. Garis keturunannya yang panjang bermuara kepada Sultan Aceh Saiyiddil Mukamil.

Ali Hasjmy merunut silsilah Haji Teungku Haji Ismail bin Teungku Cik Pante Geulima Yakub bin Teungku di Bale Abdurrahman bin Teungku Muhammad Said bin Teungku Darah Puteh bin Teungku Tok Setia bin Teungku Yakub bin Meurah Puteh bin Meurah Abdullah bin Saiyiddil Mukammil. Leluhur Haji Ismail, yang memiliki nama sama dengan ayahnya, Yakub, memilih jalan berbeda seperti ayah dan kakeknya yang bergelar Meurah. Ia lebih mencintai pendidikan daripada kekuasaan yang kemudian mendirikan Dayah Pante Geulima. Sejak itu semua leluhur Ismail yang memimpin dayah dikenal sebagai Teungku Cik Pante Geulima. Ismail lahir di Pante Geulima, Meureudu, sekitar tahun 1838 atau 1253/1254 Hijriah.

Pepustakaan Tanoh Abee

"PERPUSTAKAAN (kutubkhanah) ini milik pribadi keturunan Teungku Chiek Tanoh Abee Al Fairusy Al Bagdady. Di dalam perpustakaan ini banyak tersimpan manuskrip-manuskrip tentang Islam, sejarah dan kebudayaan Aceh dari abad 16 hingga abad 19 M."

Demikian isi pamplet Pustaka Tanoh Abee yang dipancang di depan gerbang kompleks perpustakaan tertua di Asia Tenggara tersebut. Pustaka ini terletak di Blang Krieng atau Gampong Seuneubok, Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar.

Di dalam kompleks ini terdapat dua gedung permanen bantuan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) yang dibangun medio 2009 lalu. Salah satu bangunan permanen ini langsung menyambut tamu yang datang dari pintu gerbang utama. Kondisinya kurang terurus lantaran pembangunan yang disebut-sebut asal jadi.

Teuku Umar Berbalik Arah Melawan Belanda karena Kecewa?

TANTANGAN perang dari Teungku Fakinah, pemimpin sukey (resimen) perempuan Kerajaan Aceh Darussalam bukan satu-satunya alasan Teuku Umar kembali melawan Belanda. Setelah pengkhianatannya terhadap kerajaan, Umar yang diberi julukan Johan Pahlawan dan mendapat kedudukan sebagai panglima besar oleh Belanda tersebut ternyata memendam rasa kecewa. Adalah H Mohammad Said yang mencatat kekecewaan Teuku Umar tersebut dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad jilid II.

Meninggalnya Teungku Ma'at Sang Ulama Tiro

Ilustrasi
PERLAWANAN ulama Aceh di bawah pimpinan keluarga Tiro membuat Belanda kewalahan. Dimulai dari peran serta Syekh Muhammad Saman yang dikenal Teungku Chik Di Tiro pada masa awal peperangan Belanda di Aceh, keluarga Tiro terus menerus menyulitkan Belanda hingga mereka angkat kaki dari Aceh.

Tongkat estafet jabatan Wali Nanggroe yang diberikan kepada keluarga Tiro menjadi salah satu penyebab tingginya perlawanan Aceh terhadap Belanda. Meskipun Belanda telah menangkap Sultan Aceh terakhir, Sultan Muhammad Dawood namun pejuang Aceh tidak berhenti melakukan perang gerilya. Sejak meninggalnya Syekh Muhammad Saman di Tiro pada 1891, jabatan Wali Nanggroe dipikul oleh anak-anak dan cucunya.

Semasa perang melawan Belanda, jabatan Wali Nanggroe terakhir dijabat oleh Tengku Chik di Tiro Muaz bin Muhammad Amin. Ia merupakan salah satu pemuda yang baru berusia 16 tahun. Teungku Ma'at merupakan nama lain Syeh Ma'at bin Muhammad Amin alias Teungku Chik di Tiro Muaz bin Muhammad Amin merupakan Wali Nanggroe ke tujuh di Aceh yang diangkat pada 1911 setelah meninggalnya Teungku Mahyeddin di Tiro.

Monday, March 9, 2015

Meninggalnya Cut Nyak di Pengasingan

Ilustrasi film Cut Nyak Dhien yang diperankan Christine Hakim
KAMAR tersebut berukuran 3x5 meter sementara ranjangnya berukuran 2x2 meter. Di kamar inilah Cut Nyak Dhien, srikandi asal Aceh tersebut melewati masa tuanya. Rumah ini terletak di jalan P. Suriaatmaja, Sumedang, Jawa Barat tepatnya di belakang Masjid Agung Sumedang. Dulu rumah tersebut menjadi tempat warga belajar mengaji pada Ibu Perbu--julukan Cut Nyak Dhien oleh warga Sumedang. Rumah ini lantas direhab pada 1979 dengan ukuran 12x14 meter dan tinggi 1 meter.

Saat Cut Nyak Dhien diasingkan dari tanah kelahirannya, Aceh, ke Sumedang, penguasa daerah saat itu berada di tangan Pangeran Aria Suriaatmaja. Kondisi Cut Nyak yang telah renta membuat Pangeran menugaskan seorang ulama Masjid Agung Sumedang, KH Sanusi, merawat istri Teungku Ibrahim Lamnga dan Teuku Umar tersebut. Namun saat itu rumah KH Sanusi sedang diperbaiki dan untuk sementara waktu Cut Nyak Dhien dititipkan selama tiga minggu di rumah H. Ilyas.

Setelah rumah KH Sanusi diperbaiki, baru dibawa kembali ke rumah KH Sanusi. Cut Nyak berada di bawah perawatan KH Sanusi selama setahun karena ulama Masjid Agung tersebut meninggal. Selanjutnya, anak KH Sanusi, H Husna, meneruskan perawatan Cut Nyak Dhien hingga pahlawan asal Aceh itu meninggal dunia pada 6 November 1908. Ibu Perbu lantas dimakamkan di kompleks makam keluarga H Husna, di Gunung Puyuh, Desa Sukajaya, Sumedang Selatan.

Setelah Keureutoe Dipimpin Pang Nanggroe

RUMPUT setinggi lutut orang dewasa tumbuh subur di sekeliling Kompleks Makam Pang Nanggroe dan Pang Lateh yang terletak di Desa Pante, Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara. Jika musim penghujan, lantai makam biasanya tergenang air karena bumbung kanan makam yang terlalu kecil.

Pemerintah Kabupaten Aceh Utara telah memugar kompleks makam ini pada 1992 lalu. Sebelumnya, cungkup makam hanya terbuat dari papan dan seng. Kini cungkup makam dua pahlawan Aceh tersebut telah disulap dengan bangunan permanen dan dilengkapi pagar besi berwarna biru. Pagar juga diberi jaring oleh juru kunci agar tidak masuk hewan ternak yang banyak berseliweran di areal makam. Di depan dan belakang kedua makam itu juga terdapat beberapa kuburan lainnya. Di belakang kompleks makam tersebut ada pabrik padi.

Makam ini diapit lokasi bongkar muat SPSI Lhoksukon Express serta rumah warga di sisi kanan dan kirinya. Lokasi makam mudah dijangkau. Jaraknya tak jauh dari pusat pertokoan Kota Lhoksukon. Jalan masuknya melewati kantor pos setempat. Sedikit belokan ke arah kiri tanggul sekitar 50 meter dari kantor pos. Kompleks makam Pang Nanggroe dan Pang Lateh tidak banyak berubah dari tahun ke tahun. Hanya saja, kini di sekitar jalan masuk makam telah dipagar bambu oleh warga setempat untuk ditanami pohon cabai. Sedangkan di depan kompleks juga terlihat berjejer kandang ayam milik warga.

Sunday, March 8, 2015

Napak Tilas Cut Meutia

Ilustrasi
PULUHAN karyawan PT Pupuk Iskandar Muda pernah menyusuri jalan menuju makam Cut Nyak Meutia di kawasan Gunong Lipeh, pedalaman hutan belantara Hulu Krueng Peuto, Pirak Timu, Aceh Utara, medio April 2013 lalu. Perjalanan itu sempat tertahan di Buket Pineung Rhuek selama satu jam. Mesin mobil Hartop atau Jeep rombongan meraung keras menjajal medan jalan yang terjal dan licin.

Menuju makam pahlawan nasional tersebut membutuhkan perjuang ekstra. Selain Buket Pineung Rhuek, tantangan lainnya juga menanti  di Gunung Alue Capli, Gunong Angkop, Bukit Cinta dan Gunong Tutue Peut sebelum mencapai Gunong Lipeh.

Informasi yang ditelusuri ATJEHPOST diketahui jarak makam istri Pang Nanggroe ini sekitar 32 kilometer dari pusat kota. Bahkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Utara memasukkan makam Cut Nyak Meutia sebagai salah satu objek kategori wisata minat khusus.

Perjalanan menuju ke daerah tersebut terbilang sulit. Selain jauh, kondisi jalan juga rusak parah dan belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Hanya wisatawan yang memiliki jiwa petualangan mampu menuju lokasi peristirahatan terakhir ibu Putra Rajawali tersebut.

Wasiat Sultan Aceh; The Aceh Code

KERAJAAN Aceh pernah berjaya di perairan nusantara berkat perdagangan ekspor lada. Hal tersebut berlangsung lama hingga akhirnya Aceh menjadi primadona lada bagi seluruh dunia kala itu.

Kejayaan tersebut tentu saja tidak serta merta terjadi dengan sendirinya. Namun kejayaan ini tegak setelah Sultan Ali Mughayat Syah menginstruksikan Dasar Kerajaan Aceh yang wajib dipatuhi oleh seluruh rakyat.

Merujuk catatan Tan Sri Sanusi Junid dalam blog pribadinya diketahui Sultan Aceh telah menetapkan 21 kewajiban untuk rakyatnya agar bisa mencapai kejayaan. Ia memberinya judul 21 Wasiat Sulthan Aceh-The Aceh Code yang dikutip dari manuskrip "Wasiat Sultan Aceh". Manuskrip ini ditemukan di perpustakaan Universiti Kebangsaan Malaysia yang berisi petunjuk kepada pemimpin-pemimpin Aceh dan diterbitkan pada Ahad, 12 Rabi'ul Awwal 913 Hijriah atau bersamaan 23 Juli 1507.

Friday, March 6, 2015

Sejarah Ekspor Aceh di Masa Awal Perdagangan Dunia

Herodotus, ahli sejarah Yunani adalah orang pertama yang membuat peta dunia pada 450 Sebelum Masehi. Dalam peta tersebut, ia menggambarkan dunia berakhir di India merujuk pada ekspansi Alexander the Great yang hanya berhasil mencapai sungai Indus.

Peta dunia kemudian diperbaiki oleh nahkoda Yunani yang tidak dikenal namanya. Ia membuat semacam buku penuntun yang dinamai Feriplus Maris Erythraea atau petunjuk pelayaran laut India pada awal abad 1 Masehi. Ia menjelaskan lintasan perdagangan yang terjadi masa itu antara Mesir dan India, pelabuhan-pelabuhan yang dijumpai di tengah perjalanan laut dan barang-barang yang diperjualbelikan antar negara.

Namun keterangannya mengenai Chryse atau wilayah yang ada di timur hanya diperolehnya dari catatan-catatan orang India dan penduduk sungai Gangga. Berdasarkan catatan nahkoda Yunani tersebut, diketahui Chryse adalah satu negeri yang menghasilkan penyu terbaik di lautan Hindia. Jika dituju lebih jauh ke timur maka akan dijumpai pulau besar Thinae, tempat pengumpulan sutera dari Thin.

Sulthanah Safiatuddin, Gender dan Temuan Emas

"Bahwa adalah bagi baginda itu beberapa sifat kepujian dan perangai yang kebajikan lagi takut akan Allah dan senantiasa sembahyang lima waktu dan membaca kitabullah dan menyuruh orang berbuat kebajikan dan melarang orang berbuat kejahatan seperti yang diturunkan Allah kepada nabi kita Muhammad s.a.w. Dan terlalu sangat adil perihal memeriksai dan menghukumkan segala hamba Allah. Maka daripada berkat daulat dan sa'adat duli yang maha mulia itu jadi banyaklah segala hamba Allah yang salah dan sembahyang menuntut ilmu. Syahdan ialah yang sangat tawadhu'nya akan Allah subhanahu Wata'ala. Maka dianugerahi Allah akan dia lama menjunjung Khalifahnya dan pada masanyalah orang mendapat beberapa galian emas itu dan ialah yang mangeraskan syariat Nabi kita Muhammad s.a.w.”

Demikian Bustanussalatin menukilkan kisah Sultan pertama Aceh Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin yang menggantikan posisi Iskandar Tsani pada 1641. Bustanussalatin merupakan salah satu karya besar yang ditulis Nuruddin Ar Raniri, salah satu ulama besar Kerajaan Aceh Darussalam.

Ratu Tajul Alam Safiatuddin adalah putri kandung tertua Sultan Iskandar Muda yang lahir pada tahun 1612. Ia dinikahkan dengan Sultan Mughal, salah satu anak angkat Sultan Iskandar Muda yang kemudian bergelar Sultan Iskandar Tsani.

Berdasarkan catatan Bustanussalatin, diketahui Ratu Tajul Alam memerintah Kerajaan Aceh Darussalam hingga 34 tahun lamanya. Masa pemerintahannya diwarnai dengan berbagai masalah, salah satunya adalah gesekan perdagangan di Selat Malaka dengan Belanda yang telah menguasai Mataram dan Betawi. Di masanya memerintah juga banyak wilayah Aceh yang jatuh ke tangan Belanda seperti Minangkabau.

Cerita Ganja Aceh, Belanda dan Portugis

UPAYA penelitian ganja di Indonesia merupakan kemajuan dan sesuatu yang baik. Apalagi tumbuhan yang masuk dalam ranah narkotika ini sangat banyak tersebar di Aceh. Hal ini diungkapkan sejarawan Aceh, Rusdi Sufi, saat ditemui tim Lingkar Ganja Nusantara (LGN) di Kerkhoff, Banda Aceh, Jumat 26 September 2014 lalu.

Rusdi Sufi turut menceritakan asal usul ganja yang kini banyak tersebar di Aceh. Berdasarkan sejumlah referensi, katanya, ada dua pendapat soal penyebaran ganja di Aceh.

"Ada pendapat yang mengatakan bahwa ganja dibawa ke Aceh oleh para pelaut Eropa. Pendapat tersebut saat ini mendominasi opini publik terutama di media-meda sosial," ujar Rusdi Sufi, seperti dikutip Peter Dantovski dari LGN melalui siaran persnya, Selasa, 14 Oktober 2014.

Di sisi lain, katanya, ada juga yang berpendapat cannabis sativa merupakan tumbuhan asli Aceh. "Ada banyak versi yang mengatakan bahwa bangsa Aceh telah sejak sangat lampau memanfaatkan ganja sebagai bumbu masakan maupun sebagai obat," kata Rusdi Sufi.

Saat Habib Abdurrahman Menyerah pada Belanda

BELANDA terus menerus mengirimkan serdadunya dalam skala besar untuk menumbangkan kedaulatan Kerajaan Aceh Darussalam. Keberhasilan Belanda merebut Darud Dunia tidak serta merta membuat Aceh takluk. Banyak perlawanan terus bergelora di Aceh Besar, Pedir, Pasai, Daya, dan Meulaboh.

Van Der Heijden memperluas wilayahnya dengan menyerbu Seuneulop, Aneuk Bate, markas Panglima Polem di Aneuk Galong dan terakhir markas Habib Abdurrahman di Montasik.

"Walaupun Montasik jatuh, perlawanan diteruskan. Dalam mempertahankan tempat-tempat mereka pihak Aceh tidak mundur begitu saja walaupun menghadapi kekuatan jauh lebih besar," tulis Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad.

Wednesday, December 17, 2014

Van Daalen Larang Pers Beritakan Perang Aceh

TIGA puluh empat tahun peperangan Belanda di Aceh telah menyebabkan banyaknya korban yang tewas di kedua belah pihak. Belanda yang ingin menguasai Sumatera secara utuh terus menerus mendatangkan bala tentaranya ke Aceh hingga berhasil merebut Darud Donya dan menangkap Sultan Aceh terakhir, Muhammad Daud Syah.

Namun invasi militer yang dilakukan Belanda kerap berujung masalah bagi negeri Kincir Angin tersebut. Penguasa di tanah jajahan pun sering bertindak di luar instruksi Amsterdam yang mengakibatkan kerugian secara moral dan materiil bagi negara tersebut.

Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad, menyebutkan banyak peristiwa yang tidak biasa terjadi di Aceh dengan mudah dapat dipergunakan oleh para pejuang untuk memperhebat semangat penduduk. Bahkan, van Daalen, salah satu perwira militer di Kutaraja (Banda Aceh) diisukan akan dipecat karena tidak mampu mematahkan perlawanan pasukan Aceh.

Saat Teuku Umar Ditantang Perang Tengku Fakinah

SALAH satu pejuang perempuan Aceh pernah menantang Teuku Umar Johan Pahlawan untuk berperang. Penyebabnya adalah membelotnya Teuku Umar ke kubu Belanda. Pejuang perempuan ini dikenal sebagai panglima perang Sukey Fakinah.

Namanya Tengku Fakinah, istri Tengku Ahmad, seorang ulama di Lampucok, Aceh Besar. Saat peperangan dengan Belanda, Tengku Ahmad syahid di medan perang. Hal inilah yang menjadi pemicu keterlibatan Tengku Fakinah dalam perang sabil.

Merujuk catatan sejarah yang ditulis Ali Hasjmy dalam bukunya Wanita Aceh dalam Pemerintahan dan Peperangan, disebutkan Tengku Fakinah pernah mengirim surat kepada Cut Nyak Dhien.

Mencari Makam Ratu Inayat Zakiatuddin Syah

SEDIKITNYA ada enam nisan berada dalam kompleks Makam Meuh II, di Kompleks Gedung Juang, Banda Aceh. Nisan-nisan tersebut merupakan milik keluarga Kerajaan Aceh Darussalam.

Di bawah nisan ini berbaring jasad-jasad tokoh penting Aceh masa dulu. Di antaranya adalah Putri Raja Anak Raja Bangka Hulu, Sultan Alauddin Mahmudsyah (1760-1764), Raja Perempuan Darussalam, dan Tuanku Zainal Abidin.

Amatan ATJEHPOST.co di lokasi, Jumat, 3 Oktober 2014, tiga di antara nisan-nisan tersebut memiliki konstruksi berbeda. Bangunan nisan ini lebih besar di bandingkan yang lainnya. Keseluruhan nisan ini berada dalam satu pagar yang luasnya seukuran lapangan tenis.

Sunday, October 26, 2014

Menyibak Ranah Legenda di Ujung Sumatera

"The golden age of Acheh in which the mohammedan law prevailed or in wich the Adat Meukuta Alam may be regarded as the fundamental law of the kingdom, belongs to the realm of legend." (Masa keemasan Aceh, hukum Islam berlaku atau disebut dengan Adat Meukuta Alam. Hukum ini mungkin dianggap sebagai hukum dasar kerajaan, milik ranah legenda).

Begitulah peneliti Belanda Snouck Hougronje menyebut tentang era Kerajaan Aceh dalam bukunya The Achehnese yang versi terjemahannya terbit pada 1906. Namun, pernyataan Snouck terbantah oleh sebuah penelitian yang dilakukan peneliti Perancis Denys Lombard berjudul Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Lahir di Perancis pada 1938, Lombard sudah lama memendam rasa penasaran akan nama besar Sultan Iskandar Muda. Pada 1967, setelah menelusuri sejumlah catatan sejarah tentang Aceh dan Iskandar Muda, ia menyelesaikan penelitiannya. Lombard menyelisik sejumlah dokumen, buku-buku lawas, hingga manuskrip yang tersimpan di sejumlah museum di luar negeri.

Sunday, October 12, 2014

2 Oktober 1925; Ajaran Ahmadiyah Masuk ke Aceh Selatan

Masjid Ahmadiyah di Lahore. @tropenmuseum.com
ALIRAN Ahmadiyah pernah berkembang di Aceh masa kolonialisme Belanda. Saat itu, aliran yang dikembangkan Mirza Ghulam Ahmad tersebut dibawa oleh juru dakwah Ahmadiyah, Maulana Rahmat Ali atau kerap disapa Tuan Rahmat Ali.

Pria ini merupakan sahabat dekat petinggi Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad. Ia lahir di Rabwah, Pakistan, pada tahun 1893. Tuan Rahmat Ali merupakan "mubalig" pertama Ahmadiyah yang diutus ke Indonesia dari Qadian.

Ia dikenal sebagai 'Sang Penabur Benih Ahmadiyah' di Indonesia. Pria ini merupakan lulusan pertama dari Madrasah Ahmadiyah di Qadian pada 1917. Ia kemudian menjadi guru Bahasa Arab dan Agama pada Ta'limul Islam High School (setingkat SMA) di Qadian.

Tuan Rahmat Ali kemudian dipindahkan ke Departemen Pertabligan (Nazarat Da'wat-o-Tabligh) pada 1924. Setahun kemudian pria ini dikirim ke Indonesia menjadi "mubalig" hingga April 1950.

Bendera Merah Putih Pertama Kali Berkibar di Langsa

Pengibaran Bendera Merah Putih era Proklamasi Indonesia
REPUBLIK Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober. Penetapan tersebut menyusul adanya insiden yang menamakan Gerakan 30 September 1965 (G30S) yang menculik dan membunuh enam Jendral serta satu kapten sebagai upaya kudeta.

Gerakan ini berhasil diatasi otoritas militer Indonesia pada 1 Oktober 1965. Sejak itu, pemerintah Orde Baru menetapkan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Sementara di Aceh, khususnya warga Langsa memiliki makna penting pada tanggal 1 Oktober. Pasalnya, pada 1 Oktober 1945, warga Langsa pertama kali mengibarkan bendera Merah Putih dan mengakui kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945.

27 September 1954; Hasan Tiro Ditahan Imigrasi New York

Hasan Tiro
SIKAP keras yang ditunjukkan Hasan Tiro menyikapi tindakan kabinet Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo terhadap Darul Islam di Aceh harus dibayar mahal. Ultimatum yang dikirimkan Hasan Tiro melalui sepucuk surat di berbagai surat kabar, dari New York hingga Indonesia telah mengguncang perpolitikan Indonesia. Ia pun kehilangan kewarganegaraannya.

Hasan Tiro, yang oleh Wakil Perdana Menteri Sjafruddin Prawiranegara disebut sebagai "pemuda yang pendiam tetapi memberi kesan cerdas dan cukup lincah" tiba-tiba mengguncang dunia politik Indonesia pada 1 September 1954. Penyebabnya, tak lain sepucuk surat yang disebarnya di berbagai surat kabar, dari New York hingga Indonesia. Saat itu, Hasan Tiro yang kelahiran 25 September 1925, berusia 29 tahun.

Menantu Teungku Daud Beureueh, M.Nur El Ibrahimy, dalam bukunya Tgk.M.Daud Beureueh, Peranannya dalam Pergolakan di Aceh, menulis satu bab khusus tentang peran diplomasi yang dimainkan Hasan Tiro di Amerika untuk mendukung "Republik Islam Indonesia" yang di Aceh dipelopori Daud Beureueh.

Pang Nanggroe; Watergeus from Aceh

Pejuang Aceh. @Repro Atjeh Galery
PANG Nanggroe yang mengawini janda Chik Tunong, Cut Meutia, telah menasbihkan dirinya untuk syahid melawan Belanda. Sejak keduanya menikah, Belanda kerap dibikin pusing hingga harus mengejarnya ke hutan belantara.

Sejak menggantikan peranan Chik Tunong sebagai suami Cut Meutia, Pang Nanggroe terus menerus melancarkan serangan kepada Belanda. Ia berhasil menyerang kereta api milik Belanda sebanyak dua kali, menembaki kereta api sebanyak lima kali, menyerang bivak Lhoksukon dua kali, dan penyerangan dengan klewang terhadap perwira Belanda sebanyak lima kali. Semua aksinya tersebut berhasil dilakukan dalam rentang waktu tiga bulan.

Ia juga berhasil merusak rel kereta api sebanyak 22 kali dan menyabotase tiang telepon sebagai jalur komunikasi Belanda sebanyak 54 kali, dalam waktu yang sama.

Sejarah Aceh 26 September; Dari Medali Kehormatan Hingga Gugurnya Pahlawan

@atjehgalery/facebook
ACEH memiliki sejarah panjang yang hampir setiap harinya terjadi peristiwa-peristiwa penting terutama di masa-masa peperangan. Setiap kejadian tersebut akhirnya menjadi tolak ukur bagi kemakmuran dan kemajuan Aceh di masa depan.

Berdasarkan penelusuran ATJEHPOST.co, ada beberapa peristiwa yang terjadi bertepatan pada 26 September sejak era kerajaan hingga saat ini. Dari sekian banyak rentetan peristiwa tersebut, ada tiga peristiwa sejarah yang berhasil dirangkum redaksi seperti di bawah ini: 1. Van der Heijden menjadi Mayor Jenderal pada 26 September 1878

Van der Heijden menjadi Mayor Jenderal pada 26 September 1878

Van der Heijden merupakan Gubernur Militer Belanda di Aceh yang bertugas menumpas perlawanan Kerajaan Aceh Darussalam. Salah satu catatan sejarah tulisan H Mohammad Said berjudul Aceh Sepanjang Abad menuliskan Belanda memberikan kehormatan kepada van der Heijden dengan menaikkan pangkat menjadi Mayor Jenderal, pada 26 September 1878.

Genderang Perang Daud Beureueh

Teungku Daud Beureueh menabuh genderang perang saat Pemerintah Indonesia tidak menghargai Aceh sebagai daerah modal. Ribuan warga Aceh pun berbaiat setia kepadanya.

“Kamoe keumeung peubuet buet.”

Inilah kalimat pertama yang disampaikan Ayah Gani saat bertandang ke Jakarta ketika menemui M. Nur El Ibrahimy sebelum meletusnya “Peristiwa Berdarah” di Aceh pada 21 September 1953. Selain Ayah Gani dan M. Nur El Ibrahimy, hadir dalam pertemuan tersebut Ali Muhammad dan Mohammad Amin Basyah. Ayah Gani turut mengajak M. Nur El Ibrahimy untuk ikut mendukung gerakan tersebut.

“Tidak perlu Teungku pulang ke Aceh,” katanya. “Cukup tinggal di Jakarta saja,” kata Ayah Gani.

“Kapan gerakan itu akan dimulai?” tanya M. Nur El Ibrahimy.

“Pokoknya tak lama lagi, sebab rakyat Aceh dewasa ini ibarat buah di pohon yang sudah cukup matang, jika tidak segera dipetik akan kematangan dan akan jatuh sendiri nanti,” ujar Ayah Gani.

“Bagaimana tentang persenjataan, pembiayaan, dan sumber bantuan selanjutnya apalagi jika gerakan itu memakan waktu yang lama?”

Maklumat Daud Beureueh Mendirikan Darul Islam di Aceh

Pasukan Darul Islam. @Repro
TENGKU Muhammad Daud Beureueh geram dengan pemerintahan Soekarno yang tak kunjung memberikan Otonomi Khusus kepada rakyat Aceh untuk menjalankan syariat Islam. Ia juga kesal dengan Jakarta yang sama sekali tidak memperdulikan nasib generasi muda di Aceh yang belum mendapatkan pendidikan layak. Padahal, Aceh adalah daerah modal bagi Indonesia mencapai kemerdekaan setelah agresi Belanda kedua dilancarkan.

Kekesalan Daud Beureueh juga memuncak saat berkembangnya isu PM Ali Sastroamidjojo ingin menghabisi 300 nyawa tokoh-tokoh di Aceh dalam daftar hitam. Akhirnya Gubernur Militer Aceh ini mendeklarasikan daerah tersebut tunduk di bawah pemerintahan Negara Islam Indonesia pimpinan SM Kartosoewirdjo.

Surat Kedua Diplomasi Politik Gubernur Sumatera Utara

SM Amin (tengah). @Repro
Teungku Daud Beureueh mengibarkan bendera perang setelah menganggap Indonesia menghianati Aceh. Ia pun mendeklarasikan gerakan Darul Islam di Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) pimpinan SM Kartosuwirjo.

Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo menyikapi deklarasi Daud Beureueh dengan senjata. Ia mengirimkan serdadu militer ke Tanoh Rencong untuk menumpas pemberontakan yang dianggap membahayakan Indonesia.

Berbagai upaya dan pendekatan dilakukan untuk mengamankan situasi Aceh saat itu secara pribadi oleh Mr. SM. Amin, yang menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara.

Pendekatan Politik Gubernur Sumatera Utara Meredam Konflik Aceh

Warga menyaksikan rumah yang dibakar TNI. @Repro
TENGKU Daud Beureueh memproklamasikan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan Imam Besar Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, 20 September 1953. Berbekal sebagai pemimpin sipil, agama dan militer di Aceh, Daud Beureueh dengan mudah mendapat pengikut. Apalagi Aceh yang sedianya menjadi daerah modal kemerdekaan bagi Indonesia malah dileburkan ke dalam Provinsi Sumatera Utara, tahun 1950.

Meredam pergolakan tersebut, Gubernur Sumatera Utara, Mr SM Amin merayu Tengku Daud Beureueh untuk turun gunung. Berbagai upaya dilakukan petinggi Sumatera Utara tersebut termasuk mengirimkan surat atas nama pribadi kepada komandan tertinggi Darul Islam di Aceh.

Berikut petikan surat pertama Mr. SM. Amin kepada Daud Beureueh seperti dikutip dari buku Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik Mr. SM. Amin karangan AH Gelanggang:

Tengku Daud Beureueh Dinobatkan Sebagai Wali Negara

Warga Aceh menunggu kedatangan Tengku Daud Beureueh.  @Repro
KONTAK politik antara Gubernur Sumatera Utara SM Amin dengan Teungku M. Daud Beureueuh sejak Desember 1955 membuat situasi Aceh memanas. Apalagi saat itu dua utusan Pemerintah Pusat yang dikirim Mohd. Hatta, Hasballah Daud dan Abdullah Arif turut datang ke Aceh untuk berbicara dengan pimpinan Darul Islam.

“Pemberontak Islam yang puluhan ribu banyaknya itu memperbicangkan persoalan tersebut sehingga menambah hangat politik di Aceh,” tulis AH Gelanggang dalam bukunya Rahasia Pemberontakan Aceh dan Kegagalan Politik Mr. SM Amin.

Di tengah memanasnya suasana politik di Aceh, Darul Islam memperingati ulang tahun kedua proklamasi Negara Islam Indonesia pada 21 September 1955. Saat itu, pemimpin tinggi DI/TII Aceh turut mengadakan konferensi di Batee Kureng.

Sembilan Poin Penting Rumusan Majelis Syura Amanah Konggres Batee Kureng

Anggota Negara Bagian Atjeh (NBA) NII. @Repro
Majelis Syura Negara Bahagian Atjeh, Negara Islam Indonesia, menggelar rapat pada 27 September 1955. Rapat ini sengaja digelar untuk meneruskan hasil Kongres Batee Kureng pada 23 September 1955.

Rapat ini kemudian memutuskan untuk menyetujui program politik Pemerintah Negara Bahagian Atjeh Kabinet Hasan Aly. Berdasarkan catatan AH Gelanggang dalam bukunya Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik Mr. SM Amin, menyebutkan ada sembilan poin keputusan yang dihasilkan rapat tersebut.

Sembilan poin ini adalah:

Saat Daud Beureueh Menabuh Genderang Perang Melawan Jakarta

Tengku Daud Beureueh bersama pasukan. @Repro
TENGKU Daud Beureueh memproklamasikan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan Imam Besar Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, 20 September 1953. Berbekal sebagai pemimpin sipil, agama dan militer di Aceh, Daud Beureueh dengan mudah mendapat pengikut.

Apalagi Aceh yang sedianya menjadi daerah modal kemerdekaan bagi Indonesia malah dileburkan ke dalam Provinsi Sumatera Utara, tahun 1950.

Sejarawan berkebangsaan Belanda, Cornelis Van Dijk, menyebutkan kekecewaan Daud Beureueh terhadap Jakarta semakin berat dengan beredarnya rumor tentang sebuah dokumen rahasia dari Jakarta. Dokumen itu disebut-sebut dikirim oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang isinya berupa perintah pembunuhan terhadap 300 tokoh masyarakat Aceh.

Wednesday, October 1, 2014

Ratu Nahrisyah; Pemilik Makam Indah di Samudera Pasee

Ratu Nahrisyah memimpin Kerajaan Samudera Pasai pada tahun1416-1428 M. Ia dikenal sebagai seorang yang arif dan bijaksana. Nahrisyah mangkat pada tanggal 17 Zulhijjah 831 H atau 1428 M.

Beberapa referensi menyebutkan Kerajaan Nakur pernah menyerang Pase pada 1470 M. Dalam pertempuran tersebut, suami Nahrisyah tewas. Ia pun kemudian bersumpah di hadapan rakyatnya.

“Siapapun yang dapat membunuh Raja Nakur, saya bersedia untuk menikah dengannya dan memerintah kerajaan ini bersama suami saya tersebut.”

Tuesday, August 5, 2014

Tipu Aceh, Tipu Meulaboh

TEUKU Umar Johan Pahlawan dikenal sebagai pejuang Aceh yang memiliki kemampuan menipu Belanda. Strategi yang ditetapkan Umar, mampu membuat Belanda terkecoh hingga akhirnya bisa merampas alat-alat perang untuk membantu pejuang Kerajaan Aceh Darussalam.

Siapa menyangka, selain Teuku Umar, praktik 'tipu-tipu' tersebut juga dilakoni oleh beberapa pejuang lainnya dari pesisir Barat Aceh. Seperti halnya strategi yang dilakoni Teuku Kejuruan Muda dan bawahannya saat menghadapi agresi Belanda.

Dikutip dari catatan H. Mohammad Said dalam bukunya berjudul Aceh Sepanjang Abad jilid kedua, saat itu Teuku Kejuruan Muda tidak mau bertekuk lutut di bawah bendera Belanda. Padahal, Teuku Tjhi' Meulaboh, ayah Teuku Kejuruan Muda telah menandatangani pengakuannya kepada Belanda.

Sepenggal Sejarah Perang di Pesisir Ulee Lheue

Bivak Belanda di Peunayong pada 1874
INI adalah cerita pahlawan Aceh yang namanya tidak seharum Teuku Umar, Panglima Polem, Cut Nyak Meutia, atau Cut Nyak Dhien. Namun perjuangannya di pesisir Aceh, tepatnya di Banda Aceh, cukup merepotkan Belanda. Namanya Teuku Hasan. Dia merupakan putra Teuku Paya, pejuang Aceh lainnya yang mengambil bagian memimpin pasukan di Pidie.

Teuku Hasan yang mendapat restu ayahnya mengambil bagian di Banda Aceh. Dia dipercaya mampu melakukan sabotase terhadap tangsi atau bivak Belanda di Ulee Lheue.

Kisah kepahlawan Teuku Hasan dicatat secara ringkas oleh sastrawan Aceh, Do Karim alias Abdul Karim. Perjuangan Teuku Hasan ini kemudian disalin ulang oleh H. Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad Jilid II.

Teuku Hasan membuat pertahanan di Lambada. Dia memimpin pasukan Aceh untuk berhadapan dengan van der Heijden yang telah menguasai Darud Dunia.

Blower, Berawal Dari Tanah Yahudi

Kerkhoff dengan latar belakang Museum Tsunami.
@Heri Juanda
PENGARUH budaya asing di Aceh sejak sebelum perang melawan Belanda masih kental hingga kini seperti penamaan nama-nama gampong. Sebut saja salah satunya gampong Sukaramai di Banda Aceh.

Secara umum, warga asli Banda Aceh akan kebingungan jika mendengar nama gampong Sukaramai. Padahal gampong ini terletak tepat di belakang Museum Tsunami Aceh dan komplek perkuburan Kherkof Belanda. Gampong ini masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh. Gampong Sukaramai berbatasan dengan gampong Punge Blang Cut, Punge Jurong, Seutui, serta Neusu.

Bagi penduduk asli Banda Aceh atau Aceh Besar, gampong ini kerap disebut dengan Blower meski di catatan administrasi pemerintahannya sering menabalkan Desa Sukaramai. Penyebutan Blower tidak terlepas dari sejarah sebelum Belanda menyerang Aceh.

Cara Orang Aceh Tempo Dulu Menamakan Sebuah Gampong

Alue Naga. @Heri Juanda
PENAMAAN suatu daerah di Aceh identik dengan mythologi, klenik serta berdasarkan topografi wilayah sebuah gampong. Seperti misalnya gampong Alue Naga di Kecamatan Syah Kuala Kota Banda Aceh dan Tapak Tuan di Aceh Selatan.

Jika diselisik berdasarkan pengertian bahasa Indonesia, Alue merupakan penyebutan orang Aceh untuk parit, kuala atau muara. Sementara Naga adalah nama hewan mythologi yang menyerupai ular dan memiliki tanduk. Hewan ini biasanya ada dalam cerita-cerita dongeng negeri China dan Eropa. Pertanyaannya apakah di muara atau parit tersebut dulunya tempat bersemayam seekor naga?

Menurut keterangan Geucik Gampong Alue Naga, Sayuti AR, nama Alue Naga diambil dari cerita legenda yang berkembang di gampong tersebut. Kabupaten Aceh Selatan dan Gampong Alue Naga Di Banda Aceh memiliki kesamaan legenda, begitu juga dengan Kabupaten Nagan Raya.

Sejarah Unik Nama Gampong di Aceh

Ilustrasi Taman Sari
MASYARAKAT Aceh memiliki budaya penyebutan nama daerah sesuai dengan kejadian atau peristiwa-peristiwa besar dan ketokohan seseorang. Nama daerah tersebut kemudian ditabalkan untuk gampong yang baru saja didiami dan tidak jarang masih dipakai hingga sekarang.

Nama-nama daerah atau gampong di Aceh tersebut terkadang terdengar unik, baik bagi pendatang maupun warga setempat. Lantas seperti apa nama-nama gampong tersebut?

Menyibak Sejarah Kota Tua Peunayong

Atraksi Barongsai di Peunayong. @Heri Juanda
PEUNAYONG ingar-bingar. Gendang bertalu-talu meliuk di antara riuh suara keramaian pasar yang ditingkahi derai simbal. Ada hiasan berwujud singa berwarna merah jambu berjingkrak-jingkrak, meloncat ke sana kemari mengikuti ritme irama gendang.
Hari itu, Jumat, 31 Januari 2014, memang tepat perayaan Imlek 2565. Ini hari yang keramat bagi etnis Tionghoa sehingga mereka merayakannya. Perayaan berpusat di belakang Vihara Budha Sakyamuni, Jalan Aneuk Galong Peunayong. Ke sinilah saya menyimak semburat kegembiraan di wajah-wajah berkulit putih yang bermata sipit itu.

Mereka gembira menikmati “singa” merah jambu yang sedang menari-nari di halaman belakang vihara. Itulah budaya barongsai —kesenian khas dari daratan China. Kesenian ini kerap dipertunjukkan saat hari-hari besar etnis China seperti perayaan Imlek 2565 Tahun Kuda, Jumat penutup Januari lalu.

Thursday, June 12, 2014

Mencari Jejak Kitab Tertua di Aceh

KITAB Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak, karangan Abu Ishak Al-Makarani Sulaiman Al-Pasy disebut-sebut sebagai kitab tertua yang pernah diterbitkan di Aceh. Di dalam kitab tersebut ada informasi yang menyebutkan bahwa Kerajaan Islam tertua di nusantara berada di Perlak. Namun banyak sejarawan dan kolektor manuskrip Aceh yang meragukan fakta adanya kitab tersebut. Kenapa?

"Kitab ini berasal dari masa Kerajaan Perlak sebelum Kerajaan Pasee berkembang. Dia terbilang sebagai salah satu kitab tertua di Aceh yang isinya membahas tentang struktur dan tata negara di Peureulak. Tapi bukti keberadaannya hingga sekarang belum ditemukan," ujar Kolektor Manuskrip Aceh, Tarmizi A. Hamid saat dijumpai oleh ATJEHPOSTcom, Selasa malam, 21 Mei 2014.

Kisah Otonomi Pasai dan Majapahit

PRAJURIT Hindu-Majapahit mengepung Samudera Pasai usai mendapat kabar putri yang hendak dinikahkan dengan Tun Abdul Jalil bunuh diri di Laut Jambo Aye. Penyerangan ini mendapatkan perlawanan dari pasukan Sultan Ahmad Permadala Permala. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam yang berakhir dengan kekalahan Pasai.

Sultan Ahmad melarikan diri ke suatu tempat yang jarak dari Pasai menempuh 15 hari perjalanan. Demikian Hikayat Raja-Raja Pasai mengisahkan penyerangan Majapahit terhadap kerajaan Islam di Aceh. Peristiwa ini juga tercatat dalam Kitab Negarakertagama, naskah kuno dari era Majapahit. Disebutkan, peristiwa itu terjadi tak lama setelah Gajah Mada diangkat sebagai Perdana Menteri Majapahit antara 1331 dan 1364.

Melacak Istana Pasai

“Ketika kami sampai di bandar itu, datanglah penduduk yang berada dalam perahu kecil, membawa buah-buahan dan ikan kepada kami di kapal. Bandar itu satu kota besar di pantai laut, dinamakan sarha. Di situ banyak rumah. Antara pantai dan kota itu jaraknya 4 mil.

Setelah itu wakil laksamana yang bernama Bahruz menulis surat kepada sultan memberitahukan kedatangan saya. Sultan menyuruh Amir Daulasah dan Kadi Syarif, Amir Sayid Shirazi, Tajuddin Isfahani dan para ulama lain menjemput saya. Mereka datang dengan membawa beberapa kuda dan kami pun menuju istana, yaitu Kota Sumutrah, satu kota besar yang indah berpagar kayu. Demikian pula rumah-rumahnya berpagar kayu.

Mencari Jejak Aceh di Brunei Darussalam

KESULTANAN Brunei Darussalam beberapa waktu lalu mengumumkan menjadi negara Asia Tenggara pertama yang bakal menerapkan hukum Islam di semua lini. Negara didominasi muslim melayu ini bakal meng-Islamkan pengadilannya. Mendenda dan menghukum penjara atas kejahatan-kejahatan seperti hamil di luar nikah, tidak salat Jumat, dan menyebarkan agama lain untuk fase awal.

Jika merujuk sejarah, berdasarkan catatan Tiongkok dan orang Arab menunjukkan kerajaan Brunei Darussalam awalnya berada di muara Sungai Brunei pada awal abad ke-7 atau ke-8. Kerajaan itu memiliki wilayah yang cukup luas meliputi Sabah, Brunei dan Sarawak yang berpusat di Brunei.

Perjuangan Teungku Tapa Bak Cerita Malem Diwa

“Dia merupakan tahanan di Aceh yang terpandang seperti wali dan seperti anak raja (pangeran).” Demikian judul berita seseorang yang melakap namanya sebagai Pembantu Betawi, KMPB (S. Ta’iat) dalam surat kabar Pewarta Deli pada 21 Nopember 1914 silam. 

Pernyataan tersebut merujuk kepada sosok pejuang Aceh yang di kemudian hari dijuluki Teungku Tapa. Masih bersandar pada tulisan tersebut, Pembantu Betawi memulai karangannya dengan mengulas secara panjang lebar kisah kematian Teungku Tapa di Keureuto (tertulis Kerti). Saat dirinya gugur, sehelai bendera beraksara Arab menutup jasadnya. Dia memakai pakaian sutera layaknya seorang hulubalang yang gagah perkasa dan mati di medan pertempuran.

Wednesday, June 4, 2014

Aksi Pasukan Aceh di Teluk Tambora

JENDERAL Karel van der Heijden diangkat menjadi Gubernur sekaligus Panglima di Banda Aceh menggantikan Jenderal A. J. R. Diemont yang sakit, Juni 1877. Heijden merupakan blasteran Belanda yang lahir di Betawi pada 1826. Karirnya di Indonesia dimulai dari pangkat sersan.

Pergantian pucuk pimpinan perang di Banda Aceh turut mengubah kebijakan-kebijakan Belanda di daerah ini. Mereka yang semula fokus di ibu kota kini mulai melirik daerah-daerah pesisir timur yang menjadi sekutu Kerajaan Aceh. Salah satunya adalah Samalanga.

"Zeker is het dat General van der Heijden zijn sukses ook hieraan tedanken had, dat bij ieder kampong die zich onwilling toonde, zonder pardon met den grond gelijk maakte. (Jelas bahwa sukses van der Heijden ialah dari caranya menghancurkan kampung-kampung yang kelihatan tidak mau tunduk, hingga rata dengan tanah," tulis Dr. J. Jakobs dalam bukunya tentang van der Heijden.

Pocut Meuligoe; Srikandi Aceh dari Samalanga

"HAAR haat tegen de Nederlanders was zoo groot, dat zij teneinde de weerbare mannen tot den krijgsdienst te verplichten, elke veldarbeid of straffe, van de gruwzaamste en onmenschelijke wreedheden, verbood. Voortdurend werden onze vijanden op Groot Atjeh door haar met geld, oorlogmaterieel en krijgers bijgestaan, waartoe ruimschoots in staat was.

In 1876 beproefde onze Regeering langs minnelijken weg Samalanga tot de erkenning harer opperheerschappij te brengen, doch berantwoordde die voorstellen door op onze oorlogschepen te vuren, en vergreep zich dermate, dat het in de nabijheid onzer vlag de brutalste zeerooverij pleegde".

"Kebenciannya terhadap Belanda sedemikian besar, terlihat dari perintahnya bahwa semua rakyat yang sudah sanggup berperang harus masuk berjuang, bahkan untuk keperluan itu sawah ladang harus ditinggalkan, dan kalau tidak bakal dihukum berat. Demikian pula ia (Pocut Mueligo) dengan terus mengirim bantuan dana, alat perang dan sukarelawan ke Aceh Besar demi membantu perjuangan Aceh di sana.

Wednesday, April 16, 2014

Jawaban Sultan Mahmud Syah Terkait Ultimatum Belanda

WAKIL Presiden Dewan Hindia Belanda, F.N. Nieuwenhuijzen sebagai Komisaris Pemerintah yang ditugaskan menjumpai Sultan Aceh merasa kecewa dengan tanggapan Sultan Mahmud Syah. Dalam surat menyurat mereka sebelum perang berkecamuk, keduanya tetap mempertahankan kedaulatan negara masing-masing.

Dikutip dari catatan H. Mohammad Said dalam bukunya Aceh Sepanjang Abad jilid pertama, Nieuwenhuijzen merasa kehilangan pegangan dikarenakan hasil pembicaraan melalui surat menyurat tersebut sama sekali tidak berhasil menakut-nakuti Aceh. Nieuwenhuijzen kemudian menyimpulkan, Aceh tidak akan menyerah begitu saja sebelum terjadi pertumpahan darah.

Mengapa Belanda Getol Menyerang Aceh?

ACEH menjadi titik kelemahan Belanda sepanjang menyangkut Sumatera. Selama Kerajaan Aceh masih berdaulat, maka selama itu pula bayang-bayang campur tangan asing mengancam posisi Belanda di nusantara.

"Alasan sebenarnya Belanda ke Aceh adalah ingin menegakkan kekuasaannya di seluruh wilayah nusantara (pax Netherlanica) dan Aceh merupakan wilayah terakhir yang belum dikuasai," ujar Ketua Jurusan Sejarah FKIP Unsyiah, Drs. Mawardi Umar, M.Hum, MA, seperti dilansir ATJEHPOSTcom, Rabu 26 Maret 2014, menyikapi ikhwal serangan Belanda terhadap Kerajaan Aceh.

Menurutnya, tidak ada alasan lain yang menyebabkan kedua negara ini berperang selain ambisi Belanda untuk menaklukkan Sumatera sepenuhnya.

Rangkaian Surat Aceh dan Belanda Sebelum Perang

HASRAT Belanda menguasai Sumatera secara penuh dan menjadikan Aceh sebagai daerah taklukkan sama sekali tidak terbendung lagi. Mereka mengadakan sidang Dewan Hindia Belanda sesuai dengan instruksi kawat dari Menteri Jajahan van de Putte, Loudon pada 21 Februari 1873.

Hasil sidang memutuskan Belanda menyerang Aceh. Loudon kemudian mengirimkan telegram kepada Netherland yang bunyinya:

“Telah bersidang Dewan Hindia Belanda di bawah pimpinan saya sendiri. Turut hadir Jenderal dan Laksamana, semuanya menyepakati usul saya untuk mengirim secepat mungkin komisaris dengan empat batalyon serdadu ke Aceh dengan ancaman supaya menerima kedaulatan kita atau perang. Kita harus mem-fait-accompli kan Amerika. Wakil Presiden Dewan Hindia Belanda adalah orangnya dan meminta supaya ketentuan Menteri tanggal 24 Agustus 1859 dihapuskan. Diminta supaya mengirim lagi dua buah kapal di samping yang sudah hendak dikirim menurut telegram tuan, Kapal perang “Koopman” masih belum bisa dipakai. Keadaan marine menyedihkan.”

Pembantaian Kuta Reh

PEPERANGAN Belanda di Aceh berlangsung dalam rentang waktu yang lama. Strategi peperangan hit and run yang dilakukan pasukan Aceh mengajarkan Belanda untuk membentuk unit pasukan khusus anti gerilya. Namanya Marchaussee.

Pasukan ini bertugas menyisir seluruh hutan rimba raya yang ada di Aceh. Mereka terdiri dari orang Ambon, Minahasa dan dipimpin oleh sersan Belanda. Pemilihan Bumiputera dalam unit ini sengaja dilakukan untuk melacak jejak pasukan Aceh di dalam hutan. Pasukan ini dikenal bengis dan tidak menghormati hukum perang. Bahkan, pemimpin pasukan Aceh yang dikenal lihai dalam strategi peperangan sekelas Teuku Umar berhasil dijebak oleh satuan khusus bentukan Jenderal Van Heutz ini.

Saat Kemala Menjadi Ibukota

KONDISI Sultan Mahmud Syah kian memburuk akibat wabah kolera yang dibawa Belanda ke daratan Aceh. Dia mangkat dalam kekuasaan singkatnya sebagai raja. Pucuk pimpinan berganti pada Tuanku Mohammad Dawot Syah yang masih berusia tujuh tahun.

Kedudukan Tuanku Mohammad Dawot Syah sebagai Sultan Aceh dikukuhkan di Masjid Indrapuri, dan didampingi oleh Dewan Pemangku yang diketuai oleh Tuanku Hasyim. Semenjak itu, Sultan Aceh memerintahkan tiga tokoh Aceh bertanggung jawab menjalankan roda pemerintahan. Mereka adalah Teungku Syekh Saman Di Tiro yang menjadi menteri perang, Teuku Umar sebagai Laksamana (wazirulbahri), dan Panglima Nyak Makam sebagai panglima urusan Aceh bagian timur.

Perintah Perang Aceh

PERNYATAAN Perang Belanda terhadap Aceh pada 1873 disikapi secara serius oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Setelah menerima laporan secara terperinci dari Balai Siasat Kerajaan (Kepala Intelijen Negara), Sultan Alaidin Mahmud Syah langsung menggelar rapat akbar bersama seluruh pejabat istana dan pemuka negeri Aceh. Sultan juga turut mengambil sumpah setia seluruh penduduk negeri menghadapi agresi Belanda tersebut.

Merujuk catatan Ali Hasjmy dalam bukunya Peranan Islam Dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, menuliskan secara panjang lebar persiapan-persiapan yang dilakukan Kerajaan Aceh menghadapi serangan Belanda. Menurut Hasjmy, menghadapi ancaman dari luar negeri tersebut Sultan Aceh turut membentuk sebuah pemerintahan yang baru, yaitu Kabinet Perang. Inti pemerintahan baru ini terdiri dari tiga orang, sementara posisi sultan tetap sebagai kepala negara.